Suara Gaib Anak Kecil dari Telepon Pacar

MOJOK.CO Bukan cuma tepukan gaib, ada juga cerita suara gaib. Menjelang Magrib, aku mendengar suara anak kecil tertawa-tawa dan main kelereng di depan rumah, padahal tidak ada siapa-siapa.

Kami pergi KKN beberapa tahun yang lalu, tapi ceritanya masih terkenang sampai hari ini. Waktu itu, kakak senior suka mewanti-wanti daerah tujuan kami KKN memang sedikit mistis, tapi tak pernah kami—atau bahkan aku—berpikir bahwa mereka tidak bercanda.

Kami pergi ke Sulawesi Tenggara, lokasi KKN kami bersama-sama. Tempat tujuan kami adalah salah satu pulau dari gugusan kepulauan di wilayah Kabupaten Wakatobi. Di sana, kelompok KKN kami dipecah menjadi beberapa subunit yang rumah tinggalnya juga berbeda. Aku dan kekasihku, Tomi, harus berpisah pada subunit yang berbeda.

Tapi, yah, namanya juga KKN, Kanan-Kiri-Ndeketin, aku sih merasa fine-fine saja harus berpisah selama beberapa minggu dari Tomi. Toh, kami masih ada di pulau yang sama dan sama-sama memiliki ponsel untuk berkomunikasi.

Rumah kelompok kecilku, sayangnya, lebih “mengerikan” dibanding rumah kelompok lainnya. Meski punya dua kamar yang besar dan satu ruang perkakas, letak rumah ini tepat berada di sebelah kuburan. Bahkan, kalau kami membuka pintu samping dan belakang, udah langsung ketemu makam!

Oh, ada cerita aneh soal ruang perkakas. Sebagai anak KKN, kami terlibat banyak kegiatan bersama pemuda desa di sini. Suatu waktu, Aron, ketua kelompok kami memintaku dan Fadli mencari linggis. Teringat ruang perkakas, kami segera masuk ke rumah, membuka ruang perkakas, dan menemukan linggis dengan mudah.

“Eh, ambil di mana itu?” tanya Roni, salah seorang pemuda desa waktu kami datang membawa linggis. Fadli menjawab cepat, “Ruang perkakas di rumah tinggal kami.”

“Itu tidak boleh dibuka. Cepat kembalikan!” seru seorang pemuda lainnya, suaranya agak panik dan membuat kami berdebar.

Maka segeralah aku menarik lengan Fadli untuk kembali ke rumah dan menyimpan linggis yang dimaksud. Pintu ruangan kami tutup lagi seperti biasa. Anehnya, seperti ada suara “Klik!” yang terdengar dan, detik berikutnya, ketika aku mencoba membuka pintu, pintunya terkunci dengan kokoh dan tak bisa dibuka!

Cerita horor kami tak berhenti sampai di situ. Suatu hari, kami kelelahan gara-gara memasang papan nama jalan di desa. Semua anak tertidur dengan cepat kecuali aku, Fadli, dan Asih. Karena kelaparan, kami pergi ke dapur dan bermaksud memasak mi goreng. Aku berdiri di depan kompor, sedang menunggui air mendidih untuk memasukkan mi, Asih ada di depan wastafel untuk mencuci piring, sedangkan Fadli duduk di pojok sambil memetik gitar.

Tiba-tiba, pundakku ditepuk cukup keras. Kaget, aku menoleh. Asih dan Fadli masih melakukan apa yang sedang mereka lakukan—tak ada satu pun dari mereka yang memandangku.

“Siapa yang nepuk bahuku?”

Asih terkejut. Fadli berhenti main gitar. Mereka menggeleng dan kami akhirnya tahu saat itu sebaiknya kami segera tidur.

Bukan cuma tepukan gaib, ada juga cerita suara gaib yang aku alami. Setiap waktu senja hampir usai dan azan Magrib mau terdengar, aku dan teman-teman mendengar suara anak kecil tertawa serta suara benturan kecil seakan-akan mereka sedang bermain kelereng di depan rumah. Tapi, setiap kali kami mengecek ke luar, tidak ada siapa-siapa di sana.

Kasus suara gaib ini berulang menjelang tengah malam. Seakan belum cukup, suara gaib ini kadang diikuti dengan sekelebat bayangan anak kecil dari balik tembok ruang tamu. Entah apa maksudnya, tapi kami, kan, jadi merinding tiap kali diberi penampakan begitu! Hih!

Berkat kehororan ini, aku kian sering menghubungi pacarku, Tomi, untuk berkeluh kesah. Seperti sore itu, misalnya, saat hampir sebagian anak-anak subunitku pergi ke luar, sementara sisanya tidur begitu saja, aku menjadi satu-satunya yang terjaga dan memutuskan untuk menelepon Tomi.

Kami mengobrol cukup lama. Sepertinya Tomi sedang lelah karena menanggapi ceritaku dengan sedikit berteriak dan memintaku mengulang kalimat beberapa kali. Sampai kemudian, aku kesal sendiri dan bertanya,

“Ngomongnya bisa nggak, sih, biasa aja? Nggak usah teriak-teriak, gitu!”

“Ya udah kalau gitu kamu minggir dulu, dong, posisinya. Berisik banget, sih, daritadi di sana! Lagi ada acara apa, kok banyak suara anak-anak?”

Aku terdiam, memandang sekelilingku di ruang tamu.

Tidak ada siapa-siapa—teman-temanku masih tertidur dan aku bahkan tak sedang mendengar suara gaib anak-anak bermain kelereng. Kosong. Sepi.  (A/K)

Exit mobile version