Ketakutan Gara-Gara Anak Kecil Bisa Melihat Makhluk Halus

MOJOK.CO Sepupuku, Alin, adalah satu dari sekian banyak fenomena anak kecil bisa melihat makhluk halus. Menyebalkannya, celetukannya selalu sukses membuatku merinding.

“Kami harus pergi ke kota sebelah. Sebentar saja, besok pagi juga pulang,” kata ibu suatu hari. Tangannya sibuk mengemas pakaian ke dalam tas besar.

Saudara kami di kota sebelah masuk rumah sakit. Ibu dan Ayah, serta Om dan Tante, segera memutuskan menjenguk sejak pagi ini. Konsekuensinya, aku diminta menjaga rumah sekaligus seorang sepupuku yang masih berusia 5 tahun.

Alin, sepupu yang kumaksud, datang tak lama setelah itu. Kami melambai pada mobil Ayah yang melaju pergi menjauh, sebelum akhirnya kami masuk ke rumah dan mengunci pintu.

“Main, yuk!” kataku. Alin menjawab dengan senyum yang lebar sekali.

Tapi, belum sempat kami berjalan ke kamar, Alin tahu-tahu berkata, “Mbak, itu yang di luar jendela belum masuk ke dalam.”

Aku menengok cepat-cepat ke arah jendela. Tidak ada siapa-siapa.

“Nggak ada orang, Alin.”

Alin diam saja, lalu segera kugendong masuk ke kamar. Mendadak, aku merasa agak merinding, padahal saat itu masih pukul 9 pagi!

Selagi bermain salon-salonan, aku jadi menyesal sendiri. Alin memang lucu, tapi aku lupa bahwa ada hal-hal yang membuatku jarang betah bermain dengannya. Salah satu alasannya adalah karena Alin merupakan satu dari sekian banyak fenomena anak kecil bisa melihat makhluk halus.

Pernah, kami mengunjungi Kakek yang dirawat di rumah sakit, enam bulan yang lalu. Kamar Kakek berada di lantai lima sehingga kami perlu menggunakan lift untuk mengunjunginya. Aku datang bersama Alin karena seluruh orang dewasa sedang bekerja.

Sebelum ke kamar Kakek, kami harus menebus beberapa obat di apotek lantai dua. Dari sana, kami menunggu lift datang untuk naik ke lantai lima.

Pintu lift terbuka. Di sana hanya ada seorang laki-laki berdiri sendirian di tengah lift. Aku sudah maju ke depan dan berniat masuk, waktu Alin tahu-tahu menarik tanganku dan menahanku. Si pria dalam lift agak bingung karena aku tidak jadi maju, sampai pintu lift akhirnya tertutup.

“Kenapa, sih?” tanyaku, kesal.

Alin cuma menjawab singkat, “Liftnya, kan, penuh. Ada yang kepalanya berdarah. Alin nggak mau sama dia.”

Padahal, seperti yang sudah kubilang, penumpang lift tadi—di mataku—hanya seorang pria yang berdiri sendiri.

Seakan-akan belum cukup, kok bisa-bisanya Alin bilang tadi bahwa ada sosok di luar jendela di rumah ini? Jelas sudah, aku harus bersiap-siap dan tidak lagi menjadi terlalu ketakutan kalau Alin kembali menunjukkan sisi dirinya sebagai anak kecil bisa melihat makhluk halus.

“Mbak, Alin mau pipis,” kata Alin tiba-tiba. Aku segera mengantarnya ke kamar mandi. Setelah menuntaskan hajatnya, kami kembali ke kamar.

Namun, dalam perjalanan kami, Alin tiba-tiba berhenti di depan kamar Ibu yang pintunya terbuka.

“Mbak, itu siapa, sih, yang di belakang lemari? Tadi, kan, dia masih di luar.”

Mampus, batinku.

***

Akhirnya, malam hari tiba. Aku berhasil membuat Alin sibuk bermain dan tidak mengoceh soal orang-orang tidak terlihat.

Fenomena anak kecil bisa melihat makhluk halus adalah hal yang tidak lucu sama sekali. Cara Alin bicara seakan hal-hal yang tidak terlihat ini adalah sesuatu yang normal juga hanya membuatku kian merinding.

“Tidur, yuk,” ajakku. Alin mengangguk. Kami berbaring di kasur dan di tepinya kuberi guling agar Alin tidak jatuh.

“Sudah ngantuk?” tanyaku. Alin mengangguk, lalu berkata, “Gulingnya mirip yang tadi.”

“Yang tadi yang mana?”

“Yang tadi di belakang lemari, di luar jendela juga. Mukanya item. Hiii.”

Aku mengeluh dalam hati. Duh, jangan mulai lagi deh soal fenomena anak kecil bisa melihat makhluk halus ini! Jangan bilang kalau Alin ternyata daritadi melihat pocong?!

“Ya sudah, yang penting sekarang tidur, ya. Nggak ada lagi itu orangnya. Di sini cuma ada Alin sama Mbak.”

“Nggak, kok, Mbak. Orangnya masih ada.”

Aku agak takut, tapi terus bicara, “Iya, tapi kan dia adanya di belakang lemari di kamar sebelah.”

“Itu kan tadi,” jawab Alin. Lalu tambahnya,

“Sekarang dia udah nggak di sana. Itu, di belakang Mbak sekarang.”

Sungguh, malam itu adalah malam yang cukup panjang karena  aku tak bisa tidur sedetik saja, sementara semua lampu akhirnya aku nyalakan sampai pagi. (A/K)

Exit mobile version