Diary dan Privasi yang Terjajah sejak Kanak-kanak Mojok.co
artikel

Diary dan Privasi yang Terjajah sejak Kanak-kanak

Hayo, siapa yang sering kepo sama rahasia orang di sekitarnya? Jangan dibiasakan, ya!

Suatu hari ketika sedang berbincang santai dengan Ibu, saya menangkap satu hal yang aneh. Ibu menyebutkan nama teman yang belum pernah saya ceritakan pada beliau. Setelah coba mengingatnya lagi, saya makin yakin. Orang tersebut memang belum pernah saya ceritakan, malah, tidak akan pernah. Orang itu adalah orang yang pernah saya taksir diam-diam dan tidak perlu saya ceritakan. Keheranan ini terjawab sudah ketika menemukan diary (atau buku harian) saya tergeletak tidak pada tempatnya. Hmmm, apakah ini bentuk dari penjajahan privasi?

Saya tahu Ibu pernah membaca diary saya ketika SD. Tetap merasa sebal, namun saya pikir itu hanya akan berlangsung sekali. Itu pun atas dasar ketidaksengajaan. Siapa tahu, beliau tidak sadar itu adalah sebuah diary. Beliau mungkin mengira buku itu bukanlah buku harian, apalagi itu memang diletakkan secara sembarangan waktu itu. Entah apakah pikiran saya dahulu terlalu mulia… atau justru terlalu bodoh. Dengan adanya repetisi ini, jelas membuat saya sadar bahwa ibu saya sengaja membacanya.

Ingin marah ke Ibu, kok, rasanya malu. Takutnya, nanti beliau malah makin membahasnya dan menanyakan lebih rinci perkara orang tersebut. Kalau saya tidak marah, kok, rasanya tidak adil. Privasi saya ditelanjangi oleh ibu sendiri. Orang yang seharusnya paling saya percaya di dunia. Atau justru sebab beliau adalah ibu saya, beliau boleh membaca diary anaknya? Kok, rasanya tetap tidak benar, ya? (atiqrehmanmd.com)

Hal yang sama rupanya tidak hanya dialami oleh saya. Seorang teman, sebut saja Bunga, mendadak histeris ketika mendengar cerita saya. “Sama, Nab! Sama! Mamaku juga gitu, padahal bukunya sudah aku sembunyiin, lho. Masih aja dibaca. Pakai disinggung segala pas lagi ngobrol.” Peristiwa ini makin menyadarkan saya. Jangan-jangan sejak kecil, sebagian dari kita memang sudah tidak punya privasi.

Saya tidak memahami alasan mengapa orang dengan sengaja membaca diary orang lain, apalagi anggota keluarga sendiri. Mungkin ketika ada kecurigaan yang beralasan, hal tersebut bisa lebih dibenarkan. Contohnya yakni tatkala anak dicurigai melakukan tindakan kriminal serius. Setelah diamati, anak ini tiap berangkat sekolah selalu membawa cangkul dan parang. Saat pulang sekolah selalu ada noda darah di bajunya. Nah, kalau itu, ada kemungkinan ditemukan bukti autentik melalui buku hariannya: “Dear diary, ternyata klitih asyik juga, ya.”

Setelah dipikir-pikir lagi, aktivitas saya sebagai manusia tidak seberbahaya itu. Begitu pula dengan teman saya dan mayoritas anak Indonesia yang lain. Tindakan sebagai anak berusia praremaja dan remaja memang tidak selalu terlihat lurus, namun menjadi berlebihan jikalau melampaui batasan privasi anak. Kecurigaan itu rasanya tidak masuk akal. Satu-satunya yang masuk akal bagi saya yaitu bahwa orang ingin membaca buku harian orang lain karena penasaran.

Artinya, rasa penasaran (atau kepo) mampu menjajah privasi orang lain, bahkan anggota keluarga sendiri.

Pentingnya menjaga privasi tetap berada pada tempatnya

Menulis di diary merupakan bentuk katarsis yang menyenangkan bagi sebagian orang. Melalui diary, kita bisa menyampaikan segala hal. Hal yang barangkali tidak bisa atau hanya terlalu malas untuk disampaikan pada orang lain. Hal-hal remeh yang ingin kita bagi hanya dengan diri kita sendiri. Ketika diary kita dibaca orang lain, rasanya seperti tercipta akumulasi perasaan marah, malu, dan sebal. Alhasil, keinginan untuk menulis diary jadi terpengaruh. Kita cenderung tidak ingin menulis diary lagi. Terlanjur kagok.

Dampak dari terjajahnya privasi juga bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan. Dengan kata lain, hal ini menambah trust issues di tiap pribadi. Pikiran-pikiran negatif mulai muncul, apalagi bila privasi dijajah oleh anggota keluarga sendiri. Mengapa orang-orang yang paling kita percaya justru yang melanggar hak untuk memiliki ruang yang utuh dan pribadi. Kalau sudah begitu, siapa lagi yang bisa kita percaya?

Perasaan tidak dihargai juga dapat tercipta dari terjajahnya privasi ini. Anak dapat merasa tidak mempunyai hak untuk memiliki sesuatu yang penting baginya: kebebasan untuk menyimpan “hidupnya” secara rahasia dan intim melalui diary. Anak dapat merasa segala hal dalam hidupnya boleh dilihat oleh orang lain bila mereka ingin. Dampak jangka panjangnya yakni anak akan menjadi kesulitan dalam menentukan batasan pada dirinya sendiri.

Anak boleh memiliki ruang tidak berbahaya yang ingin dia ciptakan sendiri: ruang yang aman dan personal untuk dirinya. Keluarga tetap harus memiliki batasan antaranggota. Batasan ini membuat kepercayaan menjadi hal yang normal dan sehat di dalam keluarga. Terciptalah interaksi antarindividu yang saling menghargai dan tidak merasa unggul di atas yang lain.

Pada akhirnya, anak berhak memiliki privasi yang tidak diganggu gugat oleh keluarga sekali pun. Perlahan, anak akan memahami konsep “memiliki hal-hal pribadinya sendiri” dan ia bisa melakukan itu. Jangan sampai penjajahan berkedok hubungan kekeluargaan ini malah menjadi malapetaka untuk semua pihak. Tentu saja hal yang paling kita hindari adalah tiba-tiba menemukan halaman sedih di diary anak: “Dear diary, aku sudah tidak punya privasi di rumah ini. Apa baiknya aku telepon Kak Seto saja, ya?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *