Rumah Kafan

Terkadang, saya merasa ada yang sedang berdiri di sana. Mengawasi… atau menemani? Saya tidak tahu pasti.

Rumah Kafan MOJOK.CO

Rumah Kafan MOJOK.CO

MOJOK.COCatatan ini saya tulis berdasarkan cerita yang dituturkan oleh narasumber bernama Ani. Tentang rumah kafan di sebuah kampung.

Halo, perkenalkan, nama saya Ani, asal Bandar Lampung. Cerita ini adalah pengalaman masa kecil bersama ibu saya yang bernama Tri.

Saat itu sekitar 2005, saya masih duduk di kelas 3 SMP. Ibu adalah single parent karena bapak sudah tiada sejak aku baru berumur lima tahun. Keadaan ekonomi kami saat itu bisa dibilang buruk. Saya membutuhkan biaya sekolah dan keperluan sehari-hari yang tidak sedikit, sedangkan pendapatan ibu dari berjualan kecil-kecilan tidak seberapa.

Akhirnya walaupun berat, ibu memutuskan pindah dari kontrakan ke sebuah kamar sewa. Kami mencari kamar yang disewakan dengan harga semurah mungkin. Setelah survei beberapa lokasi, Ibu menemukan sebuah kamar yang cocok, di sebuah bangunan yang saya sebut “rumah kafan”. Seiring cerita ini, nanti kamu tahu alasannya.

Pemilik rumah kafan itu adalah seorang nenek yang berprofesi sebagai tukang urut. Dia menyewakan satu kamar yang ada di dalam rumahnya. Nenek ini biasa saya panggil Mbah.

Dari penampilannya, saya rasa umurnya sudah di atas 60 tahun. Dia bertubuh pendek dengan rambut sudah putih semuanya dan badan yang sedikit berisi. Menurut pengakuannya, Mbah punya beberapa anak, namun yang dia ceritakan kepada kami hanya dua anaknya, yang satu berada di kampung dan satu lagi bekerja sebagai TKI.

Karena harga yang murah dan si Mbah yang ramah, ibu akhirnya tertarik mengambil sewa. Kamar yang kami sewa ini berada di tengah kampung, tepatnya di salah satu sudut pasar yang cukup ramai.

Bangunan rumah kafan yang kami tempat sudah tua dan agak rapuh. Rumah ini hanya berbahan papan dan triplek tipis yang sama sekali tidak bisa menyaring suara ramai dari pasar. Kalau pasar lagi ramai, keriuhannya terdengar sampai ke dalam kamar. Meski tidak nyaman, ibu juga tidak punya pilihan lain. Setidaknya, kami punya atap untuk tidur dan berteduh saat hujan dan panas.

Kami pindah membawa barang bawaan yang tidak seberapa. Satu bulan setelah tinggal disana, kami belum menemukan hal-hal aneh. Kehidupan berjalan seperti biasa.

Namun, ibu mulai menemukan hal-hal yang membuatnya tidak betah. Di rumah kafan yang terbuat dari triplek ini, entah kenapa, semua jendela dan ventilasinya ditutup dan dipaku dengan paku beton.

Lama kelamaan, ibu merasa gerah dan engap karena sirkulasi udara yang buruk. Atas inisiatif sendiri, ibu mencongkel paku yang menutup jendela itu satu per satu. Awalnya, ibu hanya membuka jendela dan ventilasi di kamar kami saja. Lama-kelamaan, ibu membuka seluruh jendela yang ada di rumah karena sesak dan pengap.

Memasuki bulan kedua sewa, Mbah tiba-tiba saja menolak uang sewa. Sepertinya, Mbah tahu bagaimana kesulitan kami. Bahkan yang membuat ibu lebih tersentuh lagi, Mbah membawakan kami makanan hampir setiap hari.

Ketika mau membayar sewa, Mbah juga bilang “Udah, simpan saja uang sewanya, ini ada makanan, kasihan anakmu, dia butuh makanan yang bergizi.”

Makanan yang diberikan pada kami cukup beragam, dari buah-buahan segar seperti anggur, apel, jeruk, dan makanan olahan seperti daging ayam, daging sapi, hingga sayur-mayur.

Intinya, semua yang beliau masak pasti dibagikan kepada kami. Kami sangat bersyukur, tapi merasa tidak enak hati karena merepotkan. Sudah tidak membayar sewa, kami malah menambah pengeluaran Mbah.

Ibu selalu berusaha menolak secara halus karena merasa segan, namun Mbah dengan ramah bilang, “Enggak ngerepotin, anggap saya orang tuamu sendiri Mba Tri, saya juga ngasih makan cucuku, Ani.”

Di bulan kedua ini, ibu dengan Mbah sering ngobrol. Mbah sempat berpesan kepada ibu untuk tidak terlalu sering mengobrol dengan tetangga sekitar.

“Mbak Tri jangan sering-sering ngobrol sama tetangga, ya. Mending beres-beres rumah, urus anak, daripada di luar. Cuma gosip banyakin dosa.”

Waktu itu ibu menganggapnya sebagai sebuah nasehat. Bagaimanapun, karena sibuk bekerja, ibu jadi tidak tahu bagaimana orang-orang yang tinggal di sekeliling rumah ini.

Bisa jadi nasehat Mbah itu benar. Bisa jadi memang tetangga di sini terlalu sering bergosip dan bergunjing. Makannya ibu menuruti nasehat Mbah dan lebih banyak bekerja. Kalau lagi di rumah kafan itu, ibu hanya di dalam saja untuk bersih-bersih dan menemaniku belajar.

Keanehan muncul di bulan ketiga. Bukan karena rumah kafan atau tetangga, melainkan diri saya sendiri. Saya, yang saat itu duduk di kelas tiga SMP dan sedang momen mendekati ujian akhir, tiba-tiba jadi sering sakit dan pingsan di jalan menuju sekolah, bahkan saat beraktivitas ringan di sekolah.

Pernah suatu ketika saya berjalan menuju sekolah bersama ibu. Kami mengobrol biasa tanpa aku merasakan pusing atau tidak enak badan. Namun, tiba-tiba, di tengah jalan saya pingsan. Beruntung ada beberapa pedagang yang membantu mengangkat saya ke tempat teduh.

Karena sering pingsan, ibu membawa saya berobat dari puskesmas yang gratis hingga dokter yang harus bayar. Di semua tempat yang kami datangi, dokter selalu bilang saya hanya kecapekan. Merasa belum mendapat jawaban yang memuaskan, ibu memutuskan saya harus tes darah. Meski mahal, tapi demi kesehatan saya, ibu rela menggunakan uang tabungannya. Hasil tes menunjukkan kondisi saya normal, tidak ada penyakit serius.

Satu hal lain yang aneh adalah, setiap pergi ke rumah sakit, saya pasti sehat. Namun, ketika pulang ke rumah rumah kafan itu, banyak keluhan mulai terasa. Entah sakit gigi, sakit kepala, sakit perut, sakit pinggang, sampai sakit tenggorokan.

Melihat pola ini, lama-lama, ibu malah kesal sendiri. Ibu mengira saya sakit karena terlalu banyak main di luar. Sampai-sampai ibu bilang, “Makanya, kalau baru sehat itu jangan langsung main! Sakit lagi kan sekarang!”

Saya cuma bisa diam. Memang selalu begitu keadaannya.

Masuk bulan keempat, ibu mulai merasa ada yang janggal dengan kondisi badan saya. Untuk ukuran siswi kelas tiga SMP, berat badanku hanya 24 kilogram. Idealnya, berat badan saya antara 39 sampai 50 kilogram.

Ibu semakin aneh ketika saya sakit-sakitan itu, tapi Mbah merasa semua itu biasa-biasa saja dan wajar. Dia menegaskan hal itu sambil terus membawakan makanan untuk kami setiap hari.

Kelakuan Mbah juga semakin aneh. Pernah suatu hari ibu sedang salat di kamar. Mbah, dengan santainya, duduk di belakang ibu dan mengajak ngobrol.

Seusai salat, ibu menegur Mbah dengan kalimat sehalus mungkin. “Mbah, maaf ya, kalau sedang salat, saya jangan diajak ngobrol dulu, ya. Saya jadi nggak enak karena nggak mungkin menjawab pertanyaan Mbah.”

Namun, Mbah menjawab kalimat ibu dengan nada orang tak bersalah. “Ya ngak masalah kamu nggak menyahut. Tapi kan kamu bisa mendengar. Kalau jadi nggak konsen ya itu kamunya.”

Saya melihat ibu agak kaget setelah mendengar jawaban Mbah. Setelah itu, ibu memberanikan diri bertanya.

“Maaf, apakah Mbah salat?”

“Saya salat di mana saja, Nduk. Bisa di angkot, sambil ngurut, bisa sambil jalan. Kenapa? Aneh?”

Ibu menggelengkan kepala. Tidak mau melanjutkan obrolan janggal itu. Entah kenapa, ibu merasa harus segera pindah dari rumah itu. Seperti ada dorongan, atau lebih tepatnya, ada sebuah perasaan kuat yang menyuruh ibu segera berkemas. Sampai hari ini, ibu tidak bisa menjelaskan perasaan itu.

Suatu kali ibu pernah cerita….

Siang hari, saat itu saya sedang sakit. Saya tidur di kamar, ditemani ibu. Tiba-tiba, saya terbangun dari tidur, berjalan ke arah jendela, dan menunjuk ke arah bawah jendela. Kata ibu, tatapan saya kosong. Siang itu, dorongan untuk segera pindah dari rumah kafan itu kembali muncul.

Perasaan aneh semakin kuat di dada ibu. Siang itu, karena tidak tahu harus berbuat apa, ibu hanya bisa membaca doa. Di tengah lantunan doa, tidak tahu kenapa, ibu menangis.

Selepas membaca doa, ibu berusaha sangat keras untuk menyadarkan saya. Namun, usahanya tidak berhasil. Saya masih menunjuk ke arah bawah jendela. Tangan saya keras, bahkan kaku, tidak bisa diturunkan. Situasi aneh itu terjadi selama lima menit. Ketika sadar, saya tidak ingat sama sekali. Saya hanya ingat badan saya sangat lemas, seperti tidak punya tulang. Setelah itu saya menangis.

Ibu kembali mengadu kepada Mbah. Namun, lagi-lagi jawaban Mbah tidak memuaskan ibu saya.

“Itu Ani sedang panas saja. Jadi mengigau. Biasa itu.”

Ibu tidak mendebat kalimat Mbah. Selain malas, ibu juga merasa tidak mampu melakukannya.

Malam harinya, di tengah ketakutannya, ibu memutuskan untuk salat Tahajud. Memohon perlindungan dari Allah. Setelah Tahajud selesai, hujan turun dengan derasnya. Lebih deras dari biasanya.

Sangat deras dan lebat hingga kamar kami bocor tepat di atas tempat tidur saya. Terpaksa, malam itu, saya tidur beralaskan karpet.

Keesokan harinya, ibu meminta tolong tetangga, Om Yadi, untuk membetulkan atap bocor. Dengan senang hati Om Yadi membantu saat itu juga. Dia naik ke plafon dengan sebuah tangga.

Anehnya, di plafon, tepat di atas tempat tidur saya, Om Yadi menemukan tas kecil berwarna kuning. Om Yadi bertanya, tas itu mau diturunkan atau tidak. Merasa tidak memiliki dan menyimpan tas di plafon (terdengar sangat aneh), ibu meminta Om Yadi untuk menurunkannya.

Kami bertiga heran karena bisa ada tas di atas plafon rumah kafan itu. Setelah diturunkan, Om Yadi membuka tas itu. Kami bertiga terperanjat.

Tas kuning itu berisi kain kafan. Lengkap dengan kapas, kayu cendana, dan seutas tali mengelilingi kafan tersebut. Seakan-akan tinggal memasukkan jenazahnya saja. Ibu menjadi sangat takut ketika kain itu dibentangkan, ukurannya persis sama ukuran tubuh saya.

Om Yadi yang awalnya terdiam, buru-buru pamit mau pulang. Ketika ibu mengejarnya untuk memberi “uang rokok”, Om Yadi menolaknya dan terus menghindar.

“Nggak usah, Mbak. Saya mau pulang saja. Saya nggak mau ikut-ikutan,” Om Yadi menjawab sambil berlalu. Suaranya bergetar. Dia ketakutan.

Setelah Om Yadi pergi, dorongan untuk segera berkemas dan pindah muncul untuk kali ketiga. Kali ini, ibu tak mau banyak berpikir lagi. Pukul 10 pagi, saat itu juga, ibu langsung berkemas.

Kami tidak butuh waktu lama untuk berkemas. Barang-barang kami tidak banyak. Semuanya kami titipkan ke rumah nenek di kampung sebelah. Kami tinggal menunggu Mbah pulang, entah dari mana, untuk pamitan.

Sampai pukul lima sore Mbah tidak kunjung pulang. Kami tidak tahu dia ke mana. Selepas pukul tujuh malam, Mbah baru muncul. Dia terkejut ketika kami pamit.

“Nduk? Mau ke mana? Dan anakmu? Kenapa kamar kalian sudah kosong?”

“Mbah, maaf. Saya mau pulang ke rumah orang tua saya. Saya merasa anak saya tidak sehat tinggal di sini.” Untuk kali pertama, nada ibu terdengar tegas ketika berbicara di depan Mbah.

“Alah, itu cuma kecapekan saja dia. Anak itu jangan dimanja, nanti lemah.” Mbah mencoba menahan kami.

“Mbah! Ini bukan dimanja! Tapi ini sudah tidak masuk akal! Sekarang saya mau tanya sama Mbah. Ini apa Mbah!”

Ibu menunjukkan tas kecil berwarna kuning yang diambil Om Yadi dari plafon.

“Oh, itu kain kafan, kainnya orang mati,” Mbah menjawab dengan santai, sambil menyeringai pula.

“Tapi untuk apa? Kenapa ada di atas kepala anak saya?”

“Ya nggak untuk apa-apa. Hanya untuk siap-siap saja. Semua orang akan mati, to Nduk.”

Ibu tidak bisa menerima jawaban janggal itu. “Kalau begitu, terserah, Mbah. Saya pamit. Mohon maaf jika saya dan anak saya membuat repot selama ini, tapi sungguh saya rasa ini sudah tidak normal.”

Mbah diam saja. Tidak menjawab kalimat ibu. Namun, seringai itu masih menggantung di bibir Mbah.

Malam harinya, kami sudah tinggal di rumah nenek. Akhirnya, saya bisa tidur nyenyak. Sebelumnya, hampir setiap malam, saya selalu gelisah dan sulit tidur.

Keesokan harinya, ibu tersadar ada barang yg tertinggal di rumah kafan itu. Sebetulnya ibu malas untuk kembali ke rumah itu. Namun, barang yang tertinggal cukup penting. Berjalan kaki, ibu menuju rumah aneh itu.

Sesampainya di sana, ternyata Mbah sedang pergi. Karena lelah setelah berjalan agak jauh, ibu mengaso di warung pecel dekat sana. Sambil minum, ibu ngobrol dengan pemilik warung.

“Mbak, udah nggak tinggal di rumah itu?”

“Enggak, baru kemarin saya pindah.”

“Mbak, maaf, sepertinya anak mbak kurang sehat ya selama tinggal di situ?”

“Iya Mbak, anak saya jadi sakit sakitan.”

“Mbak, boleh saya cerita sesuatu?”

Ibu menahan napas. Dia sudah merasa ada yang janggal.

“Sejak Mbak tinggal di situ, saya sebenarnya ingin cerita, tapi Mbak nggak pernah keluar rumah dan jarang ngobrol di sini. Ketika ada kesempatan ngobrol sama Mbak, entah kenapa saya nggak bisa ngomong dan nggak bisa cerita, seperti ada orang yang nakutin saya berdiri di belakang Mbak.”

Sebenarnya ibu juga sudah merasa ada yang janggal di rumah kafan itu.

“Emang kenapa, Bu?”

“Mbak nggak tau? Semua penduduk di sini sebetulnya sudah tahu, Mbak. Di depan pintu rumah aneh itu sering ada orang besar duduk atau berdiri sepanjang malam. Lalu di atas genteng tempat kamar Mbak sering ada penampakan wanita sedang duduk.”

Ibu diam saja tidak memberi tanggapan.

“Sebelum Mbak ada juga yang sewa. Pasangan baru punya bayi usia tujuh bulan. Selama tinggal di sana, anaknya hampir setiap hari nangis. Entah kenapa. Sampai akhirnya meninggal dan dikuburnya di samping rumah itu, pas banget di samping jendela kamar Mbak.”

Ibu teringat kejadian siang itu. Saat saya berdiri kaku sambil menunjuk ke bawah jendela persis di lokasi kuburan bayi itu berada.

“Kenapa dikubur di situ?”

“Mbah yang minta bayinya itu dikubur di situ. Mbah merasa itu cucunya sendiri, biar nggak jauh dari cucunya. Orang tua si bayi tadi dikasih uang sama Mbah. Uang yang cukup banyak sampai mereka bisa pindah ke rumah yang lebih layak. Nggak tahu dari mana itu uang padahal Mbah cuma tukang urut.”

Mendengar cerita itu, ibu jadi lebih berani untuk bercerita soal penemuan kain kafan. Ibu penjual pecel ternyata sudah tahu karena Om Yadi sempat bercerita.

Ibu heran karena Mbah selalu bisa masak enak dalam jumlah banyak. Ibu merasa ada yang aneh dengan makanan itu. Makanan yang malah bikin saya makin kurus.

Ibu penjual pecel membenarkan kegelisahan ibu. Sudah lama, orang kampung ingin membongkar praktik pesugihan yang dicurigai dilakukan oleh Mbah. Tapi, sampai saat itu, belum ada bukti kuat. Penampakan yang sering terlihat belum bisa dijadikan bukti kuat. Bisa saja rumah itu memang angker.

Penampakan lain yang dilihat tetangga adalah sosok perempuan tua yang merangkul saya. Ketika jalan kaki pulang dari sekolah, tetangga sering melihat saya dirangkul oleh perempuan tua yang rahangnya tak henti bergerak seperti sedang menguyah sesuatu. Tetangga jadi tidak berani.

Pada akhirnya, setelah mempertimbangkan ulang, ibu tidak jadi mengambil barang yang tertinggal di rumah kafan itu. Ibu memutuskan pulang dan tidak lagi ingin bertemu Mbah. Beberapa minggu kemudian, berat badanku naik dengan cepat.

Waktu berlalu dan kami tidak lagi mendengar kabar soal rumah aneh dan sosok Mbah. Hingga suatu pagi, kami mendengar bahwa rumah aneh itu sudah dibongkar oleh warga kampung. Tanah bekas rumah aneh itu sudah dibeli oleh seseorang dan dibangun sebuah pertanda.

Informasi soal Mbah yang kami dapat juga tidak banyak. Kami dengar dia dipulangkan ke kampung halaman. Setelah itu Mbah menderita sakit keras. Jenis sakit yang seharusnya bisa merenggut nyawa orang. Namun, kami dengar, dia masih hidup meski tak lagi berdaya.

Beberapa tahun berlalu. Saya sudah lebih sehat dan bisa tidur nyenyak. Namun, sesekali, saya masih melirik ke arah bawah jendela di rumah nenek. Terkadang, saya merasa ada yang sedang berdiri di sana. Mengawasi… atau menemani? Saya tidak tahu pasti.

BACA JUGA Tumbal Pesugihan Salah Sasaran, Kisah Keluarga Penyembah Berhala dan kisah mendebarkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version