MOJOK.CO – Tak berselang lama, ibu meninggal menyusul bapak. Tidak sampai 20 hari, daya hidup ibu menghilang dan beliau tenggelam dalam kesedihan.
Sebelum masuk ke cerita, pertama-tama, izinkan saya mengenalkan latar belakang cerita ini. Pembaca boleh memanggil saya Cia. Semua ini berawal dari bapak saya yang sakit-sakitan.
Awalnya, rumah yang kami tinggali ya biasa saja. Seperti rumah pada umumnya. Tidak ada cerita seram dan semuanya tampak normal.
Sejak bapak sakit
Situasi rumah berubah setelah bapak mulai sakit-sakitan. Beberapa saudara dan tetangga mulai mengeluh. Mereka tidak betah ketika bertamu atau menginap di rumah kami. Bahkan beberapa keluarga juga takut sendirian berdiam diri di rumah terlalu lama.
Suasana semakin memburuk ketika bapak masuk ICU selama beberapa waktu. Rumah seakan-akan jadi bangunan yang “mati”, terasa sunyi. Saat itu, saya berusia 15 tahun.
Selama bapak di ICU, saya hampir selalu menjenguk dan menjaga. Sebelumnya, saya “biasa saja” sama hal-hal mistis. Namun, selama beberapa hari di ICU, entah kenapa suasana rumah sakit jadi terasa mencekam melebihi biasanya.
Ketika melihat bapak terbaring di ICU, tiba-tiba muncul firasat soal ajal yang semakin dekat. Rasanya sangat nyata dan agak mengganggu. Itulah pertanda yang pertama.
Pertanda kematian
Semakin lama, saya semakin tidak betah di ICU. Antara tidak tega melihat bapak terbaring di ICU dan suasana rumah sakit makin mencekam, saya memutuskan pulang. Entah kenapa, saya malah ingin menjaga rumah malam ini. Rasanya saya harus pulang. Dorongan untuk pulang begitu kuat.
Sekitar pukul 23 malam, saya sampai di rumah. Di kota kecil ini, selepas pukul 21:00, kehidupan seperti menghilang. Sepi. Perjalanan saya sampai ke rumah terasa sangat singkat. Begitu singkat.
Sesampainya di rumah, dengan badan yang terasa sangat capek, saya malah merasakan dorongan yang agak aneh. Di kepala, saya ingin berbaring dan istirahat. Namun, saya malah langsung membersihkan rumah dan merapikan segala hal yang berserakan. Rasa-rasanya saya harus menyelesaikan tugas ini secepat mungkin.
Setelah cukup lama membersihkan rumah, ruangan yang sebelumnya tampak tak terurus, akhirnya kembali rapi dan bersih. Kegiatan ini berakhir tepat pukul 01:00 dini hari.
Selepas membersihkan diri dan menuju kamar, pandangan saya tersedot ke kamar bapak. Di sana, ada sebuah lemari baju yang pintunya, secara tiba-tiba terbuka sendiri dengan pelan.
Tidak mungkin angin bisa membuka pintu lemari yang terbuat dari pohon jati. Namun, anehnya, saya tidak kaget atau takut dengan keanehan itu. Saya malah mendekat dengan tenang dan menutup pintu lemari jati itu. Setelahnya, saya beranjak ke kamar dan langsung tertidur.
Bapak meninggal dan firasat ibu
Saat itu saya merasa sudah tertidur cukup lama. Ketika tiba-tiba ponsel saya berdering. Ibu menelepon.
“Nduk, omahe ndang diresik lan ditata.”
Saya mendengar suara ibu dengan setengah kesadaran. Agak kesal juga karena saya merasa lagi enak dan sudah lama tidur. Namun ternyata, saat itu baru pukul 01:00 lebih dikit. Artinya, saya baru tertidur beberapa menit.
Karena sangat mengantuk, saya tidak menghiraukan kalimat ibu. Saya tidak mau mendengarkan firasat ibu dan memilih untuk tidur karena mata saya terasa sangat berat.
Satu jam kemudian, ada yang menggedor pintu rumah dengan keras. Saat itu pukul 02:00 lebih sedikit. Setelah saya buka, ternyata saudara saya datang dengan tergesa-gesa. Dia mengabarkan kalau bapak baru saja meninggal. Tepat pukul 02:00.
Saya langsung bergegas ke rumah sakit ditemani saudara saya. Sesampainya di sana, saya sangat terpukul oleh kenyataan. Bapak yang selalu terlihat kuat, kini kaku dengan tubuhnya yang sangat kurus setelah 2 bulan lamanya berjuang melawan penyakit ginjal.
Pertanda kematian yang lain
Saya selesai mengurus administrasi pukul 09:00 pagi. Jenazah bapak segera dimandikan untuk dikebumikan.
Cuaca yang mendung dan berangin bagaikan menambah suasana sedih dalam proses pemakaman. Ibu tak sanggup mengantar bapak ke tempat peristirahatan terakhir. Ibu seperti tidak punya daya hidup lagi.
Selama proses penguburan, saya mencoba mengurai lagi apa saja yang terjadi tadi malam. Salah satu yang saya sesali adalah tidak mendengarkan firasat ibu. Pukul 01:00 dini hari, ibu menyuruh saya untuk membersihkan rumah. Pukul 02:00, bapak meninggal. Yang saya tidak tahu, saat itu, ada pertanda kematian lain yang muncul.
Jadi, desa saya punya fasilitas dan alat-alat untuk keluarga mendiang untuk mengurus pemakaman. Biasanya, ada tenda, kursi, selang untuk memandikan jenazah, dan lain sebagainya.
Saat para pemuda karang taruna datang untuk membereskan dan mengambil peralatan tersebut, sepertinya mereka melewatkan sebuah kursi. Bagi saya, kursi yang “tertinggal” tidak memberi kesan tertentu. Namun, lagi dan lagi, saya tidak sensitif dengan hal-hal seperti ini.
Di desa saya, ada kepercayaan bahwa kalau ada benda, yang berkaitan dengan prosesi duka, tidak dibereskan atau tertinggal, artinya mendiang “ingin ditemani”. Seakan-akan kursi yang tertinggal menggambarkan dalam waktu dekat warga akan kembali melayat di tempat yang sama.
Daya hidup ibu yang mulai redup
Hari demi hari berlalu. Lampu di rumah mulai redup dan bahkan putus satu per satu secara bergantian. Banyak serangga seperti kecoa dan kelabang yang mulai memenuhi beberapa ruangan tertentu. Bahkan kursi roda bapak berpindah sendiri.
Saat itu, saya juga melihat daya hidup ibu mulai meredup. Saya melihat ibu memiliki wajah yang berbeda, tampak seperti wajah orang lain. Setelah 14 hari kepulangan bapak, aura kesedihan dalam raut wajah ibu tidak juga mereda. Apalagi ketika ibu menatap kursi hijau khas acara hajatan itu.
Sebenarnya, beberapa saudara sudah menyarankan kami untuk segera mengembalikan kursi layatan yang tertinggal agar tidak membawa “teman”. Namun, belum sempat mengembalikan, ibu saya menyusul bapak. Meninggal.
Kursi yang seharusnya hanya satu, tepat pada hari ke-20, kembali lengkap dan memenuhi halaman depan rumah.
Jadi, begini kesedihan mendalam ditinggal kedua orang tua
Suasana rumah semakin suram. Sunyi. Sepi sekali. Setelah ibu tiada, rumah ini seperti kehilangan jiwanya.
Selama beberapa waktu, banyak saudara yang menenami saya di rumah ini. Yang bisa saya lakukan hanya merelakan kepergian bapak dan ibu yang sangat dekat. Para saudara juga berusaha kuat untuk menjaga perasaan dan mental saya.
Ditinggal kedua orang tua, rasanya seperti hanya ada kehampaan hari demi hari. Seakan-akan kamu tidak punya tujuan lagi di dunia ini. Kadang, saya tidak merasakan apa-apa ketika mengamati seisi rumah. Kata orang, inilah kesedihan paling dalam. Ketika kita kehilangan rasa dan yang ada hanya hampa.
Penulis: Ananta Listya Kirana
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Tidak ada Tanggal Kadaluarsa untuk Duka dan pengalaman kelam lainnya di rubrik MALAM JUMAT.