MOJOK.CO – Rumah Nenek kini kosong dan kami bermaksud membereskannya selepas tahlilan tujuh hari. Siapa sangka, mesin jahit Nenek malah hidup secara misterius, tiba-tiba!
Nenek meninggal. Ibu menangis terisak-isak. Aku ingat, saat itu aku masih kelas 2 SD. Tentu saja aku sedih, tapi aku tidak tahu apakah aku boleh menangis. Jadi, yang aku lakukan hanya berdiri diam melihat jenazah Nenek, sambil mengingat-ingat betapa beliau kerap mengelus-elus dan menepuk pundakku.
Rumah Nenek segera saja kosong karena seluruh anaknya telah memiliki rumah sendiri-sendiri. Dulu, Nenek tinggal bersama Kakek, sebelum akhirnya Kakek meninggal saat aku masih menjadi murid TK.
Karena rumah Nenek sudah kosong, seluruh keluarga besar sepakat untuk bersama-sama membereskannya. Maka, setelah rangkaian tahlilan tujuh hari Nenek selesai digelar, kami tinggal di sana sambil merapikan semua pakaian dan perabot.
Suatu siang, di rumah Nenek hanya ada aku dan Ayah. Beliau sedang mendapat jatah libur bekerja, sementara ibu dan kedua paman serta bibiku sedang keluar untuk mengurus beberapa hal terkait tahlilan tujuh hari kemarin. Aku sendiri sudah pulang sekolah sejak pukul 11.
Ayah membaca koran di ruang tamu. Tidak jauh dari sana, aku berlatih gerakan olahraga di ruang televisi, sendirian. Sekolahku akan menggelar lomba olahraga antarkelas dan aku menjadi salah satu wakil dari kelasku.
Televisi di depanku sedang berada dalam kondisi mati. Jadi, bayanganku terpantul jelas di layarnya, sedang bergerak ke kanan dan kiri. Akhirnya, aku kelelahan dan berhenti menghadap bayanganku sendiri di sana. Wah, lucu juga rambutku yang baru dipotong kemarin, batinku.
Belum selesai aku mengagumi hasil potongan rambut salon langganan Ibu, sesuatu terjadi sangat cepat, tapi aku tak akan melupakannya seumur hidup.
Tepat di atas pundak kiriku—atau di bawah rambut pendekku yang sedang aku amati dalam-dalam—sebuah bayangan tangan muncul dan bergerak, seakan-akan seseorang sedang menepuknya. Sungguh, aku tidak bercanda!
Tidak berhenti sampai di situ, sebuah bayangan tangan lain muncul—kali ini di pinggang kananku. Kedua bayangan tangan ini seolah-olah menunjukkan ada orang di belakangku dan berniat memutar badanku ke belakang untuk memelukku, seperti yang sering dilakukan…
…Nenek?! teriakku dalam hati.
Badanku kaku dan tidak bisa bergerak. Tiga detik kemudian, sesuatu yang lain terjadi.
Aku ceritakan dulu hal yang penting: Nenek suka menjahit. Mesin jahitnya sebenarnya diletakkan lebih dekat ke ruang tamu, tapi karena kemarin ada tahlilan tujuh hari, kami menggesernya ke seberang televisi.
Saat itu, mendadak saja, mesin jahitnya hidup sendiri. Berbunyi, seakan-akan Nenek sedang menjahit!
Badanku tidak lagi kaku. Tepat saat mesin jahit tadi bergerak, aku langsung lari ke ruang tamu, memeluk Ayah, dan bercerita tentang apa yang baru saja terjadi.
Ayah tidak terlihat takut, tapi dia mengajakku kembali ke ruang televisi. Kami memandang bayangan kami di layar televisi yang mati: tidak ada apa-apa. Lalu, kami memeriksa mesin jahit Nenek: kabelnya tidak dicolokkan, jadi seharusnya ia tidak berbunyi sama sekali. Hiii.
“Mungkin, tadi Nenek cuma kangen sama kamu,” ujar Ayah. Aku tidak tahu apakah ia sedang berusaha menenangkanku, bercanda, atau malah makin berupaya menakut-nakutiku. Tapi, saat itu, aku memercayai kata Ayah dan berusaha mengubah perasaan takutku menjadi rindu pada Nenek.
Malam harinya, aku diam-diam mendengar Ayah bercerita pada Ibu dan kedua paman serta bibiku soal apa yang terjadi. Waktu itu, aku sedang terbangun dari tidur dan hendak meminta ditemani ke kamar mandi. Tapi, belum sempat aku keluar dari kamar, suara Ayah sudah terdengar dari luar.
“Tadi siang Sinta yang diganggu. Katanya, ada tangan yang pegang pundak dan pinggangnya. Mesin jahit Ibu juga nyala lagi.”
“Tuh kan, benar, berarti aku nggak berhalusinasi waktu itu!” Itu suara Bibi Romela, adik kedua Ibu. “Kemarin lusa, waktu kalian sedang berjalan-jalan pagi selepas Subuh, mesinnya hidup sendiri. Sumpah!”
Hening. Kurasa, orang-orang dewasa ini sedang berpikir.
“Waktu Ibu tinggal sendirian di sini, apa beliau aman-aman saja, ya? Atau ini cuma terjadi setelah tahlilan tujuh hari kemarin saja?” Aku mendengar ibuku bertanya, hampir berbisik.
Suara berdeham. Paman Anton, adik pertama Ibu, kemudian menjawab, “Aku pernah bertanya pada Ibu, kenapa beliau nggak mau kuajak tinggal di rumahku bersama Stella dan anak-anak. Maksudku, itu kan lebih baik daripada Ibu tinggal sendiri.”
“Terus jawaban Ibu apa?”
Paman Anton berdeham lagi. Lalu katanya, “Ibu bilang, ‘Ibu nggak sendirian, kok, Le.’ Aku tanya lagi, apa maksudnya. Jawabnya lagi, ‘Ibu tinggal di sini sama Bapak, Le. Setiap pagi dan sore, Bapak duduk di kursi ini. Ibu nggak sendirian.’
“Kursi yang dimaksud Ibu, ya, satu-satunya set kursi di ruang televisi ini, yang kita duduki.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi di luar, tapi suara langkah kaki yang seolah melompat dan menjauh langsung terdengar. Kurasa, semua orang dewasa itu sedang ketakutan. (A/K)