Asih, Pensiunan Bidan, Membantu Persalinan Jin dan Hilangnya Sebuah Kampung

Kampung misterius yang dulu didatangi Asih, kini dikenal dengan banyak nama.

Asih, Pensiunan Bidan, Membantu Persalinan Jin dan Hilangnya Sebuah Kampung MOJOK.CO

Asih, Pensiunan Bidan, Membantu Persalinan Jin dan Hilangnya Sebuah Kampung MOJOK.CO

MOJOK.COKampung yang dulu didatangi Asih dan Sudarso kini dikenal dengan berbagai nama. Dulu, mereka menyebutnya Kampung Melati.

Kisah diundang ke alam jin ini dialami oleh Asih (64) pensiunan bidan. Bu Asing tinggal di sebuah desa di wilayah Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dia diundang ke alam jin untuk menolong jin wanita yang akan melahirkan.

Saat itu, Asih ditemani suaminya, Sudarso (66). Dia dan suaminya, kala itu, sama sekali tidak menyangka bahwa mereka berada di alam lain. Dan inilah kisahnya….

Awal 1980, malam itu sehabis salat Isya’, Asih sedang berbincag dengan suaminya sambil menyusui anak laki-lakinya, Bondan (satu tahun). Tiba-tiba, pintu rumahya diketuk orang. Suaminya membukakan pintu dan mempersilakan tamunya masuk. Tamunya seorang laki-laki berusia sekitar 30 tahun, berpakian rapi. Dia memakai kemeja batik warna cokelat dan bercelana hitam.

Ada sedikit keanehan dari tamu ini. Telinga kanan tamunya memakai anting-anting emas. Tentu saja, pada tahun delapan puluhan waktu itu, rasanya janggal melihat laki-laki memakai anting emas. Cuma sebelah pula.

Tamu itu memperkenalkan diri. Namanya Waseso.

“Pak, saya datang ke sini untuk meminta pertolongan kepada Bu Asih. Malam ini, istri saya akan melahirkan anaknya yang pertama. Mohon dibantu proses kelahirannya,” pinta Waseso.

“Jadi harus malam ini saya ke rumah panjenengan?” Tanya Asih.

“Iya, Bu, malam ini juga. Saya sekeluarga tinggal di desa sebelah, Kampung Melati,” jawab Waseso.

Setelah menitipkan bayinya kepada neneknya, ditemani Sudiro, Asih menuju Kampung Melati. Mereka berdua berboncengan motor, mengikuti tamunya dari belakang yang juga mengendarai sepeda motor.

Sekitar 15 menit perjalanan, mereka sudah masuk Kampung Melati. Kampung yang mereka tuju tampak tertata rapi. Jalan kampung mulus. Nyaris tanpa lubang. Rumah di Kampung Melati berderet teratur.

Asih dan Sudarso sampai Kampung Melati pukul delapan malam kurang. Namun, anehnya, belum ada pukul delapan, tidak ada satu pun pintu rumah terbuka. Juga tidak tampak anak-anak bermain di halaman, padahal bulan bersinar terang. Pada zaman itu, sangat lumrah anak-anak bermain di luar rumah sampai malam ketika rembulan bersinar terang. Orang dewasa juga di luar rumah. Asyik mengobrol. Namun, malam itu, Kampung Melati sunyi senyap.

Asih  dan Sudarso dibawa ke sebuah rumah joglo dengan halaman luas. Sepasang pintu dengan tinggi lebih dari dua meter menyambut mereka.

“Silakan masuk, Pak dan Bu Asih,” Waseso mempersilahkan kedua tamunya.

“Kepada Bu Asih, saya persilakan langsung ke kamar istri saya. Dia sudah lama menunggu.”

Bu Asih dengan peralatannya langsung masuk ke kamar istri Waseso. Dia melihat seorang perempuan muda berusia sekitar 20 tahun tengah berbaring, ditunggui wanita paruh baya, yang Asih duga sebagai ibunya.

Setelah berjabatan tangan dengan Asih, perempuan itu memperkenalkan diri.

“Nama saya, Wisasi, hampir sama dengan nama suami saya. Ini ibu saya, beliau biasa dipanggil Nyai Asih. Namanya sama seperti nama Bu Asih,” kata istri Waseso sambil menyunggingkan senyum yang terasa janggal.

Asih menangkap keganjilan itu. Namun, dia tidak bisa mengurai rasa aneh yang mulai terasa.

“Sebenarnya di kampung kami ada seorang perempuan tua yang biasa memberikan pertolongan persalinan. Tetapi anak perempuan saya ini minta agar persalinannya ditolong oleh Bu Asih, yang sudah dikenal namanya oleh warga Kampung Melati. Menantu saya, Waseso, setelah surup, langsung datang ke rumah Bu Asih.”

Asih menganggukkan kepalanya pelan. Bagaimana dirinya bisa dikenal di sebuah kampung yang tidak dia kenal. Namun, alih-alih mengejar rasa ingin tahu, dia menjawab:

“Terima kasih Bu, atas kepercayaannya mengundang saya kemari.” Asih menjawab sembari melirik kaki Nyai Asih yang duduk selonjor di atas pembaringan anaknya.

Hati Asih tercekat. Dia melihat kaki kanan Nyai Asih ternyata memakai binggel (gelang kaki) terbuat dari perak. Kaki kanan Wisasi juga sama, memakai binggel dari material serupa. Pemandangan seperti itu tidak bakal ditemui di desanya. Melihat tamunya memandangi kaki kanannya walau sekilas, Nyai Asih cukup tanggap. Dia berkata:

“Di kampung kami, semua wanita memakai binggel. Juga pria yang sudah beristri wajib memakai anting emas di telinga kanannya. Untuk pria lajang, wajib memakai anting perak. Ini merupakan ciri khas warga Kampung Melati. Kalau di desa Bu Asih, hal ini pasti tidak biasa,” ucap Nyai Asih.

Asih lahir dan beranjak dewasa di Batang, kota yang dijuluki kota Alas Roban dan belum pernah mendengar ada sebuah kampung yang mempunyai tradisi seperti itu. Padalah, Kampung Melati tidak jauh dari desanya. Kenapa ada kampung dengan tradisi aneh, tapi dirinya tidak pernah mendengarnya.

“Besok saya akan datang menemui Pak Lurah, untuk meminta penjelasan, agar saya tidak bingung,” kata Bu Asih dalam hati.

Proses kelahiran bayi Wisasi berjalan normal. Setelah bukaan delapan, bayi berkalamin laki-laki yang masih merah itu lahir dengan lancar dan selamat. Tangisan pertama si bayi terdengar nyaring, dan sebelum dibersihkan, oleh Asih diperlihatkan wujudnya kepada ibu si bayi.

Usai dibersihkan, bayi Wisasi lalu diserahkan kepada ibunya dan diletakkan di sampingnya.

Setelah cukup berbincang, malam itu juga, Asih dan suaminya berpamitan. Tiada hentinya, Waseso dan istrinya mengucapkan terima. Tidak lupa, Waseso mengulungkan amplop yang cukup tebal sebagai ongkos persalinan. Asih dan suaminya lega, sekaligus senang bisa pulang bawa uang.

Saat perjalan pulang, Asih dan suaminya sengaja berjalan pelan sambil mengamati Kampung Melati. Suasana semakin sepi. Kalau Asih tak salah mengingat, bunyi serangga pun tidak ada. Yang terdengar adalah suara debur ombak, seperti di pantai. Suaranya sayup-sayup. Asih dan suaminya sempat heran karena desa mereka di Batang cukup jauh dari pantai yang sekarang bernama Pantai Sigandu.

Asih dan suaminya juga ingat kalau malam itu, bau melati tercium cukup kuat. Padahal, Sudarso sangat yakin kalau di depan rumah-rumah warga yang mereka lewati tidak ada yang menanam melati. Lalu bau bunga melati itu berasal dari mana?

“Kami nggak berani mikir macam-macam. Kami sadar saat itu kami sedang berada di kampung orang, yang baru pertama kali kami datangi, meskipun lokasinya terasa tidak jauh dari desa kami,” ujar Asih sambil berusaha mengingat.

Kepada saya, Asih menceritakan kejadian di sisa malam yang bikin heran itu…

“Ketika kami sudah berada di rumah, saya melihat anak laki-laki saya tidur pulas dikeloni neneknya. Sedangkan kakek sedang menonton televisi hitam putih.”

“Setelah membersihkan diri dan duduk sejenak, di depan suami saya, saya membuka amplop pemberian Waseso. Kalalau ada suara guntur menggelegar, barang kali saya tidak sekaget ketika melihat isi amplop yang saya terima.”

“Ternyata, amplop tebal yang saya terima berisi potongan daun dan bunga melati yang sudah mulai mengering. Saya terpekik kaget sekaligus takut hingga nyaris pingsan. Untung suami saya dengan sigap menahan tubuh saya sehingga saya tidak terperosot jatuh dari kursi.”

Atas saran kakek (ayah Asih), amplop dan isinya dibuang ke sungai kecil di belakang rumah mereka. Tentu saja tidak asal buang. Amplop dan isinya terlebih dahulu dibacakan mantera tolak bala oleh sang kakek yang di desanya dikenal sebagai orang waskita.

Setelah membuang amplop dan isinya ke sungai, kakek Asih tersenyum. Menurut petunjuk yang diberikan kakek, Asih dan Sudarso diminta berkunjung lagi ke Kampung Melati.

Pesannya: “Berangkat pagi saja. Jauh, lho, kampungnya itu.”

Asih dan Sudarso sedikit protes. Semalam, mereka yakin betul cuma butuh 15 menit untuk menuju Kampung Melati. Si kakek cuma tersenyum.

Meski agak protes, Asih dan Sudarso berangkat pagi-pagi sekali ke Kampung Melati. Mereka menyusuri jalur ketika dibimbing Waseso menuju Kampung Melati. Asih dan Sudarso merasa sudah menempuh perjalanan agak lama, tapi tak kunjung sampai.

Keduanya sempat bertanya ke beberapa warga yang berpapasan. Namun, tidak ada yang pernah mendengar Kampung Melati. Asih dan Sudarso berusaha keras mengingat berbagai hal yang bisa jadi petunjuk. Sudarso teringat bahwa tadi malam, sayup-sayup, keduanya mendengar suara debur ombak. Jadi, masuk akal kalau Kampung Melati terletak tidak jauh dari pantai.

“Tapi pantai jauh, Pak. Bisa satu jam lebih dari sini. Tapi semalam itu cepat banget sudah sampai ke rumahnya Waseso,” kata Asih agak gusar. Sudarso berpikir dalam diam.

Sudarso bercerita kepada saya. Setelah berunding sebentar, Asih dan Sudarso memutuskan menuju Pantai Sigandu. Pokoknya jalan dulu saja, entah bagaimana nanti ketika sampai ya pikir belakangan.

Asih dan Sudarso menempuh perjalanan sekitar 1 jam 20 menit untuk sampai di daerah sekitar Pantai Sigandu. Jangan dibayangkan seperti zaman sekarang. Dulu, tahun 80an, suasana masih sangat lengang, tidak seramai sekarang.

Ketika berteduh untuk mengaso, keduanya melihat sebuah area luas yang dikelilingi pagar bambu. Tanaman rambat tumbuh menutupi pagar bambu itu. Setelah mengaso beberapa saat, ketika merasa lebih segar, Asih dan Sudarso mencium bau melati dari arah wilayah berpagar itu.

Ternyata, mereka tiba di sebuah kebun melati yang luasnya berpuluh hektar, terletak di dekat pantai. Asih dan Sudarso berjalan mendekat ketika bapak tua keluar dari pagar bambu itu.

“Mau ada perlu apa?”

“Tadi malam kami ke sini, Pak, kelihatannya seperti kampung, bukan kebun,” jawab Sudarso.

Bapak tua itu terdiam lalu tersenyum kecil. Dia sepertinya sudah paham apa yang terjadi.

“Bapak sama Ibu bukan yang pertama tersesat di Kampung Melati. Belum lama, rombongan orkes dangdut termasuk penyanyinya juga nyasar di sini. Mereka bercerita diundang oleh salah warga Kampung Melati yang lagi hajatan. Ketika selesai, kampung yang mereka datangi berubah menjadi kebun melati ini. Nak, ketahuilah, anakmas berdua tadi malam tersesat di kampung jin,” terang bapak tua itu.

“Perjalanan kami semalam, kalau tidak keliru hitung, hanya 15 menit, Pak,” kejar Sudarso.

“Kalau sekarang?” Tanya bapak tua itu.

“Satu jam lebih, Pak, baru sampai sini,” jawab Sudarso.

“Ya sudah, kalau namanya diundang ke Kampung Melati, memang tidak ada yang wajar, Pak. Lebih baik Bapak dan Ibu pulang saja. Sudah berbuat baik, kan, tadi malam. Nanti Gusti Allah yang membalas.”

Mendengar jawaban itu, Asih dan Sudarso langsung pulang. Belum jauh, Asih tiba-tiba berteriak kecil dan memaksa Sudarso balik ke kebun melati tadi.

“Kenapa?”

“Kita tidak pernah menceritakan keperluan kita di Kampung Melati ke bapak tua tadi. Tapi, kenapa dia tahu kita sudah berbuat baik?”

Sudarso yang baru sadar segera balik arah menuju kebun melati. Lucunya, sesampainya di lokasi, kebun melati yang luas dan dipagar bambu itu sudah tidak ada.

“Pak….”

“Iya, Bu. Ayo pulang.”

Tak menunggu waktu lama, keduanya segera balik kanan lagi dan pulang. Kembali, keduanya menempuh perjalanan selama satu jam lebih. Sesampainya di rumah, keduanya disambut si kakek dengan senyum lebar.

“Ketemu?” Tanya si kakek.

“Ketemu, Pak. Tapi ilang lagi,” jawab Sudarso sambil membilas kakinya dengan air kendi yang tersedia di depan rumah.

“Ya sudah. Sudah berbuat baik, biar Gusti Allah yang membalas,” jawab si kakek lalu ngeloyor pergi. Asih dan Sudarso saling tatap dan tenggelam dalam rasa heran.

Belum lama ini, saya, Asih, dan Sudarso ngobrol lagi soal kejadian yang telah lampu itu. Asih teringat sesuatu.

“Saya jadi ingat ketika ikut pengajian. Mengutip ayat Al Quran, Pak Ustaz menjelaskan, Allah SWT menciptakan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Apa ya mungkin soal berbuat baik juga,” kata Asih yang kini sudah berusia 64 tahun. Asih, adik saya tercinta.

BACA JUGA Sebuah Kesalahan Fatal di Kaliurang Membuat Teman Saya Diusir dari Yogyakarta dan cerita seram lainnya di rubrik MALAM JUMAT.

Exit mobile version