Misteri Banten: Rintihan Anak Kecil di Balik Pekatnya Malam Gunung Pulosari (Bagian 2)

Harusnya saya tidak berniat nyeleneh seperti itu dan harusnya saya tidak boleh bersikap takabur juga.

Misteri Banten: Rintihan Anak Kecil di Balik Pekatnya Malam Gunung Pulosari MOJOK.CO

Ilustrasi Misteri Banten: Rintihan Anak Kecil di Balik Pekatnya Malam Gunung Pulosari. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya merasa Gunung Pulosari di Banten ini sudah memberi peringatan. Namun, saya dan Bambang justru takabur dan memilih bertahan.

Baca dulu bagian 1 di sini: Pendakian ke Gunung Pulosari: Uji Nyali di Kedalaman Banten (Bagian 1).

Setelah hujan agak reda, saya dan Bambang akhirnya menemukan tanda jalan (panah berwarna biru) di batang pohon tumbang. Ketika hendak melewati jalan itu, saya merasa ada sesuatu yang melempar sesuatu ke arah kami dari belakang. Sontak saya nengok, tapi tidak ada orang di sana.

Sebenarnya, sedari masuk Banten hingga mencapai hutan bambu Gunung Pulosari, ada rasa gelisah yang saya pendam. Rasa itu semakin kuat ketika kami berdua berputar-putar tanpa arah di tengah hutan bambu. Saya bisa mengerti kenapa rasa gelisah itu kian menguat seiring kami menapaki jalan menuju puncak Gunung Pulosari. 

Pakaian yang basah dan kabut tipis mulai membuat saya merasakan sensasi dingin menusuk tulang. Mungkin sebaiknya saya membangun camp terlebih dahulu untuk mengganti baju dan beristirahat sejenak, toh hari juga semakin  gelap. Saya pikir agak risiko kalau terus memaksakan untuk “tektok”, karena saya maupun Bambang benar-benar awam dengan medan dan wilayah di Gunung Pulosari. Ditambah agak susah juga untuk menemukan tanda jalan kala itu.

Bermalam di Gunung Pulosari

Jadilah, kami sibuk mencari permukaan tanah yang datar untuk mendirikan camp. Setelah menemukan, Bambang langsung buru-buru membersihkan semak-semak belukar dan begitu selesai, saya buru-buru membangun tenda. Bambang mengurusi perapian dan makan malam. 

Tak membutuhkan waktu lama, tenda sudah berdiri dan saya langsung sigap masuk untuk mengganti pakaian basah. Setelah itu, saya menjemurnya dekat api unggun yang dibuat Bambang. Mungkin karena habis hujan dan saya juga kebasahan, cuaca pegunungan Banten jadi terasa semakin dingin. Saya melingkarkan selimut tipis di punggung untuk menghangatkan tubuh yang menggigil ini.

Bunyi suara kayu yang terbakar menjadi satu-satunya suara di tengah hutan Gunung Pulosari. Saya dan Bambang tidak banyak mengobrol. Jadi, kami gampang kaget ketika suara burung terdengar di dekat camp. Suaranya mirip burung gagak.

“Wah anjir, bikin kaget itu burung,” seru Bambang sembari ngedumel dan menyantap makanannya. Saya hanya tertawa lalu menyeruput segelas susu cokelat hangat.

“Lagian kenapa sih diem-dieman, kayak lagi marahan tau ga sih,” ucap saya masih tertawa melihat raut wajah Bambang yang kaget saat itu. Ditambah dia juga hampir tersedak makanannya karena hal itu.

“Lu aman aja kan, Nes? Nggak kena hipo, kan?” Tanya Bambang yang khawatir melihat saya karena hidung saya yang memerah pula. Kalau cuaca dingin begini, memang saya itu gampang bersin-bersin. Apalagi, sejak sore, hawa di pegunungan Banten sudah terasa dingin.

“iya nggak papa, aman aja. Kayak gatau gue aja deh.”

“Ya bukan gitu, kan ngeri juga, nanti bisa dipenggal kepala gue sama laki lo kalau lu kenapa-kenapa.”

Ide gila dari Bambang

Malam itu, kami banyak bercanda di tengah gelapnya hutan Gunung Pulosari. Hingga tiba di mana ada suatu ide gila yang muncul dari percakapan kami. Iya, menurut saya itu adalah hal paling gila yang pernah saya dengar. 

Bambang, saat itu memutuskan untuk tidak tidur dan memilih mengeksplorasi sekitaran wilayah pegunungan yang berada di Banten ini. Bahkan dia tak segan atau ragu untuk mengungkapkan niatnya mau mencari bola api yang katanya adalah penampakan yang kerap muncul di Gunung Pulosari.

Bambang memang terkenal dengan tingkahnya yang nyeleneh dan suka mencari hal-hal berbau gaib. Kalau tak salah, dia pernah berniat untuk membuat channel YouTube mengenai kisah horor ala-ala found footage. Tapi sayangnya, niat itu tidak pernah terwujud. 

Setiap berniat untuk melakukan itu, ada saja kejadian yang menimpanya. Entah kameranya hilang, mati, rusak, atau bahkan dia pernah tersesat hingga kelaparan di tengah gunung. Makanya ketika saya mendengar ide gila itu, saya langsung saja memotong pembicaraan dan dengan tegas menolaknya.

“Duh, jangan macem-macem ya!” Kata saya sembari menguyah daging panggang yang dibuat oleh Bambang.

Bisikan yang terasa berbeda

Laki-laki itu tertawa cukup kencang hingga mungkin tawanya mengisi keheningan malam di hutan. Saya langsung saja menutup mulutnya dengan potongan roti. Kesal dengan sikapnya yang seenak jidat itu. Saya cuma nggak mau kualat gara-gara hal aneh seperti itu, apalagi saat ini saya pun mendengar lagi suara bisikan, padahal tadi sudah tidak terdengar.

Eh, tapi, tunggu….

Ada sesuatu yang aneh kali ini. Iya, aneh, karena kali ini suara bisikan yang saya dengar itu terdengar asing. Tidak seperti waktu itu. Apakah ini yang dimaksud misteri Banten? Karena terdengar berbeda, saya malah jadi fokus ke suara bisikan tersebut (harusnya saya tidak melakukan ini!) dan tiba-tiba saja….

“AAAHHH!!!”

Saya tiba-tiba berteriak seperti orang ketakutan. Saya menutup mata rapat-rapat. Muka saya langsung pucat dan sekujur tubuh saya berkeringat dingin. Bulu kuduk saya berdiri. Sekilas tadi, saya melihat sosok makhluk menyeramkan dan bahkan saya rasanya tidak sanggup mendeskripsikan wujudnya dengan detail. 

Penampakan itu terjadi dengan cepat, mungkin sepersekian detik saja. Bambang yang melihat tingkah saya itu langsung mendekat dan duduk di hadapan saya. Dia terlihat panik dan mencoba untuk menyadarkan saya. Dia mengguncangkan tubuh saya hingga saya akhirnya membuka mata. Jujur, saya tidak berani menengok kanan dan kiri, mata saya tertuju ke bawah sembari pelan-pelan melihat wajah Bambang.

“Gue pengen masuk tenda aja. Capek gue,” ucap saya dengan suara pelan. Entah kenapa saya enggan untuk menceritakan kejadian tadi. Bambang pun membantu saya masuk ke tenda.

Di dalam tenda, dia berusaha mencari tahu alasan saya sempat histeris. Namun, saya hanya menggeleng dan tetap meminta dia untuk tidak berbuat aneh-aneh. Kali ini saya benar-benar sampai memohon. Melihat saya yang masih pucat, Bambang pun akhirnya menyetujui dan tidak berbuat aneh-aneh. Langsung saja, saya masuk ke sleeping bag dan mencoba untuk tidur. Bambang memutuskan kembali berjaga di luar tenda.

Suara anak kecil dari kegelapan hutan

Meski sudah berada di sleeping bag, saya malah sulit tertidur. Sudah beberapa kali mencoba, tapi mata ini tidak bisa diajak berkompromi. Hawa di pegunungan Banten ini tidak “mengganggu”, hanya terasa berbeda saja. Akhirnya, karena cukup kesal dan bosan, saya bangun dan keluar tenda. 

Namun, di luar, saya tidak mendapati sosok Bambang. Api unggun masih menyala-nyala, suara serangga malam menemani malam yang sunyi dan sepi ini. Saya duduk persis di depan tenda, memandangi api unggun itu, hingga saya cukup dikagetkan dengan suara gemerisik dari balik semak.

“Siapa itu? Bambang? Bambang itu lo kan? Jangan suka bercanda deh, nggak lucu tau!” Kata saya masih celingukan mencari sosok Bambang. Nyali saya mulai menciut ketika suara tawa anak kecil lirih terdengar.

Suara tertawa anak kecil itu lirih saja. Namun, suaranya seperti menempel di telinga. Takut, saya langsung masuk tenda, lalu menutup pintunya rapat-rapat. Saya benar-benar langsung membungkus diri dengan sleeping bag dan memaksa mata untuk tidur. Entah bagaimana keadaan diluar. Saya benar-benar tidak berani membuka mata.

“Teteh, ayo main….”

Jika sebelumnya suara tertawa, kali ini, ajakan untuk main. Suara anak kecil yang sukses bikin saya sangat ketakutan. Saya hampir bisa melihat siluetnya di luar tenda ketika memberanikan diri melirik. Secara reflek saya membaca Ayat Kursi, berharap sosok anak kecil yang ada di luar tenda itu cepat pergi. 

Setelah fokus membaca Ayat Kursi, saya tidak lagi mendengar suara anak kecil itu. Ketika sudah tidak ada suara lagi, kecuali suara jangkrik malam itu, saya pun langsung keluar dari sleeping bag. Saya hanya bisa duduk bersila di dalam tenda. Gemetar di seluruh tubuh belum hilang.

“Mampus, mampus. Si Bambang ke mana sih, duh Agnes, woi anjir lu ngapa jadi ciut begini nyalinya sih. Katanya mau jadi berani, bloon!” Ujar saya yang jadi ngomong sendiri. Saya menyalahkan nyali ini yang seperti roller coaster. Selang beberapa menit kemudian, saya bisa mendengar suara angin bertiup cukup kencang, ditambah suara kresek-kresek ranting pohon yang saling bergesek membuat suasana semakin  terkesan horor. Gunung Pulosari di Banten ini langsung terasa mengancam.

Sunyi, sepi.

Sampai akhirnya….

Suara anak kecil itu mengagetkan lagi. Kali ini dia minta tolong. Suaranya sangat mendesak. Saya yakin dia masih ada di luar tenda.

“Teteh, takut. Tolong… tolong. Takut.”

Di dalam tenda, saya hanya bisa menutup kuping berusaha menahan suara itu masuk ke otak saya. Namun, usaha itu tidak berhasil.

Dorongan untuk pulang

Saya tidak berani bergerak. Tidak berani membuka mata. Saya hanya bisa duduk bersila, lalu menangis. Saat itu, saya hanya bisa berdoa dan berharap Bambang cepat kembali. Namun, semakin saya menguatkan diri, suara bisikan itu kembali bergaung. Menempel erat ke telinga. Menghantui.

Astagfirullah, ya Allah, ya Allah, tolong hamba!” 

saya beristighfar dengan suara yang agak tertahan oleh isak tangis. Saya menutup kedua telinga dan memejamkan mata. Ketika suara anak kecil itu sayup-sayup menghilang, kini suara Bambang terdengar lantang dari luar tenda. Begitu mendengar suaranya, saya jadi agak berani untuk merangkak keluar tenda.

“Lu kemana aja sih?! HAH?!” Bentak saya sembari mendorong tubuhnya sampai Bambang tersungkur. Saya menangis sejadi-jadinya karena jujur, perjalanan pendakian ini terasa melelahkan ditambah saya juga harus mendengar hal-hal yang tidak mau saya dengar sama sekali.

“Lu kenapa lagi? Hah? Lo liat apa?!” Tanya Bambang sembari mengguncangkan badan saya. 

“Gue mau pulang aja. Nanti pagi nggak usah summit. Kita langsung balik aja.”

“Nes, haduh… beneran? Lo nggak bakal nyesel?” 

Saya tahu Bambang sangat ingin sampai puncak Gunung Pulosari. Namun, saya sudah tidak betah dan merasa terancam di pegunungan Banten ini.

Mencoba tenang

Saya menepuk pundaknya, mengatur napas, dan mencoba tenang. Bambang dengan sigap memberi saya selimut dan menyeduhkan segelas susu cokelat hangat. Untung saja dia orang yang peka dan cepat tanggap. 

Hati saya agak sedikit lega dan tenang setelah menyeruput susu cokelat. Saya akhirnya menceritakan kejadian yang saya alami, dari awal di hutan bambu Gunung Pulosari hingga suara anak kecil yang mengajak main lalu meminta tolong.

“Lu tahu kan, gue lelah banget. Sampai kapan coba gue ngalamin kejadian aneh terus? Gue kan pengen nikmatin alam sekitar kayak orang-orang pada umumnya. Maka dari itu, gue… ah sudahlah! Nggak usah dibahas,” imbuh saya yang memang sudah malas menjelaskan. 

Sebenarnya, saya juga selalu ingin tahu kenapa saya terkadang bisa mendengar bisikan-bisikan aneh bahkan selalu saja mengalami kejadian di luar nalar manusia. Dari sekian banyak orang, kebanyakan bilang mungkin saja saya anak indigo? Saya jujur nggak terlalu tertarik ke hal-hal seperti itu. 

Saya juga banyak tanya ke beberapa tetua di keluarga, Namun, mereka lebih memilih bungkam dan bahkan hanya kasih wejangan-wejangan yang sama terus. Tidak menjawab pertanyaan dan malah bikin semakin penasaran dengan buyut dan tetua keluarga.

Melihat saya yang jadi tidak bersemangat, Bambang langsung berdiri dan meninggikan suaranya.

“Tolong yah, saya tahu kalian ada di sana, tolong nggak usah ganggu kami karena kami juga nggak ganggu kalian,” ucap Bambang dengan lantang dan tegas. Kalau boleh saya katakan, ini orang memang tidak ada takut-takutnya sama siapa saja kecuali Tuhan dan mamaknya.

Saya menarik tangan Bambang, memperingatkan untuk tidak takabur ketika berada di pegunungan Banten seperti ini.

“Jangan memperburuk keadaan woi! Udah duduk aja.”

Niat nyeleneh

Bambang tanpa basa-basi langsung duduk. Dia juga menjelaskan tadi menghilang itu karena dia lagi buang air besar. Saya enggan berkomentar dan memilih diam. 

Saya tahu bahwa kedatangan saya ke pendakian kali ini memang mempunyai niat yang lumayan nyeleneh. Pertama, saya ke Gunung Pulosari karena memang penasaran soal kebenaran dari kisah abang starling kemarin. Kedua, saya ke sini pun berniat menguji nyali. Apakah saya bisa mengalahkan trauma atau tidak di tengah misteri Banten. Harusnya saya tidak berniat nyeleneh seperti itu dan harusnya saya tidak boleh bersikap takabur juga.

Saya duduk termenung tanpa berkata-kata, memandangi api yang berkobar-kobar kecil di atas batang kayu kering. Sebenarnya saat itu saya ingin cepat menyelesaikan pendakian ini. Tapi jujur, tantangan lewat jalur Saketi ini cukup melelahkan. 

Kami harus memanjat, merunduk, dan bahkan harus berjalan pelan karena tanah yang licin, ditambah lagi medan kemiringannya juga tidak main-main. Jadi bisa dibilang cukup menguras tenaga dan mental.

Pendaki nyasar

Saya dan Bambang masih terjaga hingga pukul 11 malam lebih. Hujan sudah lama reda. Tadinya kami memang berencana nge-camp saja di puncak. Tapi ya bagaimana, kita sudah berputar-putar cukup lama saat di area hutan bambu Gunung Pulosari tadi. Jadilah kami terpaksa nge-camp di sini. 

Selang beberapa menit, kami dikagetkan dengan kedatangan seorang pendaki yang kemungkinan nyasar. Tubuhnya lemas dan bajunya kotor. Bambang dengan sigap menghampiri. Saya pun menolong untuk melepas carrier-nya dan membuatkan pendaki itu secangkir teh hangat.

“Bro, lu nggak papa kan?” Tanya Bambang memastikan kondisi laki-laki yang keliatannya masih umur 20 hingga 25 tahunan. Pakaiannya kotor dan sepertinya dia dehidrasi.

Saya menyuguhkan air, teh hangat, dan bubur instan. Dia melahap semuanya dengan cepat, seakan sudah beberapa hari dia tidak makan dan minum. Setelah menyelesaikan makananan, dia menarik napas. Terlihat sangat lega.

“Bro, makasih banyak udah nolongin. Ya Allah, untung saja saya ketemu sama kalian. Udah tiga hari gue tersesat di Gunung Pulosari ini,” ujarnya

“Nama lo siapa? Terus rombongan lu ada berapa orang?” Tanya saya sambil duduk memperhatikan pendaki itu.

“Nama gue Bagas. Rombongan gue ada lima orang termasuk gue. Gue tersesat dan kepisah sama rombongan pas lewat Curug Putri. Di situ gue bener-bener antara percaya nggak percaya, gue bener-bener kayak orang linglung. Pas sadar-sadar gue udah sendirian,” pungkas pendaki bernama Bagas itu.

Saya jujur agak kaget. Setahu saya, kalau mau ke Curug Putri, lebih dekat kalau masuk via Cilentung. Sementara itu, via Cilentung saja masih ditutup. Tanpa basa-basi saya langsung menanyakan ke Bagas.

“Lo masuk Cilentung secara ilegal ya?”

Bagas mengangguk malu. Entah apa yang ada di pikiran rombongannya sampai berani untuk menerobos masuk secara ilegal di pegunungan Banten yang penuh misteri ini.

Saya dan Bambang saling beradu pandang. Bambang menjelaskan bahwa kami berencana untuk summit dini hari nanti dan mengajak si Bagas untuk ikut. Siapa tahu bisa ketemu rombongannya di atas. 

Respons Bagas agak sedikit lama karena dia seperti tidak yakin. Bambang pun dengan tegas menanyakan kembali apakah Bagas mau ikut atau tidak. Hingga akhirnya Bagas menceritakan sesuatu yang mungkin sulit untuk dipercayai oleh sebagian para pembaca dan bahkan saya sendiri pun masih merinding jika mengingatnya.

Mungkin itu juga yang menggiring kami menuju petaka yang seharusnya bisa kami hindari sejak awal….

BERSAMBUNG

BACA JUGA Gunung Sindoro: Sebuah Prolog untuk “Sesuatu” yang Menyesatkan dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version