Banten yang Bijak dan Kesedihan Mendalam dari Gunung Pulosari (Bagian 4)

Banten yang Bijak dan Kesedihan Mendalam dari Gunung Pulosari MOJOK.CO

Ilustrasi Banten yang Bijak dan Kesedihan Mendalam dari Gunung Pulosari. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKami keluar dari Banten dengan kelelahan yang tak tertahankan dan kesedihan mendalam dari Gunung Pulosari.

Baca dulu bagian 3 di sini: Kelam Malam Gunung Pulosari, Dunia Lain di Puncak Banten (Bagian 3)

Ketika angin berhembus kencang, di situ saya dan Bambang bisa melihat sosok dari balik kabut tebal Gunung Pulosari. Sosok itu membuat kami semakin bertanya, apakah kami masih berada di dunia yang sama?

“Temen gua dibawa sama jin, Bang!”

Astagfirullah!” 

Hanya kata itu yang keluar dari mulut saya. Jujur, otak saya tidak bisa memproses semua yang terjadi. Entah bagaimana, tiba-tiba saya seperti memang dituntun untuk menuju Banten dan mendaki Gunung Pulosari di Banten. Saking heran dengan kesadaran baru ini, saya hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangan. 

“Apa iya saya harus ke sini? Kenapa? Saya lelah.” Kalimat itu yang terngiang di dalam benak saya. Namun, lagi-lagi, entah bagaimana, saya tidak mampu mengucapkannya.

Seharusnya saya lebih tegas

Jujur, saya agak menyesal tidak mendebat Bambang dan memaksanya tidak summit. Intinya, tidak seharusnya kami terlibat dalam masalah Bagas dan kawan-kawannya. Namun, ketidakmampuan saya memaksa Bagas juga sepertinya bukan karena “niat” saya sendiri. 

Baiklah, sekali lagi, dan yah, mau tak mau, saya harus membantu pendaki ini untuk menyelamatkan teman-temannya yang katanya “dibawa” oleh jin penunggu Gunung Pulosari di pegunungan Banten ini. Masalahnya, saya tidak tahu caranya. 

Lagipula, apakah yang “membawa” teman-teman Bagas itu memang jin? Bagaimana jika dia ternyata sosok penjaga yang “kastanya” lebih tinggi dari jin dan kesal karena kelakuan teman-teman Bagas? Rasanya ribuan pertanyaan menyerbu bersamaan.

Maka, yang paling logis dilakukan adalah saya berbisik ke Bambang agar kita melaporkan saja kejadian ini kepada pihak yang lebih berwenang dan mampu. Ke ranger gunung, misalnya. 

Bukan karena takut atau tidak ingin membantu, tapi kami tidak tahu caranya serta tidak punya hak untuk ikut campur. Apalagi sudah berurusan dengan hal-hal mistis seperti ini. Sekali lagi saya harus menekankan bahwa kami hanya orang biasa. Tentunya saya juga tidak ingin masuk lebih dalam ke sebuah hal yang masih tidak jelas.

Namanya Abdi

Bambang hanya mengangguk. Nampaknya dia berusaha sangat keras untuk menenangkan diri dengan bertanya nama pendaki tersebut.

“Nama saya Abdi,” jawab pendaki itu.

“Oke. Sekarang lo istirahat dan kita bakal turun untuk melaporkan masalah ini.” Bambang menjelaskan alasan kita harus turun dan melaporkan ke pihak yang lebih mampu. Abdi yang mendengar penjelasan itu sepertinya tidak setuju. Dia masih bersikukuh untuk menyelamatkan teman-temannya.

“Udah nggak ada waktu, Bang. Kalau sampai nanti Maghrib belum ketemu, bisa bahaya!” Kata Abdi dengan mimik muka sangat memelas. Bambang mungkin tidak tega melihat kondisi Abdi yang seperti itu. Laki-laki itu mencoba untuk membujuk saya agar langsung membantu Abdi mencari teman-temannya, setelah itu langsung melapor ke pihak terkait. 

Sekali lagi, saya mencoba meyakinkan kembali ke Bambang bahwa ini bukan sesuatu yang bisa kita bantu begitu saja. Kita hanya “orang luar” dan juga sudah sewajibnya kita melaporkan kejadian ini kepada pengurus.

Please, Bro. Gue bukan nggak mau bantu, tapi masalahnya gue juga takut kenapa-napa. Kita awam banget sama medan di sini. Ini juga pertama kita ke gunung di Banten. Udah deh, mending kita lapor aja ke Pak RW di basecamp biar mereka yang gerak.” 

Menuju basecamp

Saya masih bersikeras tidak ingin terlalu ikut campur. Hati kecil saya benar-benar memberontak. Seperti menegur saya dengan keras untuk tidak ikut campur. Namun, di sisi lain, saya seperti harus ada di Banten, khususnya Gunung Pulosari. Seakan-akan saya hanya ingin dipertunjukkan sesuatu, bukan menjadi “tokoh” di dalamnya. Entahlah.

Setelah berdebat agak lama, akhirnya Bambang dan Abdi mau mendengarkan saya. Kami langsung bergegas untuk turun, mencari Pak RW di basecamp.

Saya berjalan agak cepat di depan. Bambang sendiri, meski sambil membantu Abdi berjalan, masih bisa mengimbangi. Setelah menggigil kedinginan di puncak Gunung Pulosari dan informasi baru soal “penculikan” yang dilakukan oleh jin, entah kenapa energi saya seperti terisi kembali.

Proses turun ke basecamp, ajaibnya, sangat lancar. Bahkan saya sempat merasa kok tiba-tiba sudah sampai. Belok kanan dan kiri serasa tidak perlu berpikir untuk memilih. Seperti sudah diatur seperti ini.

Disambut dengan sebuah peringatan

Sesampainya di basecamp, kami langsung melapor ke Pak RW. Kebetulan, saat itu basecamp sedang ramai oleh pendaki dan warga. Jadi, banyak yang mendengar cerita saya. Mereka menanggapi dengan Bahasa Sunda mungkin khas Banten yang tidak bisa saya pahami. Namun, dari raut wajah Pak RW, saya tahu ini masalah pelik. 

Siang itu, bakda Zuhur, sekitar 15 menit setelah azan berkumandang, suhu tubuh Abdi tiba-tiba naik drastis. Dia seperti menahan sakit sampai hampir menangis. Saya dan Bambang langsung panik, begitu juga mereka yang ada di basecamp.

Ketika panas tubuhnya semakin naik, Abdi langsung kejang-kejang. Beberapa orang mencoba memegangi dengan erat. Doa dibacakan oleh hampir semua yang hadir. Abdi berusaha memberontak dan melepaskan diri.

Tiba-tiba ada yang membentak, “Saha iyeu!” Salah satu warga mengeluarkan suara itu. Perawakannya kecil, sekilas terlihat seperti orang biasa.

Abdi langsung tenang ketika dibentak. Namun, sedetik kemudian, keluar suara berat seperti suara kakek tua dari mulutnya. Setelah itu dia berbicara Bahasa sunda dengan cepat. Saya tidak bisa memahaminya.

Setelah lebih tenang, Pak RW menjelaskan ke saya dan Bambang bahwa teman-teman Abdi nggak akan selamat dari Gunung Pulosari. Alasannya, mereka sudah menerobos larangan. Bahkan setelah dijelaskan dan diingatkan berkali-kali oleh warga setempat.

Saya dan Bambang jadi malu sendiri karena kami menuju Banten dan mendaki Gunung Pulosari tanpa mengetahui larangan yang dimaksud. Namun, saya bersyukur, kami tidak kurang ajar selama di gunung. Mungkin kecuali ketika sempat muncul rasa ingin uji nyali di pegunungan Banten ini.

Setelah Pak RW dan beberapa warga selesai berunding, mereka memutuskan untuk melakukan pencarian saat itu juga. Pak RW khawatir mereka sudah kehabisan waktu.

Memulai pencarian

Selain itu, Pak RW memberi saya dan Bambang pilihan. Kami bisa menunggu di basecamp sembari mengaso atau ikut naik lagi mencari rombongan Aldi. Lagipula, sosok yang sempat berada dalam tubuh Abdi memperingatkan kami berdua untuk tidak ikut campur. Namun, atas dasar kemanusiaan, kami memutuskan untuk ikut. Saya masih tidak percaya kalau Bagas sudah meninggal. Semacam ada dorongan untuk mencari kepastian.

Perjalanan naik lagi ke Gunung Pulosari di pegunungan Banten kali ini terasa sangat pendek. Mungkin karena kami berjalan bersama Pak RW dan warga setempat. 

Sesuai informasi Abdi, kami langsung menuju Curug Putri. Katanya, rombongan Abdi menghilang di sana. Pak RW dan empat orang warga mulai menelusuri area sekitar dengan cepat. Saya dan Bambang mengikuti dari belakang. Posisi kami sudah agak jauh dari curug ketika menemukan jejak pendaki. Dan, tidak jauh dari sana, kami menemukan salah satu rombongan Aldi. Awalnya kami mengira sudah terlambat. Ternyata, dan syukurnya, dia hanya pingsan.

Muka pendaki Gunung Pulosari itu pucat sekali dan detak jantungnya melemah. Kemungkinan hipotermia. Bambang dengan sigap mengambil air hangat dari botol minum lalu membantu pendaki itu minum dengan perlahan. Dia sangat lemah dan harus dibopong.

Dia datang lagi

Setelah menemukan salah satu pendaki, kami bergeser dengan cepat ke pos terdekat. Pak RW berjalan cepat menunjukkan arah. Saya ingat betul, saat itu, posisi saya di belakang Bambang. Entah saat itu saya bengong atau bagaimana, yang jelas saya tiba-tiba saja sekilas melihat lagi sosok yang muncul di puncak Gunung Pulosari, pegunungan Banten.

Kemunculannya begitu tiba-tiba dan kali ini lebih dekat. Saat itu saya masih belum bisa melihat sosoknya secara jelas. Namun, kehadirannya terlihat seperti hologram. Sontak saja saya berteriak dan membuat Bambang kaget. 

“Lo kenapa, Nes?!” 

Saya sibuk menepuk-nepuk pipi, mencoba untuk memberanikan diri. Saya hanya menggelengkan kepala saja ke Bambang dan mengisyaratkan untuk segera mengejar Pak RW yang mulai menjauh.

Tanpa menunggu Bambang, saya langsung berlari mengejar Pak RW sambil bertariak. Bambang dan saya berlari kecil mengejar sosok Pak RW yang semakin lama entah kenapa kok jadi jauh banget. Bahkan ketika saya sudah berteriak sekeras-kerasnya. Beliau tidak menengok ke belakang sama sekali.

Pak RW menghilang

Tiba-tiba saja kami panik dan semakin cepat berlari. Entah bagaimana, Pak RW dan rombongan warga menghilang di balik kabut tipis. Atau… jangan-jangan saya dan Bambang yang menghilang dan Pak RW sedang sibuk mencari kami.

“Perasaan gue yakin banget kok tadi Pak RW nggak sejauh itu.” 

Bambang berbicara ke diri sendiri sambil mengatur napas. Saya tahu dia sudah sangat lelah kerena bebannya bertambah. Namun, meski lelah, pilihan kami cuma melanjutkan perjalanan. Rasanya sudah seperti tim SAR yang malah butuh bantuan tim SAR beneran, saya membatin.

Tak punya pilihan, kami menempuh jalur yang seingat kami tadi dipilih Pak RW. Saya dan Bambang berganti-gantian berteriak, memanggil Pak RW. Namun, jawaban yang kami terima adalah kesunyian hutan Gunung Pulosari di pegunungan Banten dan kicauan burung yang menggema. Dan dingin. Iya, dingin. Padahal ini masih siang, tapi rasanya sudah seperti malam.

“Kok gue takut, ya,” ucap saya.

Bambang tidak menjawab. Tenaganya semakin menipis. 

Lagi dan lagi, saya merasa kami hanya berputar-putar saja. Tidak perlu menduga, sesuatu yang janggal sudah terjadi. Saya curiga sudah terjadi sejak di puncak Gunung Pulosari.

Tersesat atau disesatkan?

Saya dan Bambang, saat itu, posisinya tidak berani duduk. Sekali duduk, pasti jadi lebih berat untuk berdiri dan jalan lagi. Dalam posisi berdiri, leher belakang saya tiba-tiba menjadi sangat dingin. Namun, rasa dingin itu hanya selewat saja. Sensasi aneh itu semakin menjadi ketika saya berbalik arah….

Saya tidak bisa lagi membedakan antara ilusi atau kenyataan. Entahlah. Saya tidak tahu lagi. Yang jelas, di belakang Bambang persis, saya melihat rambut terjuntai dari atas pepohonan. 

Rambut itu sangat panjang, menjuntai menyentuh tanah. Refleks, saya mendongak ke atas pohon.

Kepalanya tergantung ke bawah. Sorot matanya tepat mengarah ke mata saya. Matanya merah gelap, lidahnya seperti sisik ular. Saya tidak berani menuliskan dan menggambarkannya lebih lanjut di sini. 

Yang ada di pikiran saya adalah segera angkat kaki dari tempat itu. Maka, saya meraih tangan Bambang dan memaksanya berlari. Bambang yang sempat mematung langsung sadar dan ikut berlari.

Menjelang Maghrib

Pembaca masih ingat dengan cerita saya sebelumnya ketika di basecamp? Tiba-tiba saja energi saya kembali. Nah, saat itu, di bawah sorot mata merah gelap, saya jadi kuat untuk menyeret Bambang untuk lari. Namun, masalahnya, saya tidak tahu harus berlari ke mana yang pasti menjauh dari tempat itu. 

“Nes, lo lihat apalagi? Harusnya lo aba-aba dulu kek atau apa. Nggak inget nih gue bawa orang di belakang punggung,” kata Bambang dengan napas terengah-engah.

Saya tidak sanggup menjelaskan kejadian tadi. Saya hanya menegaskan ke Bambang untuk segera keluar dari hutan Gunung Pulosari di pegunungan Banten ini. Kalau bisa sih menemukan Pak RW, lalu pulang ke basecamp.

Saya mengambil waktu sejenak untuk mengambil napas. Bambang masih sibuk bertanya tadi ada apa, tapi tidak saya dengarkan. Setelah menenangkan diri selama beberapa menit, saya mengajak Bambang untuk jalan lagi. Saya tahu kami tersesat. Bukan hanya tersesat dengan konteks arah, tapi mungkin tersesat di dunia yang berbeda tapi saling iris dengan dunia manusia. Anehnya, saya malah lebih tenang. Ya masih kaget, tapi tidak setakut hari sebelumnya.

Bagas?

Sudah hampir Maghrib, batin saya. Keadaan hutan Gunung Pulosari di Banten ini sudah gelap. Saya masih berusaha untuk berpikir positif ketika tiba-tiba saya melihat sosok lain dari balik kabut dan pepohonan. Sosok itu memanggil saya.

“Mbak…. Mbak….”

Saya menepuk Bambang dan memastikan apakah ia melihat sosok tersebut. Bambang mengernyitkan dahinya, berusaha untuk melihat sosok dari balik kabut yang mulai menebal itu. 

“Eh, itu Bagas bukan, sih?” Tanya Bambang membuat saya berusaha lebih lagi untuk bisa melihat sosok yang terlihat samar itu.

“Eh, iya. Bagas!” Saya berteriak dari posisi yang sebetulnya tidak terlalu jauh dari sosok itu. Saya yakin itu Bagas. Tanpa pikir panjang, saya langsung menghampirinya. Tapi, tiba-tiba, jaket saya ditarik oleh Bambang. Saya memandang Bambang dalam-dalam. Kenapa? Itu yang saya tanyakan ke dia. Bambang geleng-geleng dan berbisik. 

“Nes, inget kata si Aldi. Katanya Bagas tuh udah meninggal.”

Peringatan Bambang menyadarkan saya. Tapi, apakah memang benar demikian? Saya mengamati Bagas lebih lama. Satu yang janggal, kalau memang itu Bagas, kenapa dia tidak langsung mengampiri kami. Kenapa dia tetap berdiri di balik pohon dan kabut?

Saya memberanikan diri melangkah. Dua langkah. Tiga langkah, sambil mendaraskan doa. Dan, ketika semakin dekat, saya sadar bahwa di tempat Bagas berdiri ternyata bibir jurang! Kalau tadi saya gegabah berlari menghampiri Bagas, bisa dipastikan saya jatuh dimakan jurang

Benarkah dia sudah tiada?

Sekali lagi saya kaget. Namun, ajaibnya, saya masih bisa menjaga ketenangan diri. Semacam ada perubahan di mental dan kepercayaan saya.

Makanya saya malah berseloroh dengan nada datar. “Bro, kita masih di dunia manusia, kan?”

Bambang malah kaget dengan ketenangan saya. Dia langsung menggamit tangan saya dan mengajak untuk segera jalan lagi.

Ketika kami jalan lagi, saya yakin sekali untuk tidak menengok ke jurang. Tiba-tiba, ada serangan rasa sedih yang cukup deras. Suara Bagas yang tadi memanggil saya seperti bergema di dalam kepala. Saya hanya bisa mengirim doa dengan iringan air mata.

Saya sedih karena merasa tidak bisa membantu Bagas. Padahal, kemarin, kami masih bisa mengobati pendaki yang tiba-tiba ketemu di Gunung Pulosari itu.

Kali ini kami berjalan tanpa terburu-buru. Sekitar 200 meter berjalan, hati kami jadi sangat lega ketika dari jauh terlihat iring-iringan obor. Kami sepakat bahwa itu rombongan warga yang tadi mencari rombongan Abdi bersama kami.

Akhirnya, Pak RW!

Kami berjalan agak cepat. Ingin segera ketemu manusia. Dan rasanya sangat lega ketika kami memang ketemu rombongan orang membawa obor. Tapi, kok rasanya jadi lebih banyak warga yang naik ke Gunung Pulosari di Banten ini. Harusnya saya lebih senang, tapi malah rasanya ada yang mengganjal.

Ketika Bambang hendak mendekat ke rombongan itu, saya menahannya dan memastikan apakah yang kami lihat ini beneran manusia atau bukan. Kami mengamati dengan seksama, sampai akhirnya dikagetkan oleh sosok Pak RW yang muncul tiba-tiba entah dari mana.

“Haduh, di sini kalian!” Seru Pak RW sembari menepuk pundak kami berdua.

Astagfirullah, Pak RW! Ya Allah, Pak! Bapak ke mana saja? Kami nyariin Bapak sedari tadi,” ucap saya yang langsung berdiri di hadapan beliau.

“Lah, Neng sama Akangnya saya panggilin emang nggak denger? Itu Neng saya samperin malah kabur!” Kata Pak RW yang membalas keluhan saya.

“Loh? Pak, yang ada kita berdua yang manggil Pak RW, tapi Bapak kagak nengok dan malah hilang!” Balas saya karena tiba-tiba muncul rasa kesal. Bambang lantas memotong dan menanyakan rombongan obor itu. Pak RW malah jadi heran dengan pertanyaan Bambang.

“Warga memang membantu mencari, tapi bawa senter, Kang. Bukan bawa obor,” kata Pak RW dengan dahi mengernyit.

“Sudah, yang penting Neng dan Akang sudah sama saya. Jadi, selama kalian menghilang tadi, kami mengevakuasi dua pendaki. Yang satu ketemu di bawah jurang. Satunya tenggelam di curug,” Pak RW menjelaskan kondisi pendaki yang sudah meninggal itu. 

Basecamp yang sunyi

Rasa sedih itu menekan sangat kuat. Ini kali pertama saya melihat mayat yang meninggal di gunung. Bambang menurunkan pendaki yang ada di pundaknya. Menyenderkannya di sebuah pohon. Setelah itu, Pak RW meminta kami segera turun ke basecamp karena situasi sedang “tidak bersahabat”. Beliau menunjukkan jalan ke basecamp ke kami.

Pak RW bilang bahwa dia dan warga masih akan menyisir Gunung Pulosari di Banten ini. Siapa tahu masih ada yang perlu ditemukan. Kami hanya bisa menurut dan segera turun.

Selama di perjalanan, kami lebih banyak diam. Sebenarnya saya masih kepikiran soal Bagas. Apakah mungkin kami menyesap cokelat panas bersama arwah Bagas. Tidak tahu kenapa, kejadian itu yang paling mengganggu pikiran saya. Bukan soal sosok berambut panjang, bukan pula “sosok agung” di puncak Gunung Pulosari.

Kami sampai ke basecamp dengan cepat. Suasana sunyi. Kami langsung menuju rumah yang jadi tempat tinggal Pak RW dan duduk di sana. Dari arah samping, datang orang tua yang tadi “membentak” Aldi. Beliau meminta kami segera cuci kaki, wudu, dan salat.

Suara orang tua itu berat dengan aksen Sunda Banten yang kental. Saya hanya bisa menangkap sepotong-sepotong saja. Yah, kami segera melaksanakan perintah orang tua itu. Selepas salat, perasaan kami jadi lebih lega. Rasanya memang jadi lebih ringan.

“Kayaknya setiap kali naik gunung atau masuk hutan, kenapa gue selalu aja ya dapet kejadian kayak gini. Dulu heran banget, sekarang jatuhnya lucu.” Saya membuka obrolan dengan Bambang.

“Tapi, kali ini, rasanya gue kayak memang dipaksa ke Banten lalu naik Gunung Pulosari. Aneh nggak, sih.”

Pak RW yang aneh

Bambang tidak menjawab. Dia hanya menepuk pundak saya. Saya tahu dia sudah mencapai puncak lelah. 

Kami duduk agak lama di teras rumah Pak RW. Mungkin hampir dua jam, ketika Pak RW muncul dari jalur pendakian Gunung Pulosari. Dia sendirian.

“Lho, kalian sudah turun. Katanya mau ikut mencari rombongan Aldi,” Pak RW yang datang langsung membuka obrolan.

Jujur, saya agak susah mencerna omongan Pak RW. 

“Kenapa diam saja. Hayuk kalau mau ikut mencari. Saya baru selesai mengarahkan warga yang akan ikut naik. Saya ada senter kalau mau dipakai.”

Lagi-lagi, saya terdiam. Saya melihat Bambang jadi sangat syok. Maka, yang keluar dari mulut saya adalah: “Maaf, Pak. Kami menunggu di sini saja. Kami udah nggak kuat.”

“Ya sudah. Iya, Neng. Kalau begitu saya pamit ya. Sudah ditunggu warga. Oya, pendaki yang dibawa Akang tadi sudah dibawa warga ke rumah sakit. Mohon maaf ya, dia tidak selamat.”

Meninggalkan Banten

Setelah pamit, Pak RW bergegas ke pintu jalur pendakian. Kami bisa melihat banyak sorot senter di jalur pendakian yang gelap itu. Pak RW agak berlari menghampiri mereka.

Saya dan Bambang bingung. Iya, hanya kata itu yang bisa menggambarkan semuanya. Hampir 10 menit kami terdiam sebelum Bambang memecah keheningan. 

“Nes, ada baiknya kita pulang sekarang.”

Kalimat Bambang itu, entah kenapa, adalah kalimat yang paling logis yang keluar dari mulutnya sepanjang pendakian di pegunungan Banten ini.

“Iya. gue setuju,” saya menyahut pendek.

Malam itu, kami meninggalkan Banten. Membawa rasa heran yang memuncak, lelah tak tertahankan, dan kesedihan mendalam.

BACA JUGA Misteri Gunung Gede Pangrango dan kisah menegangkan lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Penulis: Agnes Putri Widiasari

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version