Rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi. Kalau sedang melihat slogan itu mejeng di poster-poster tuntutan aksi, saya selalu bertanya-tanya siapa yang mencetuskannya pertama kali. Saya kepengen salim dan nraktir beliau makan sepuasnya di Mie Gacoan, deh… sebab kok bisa kepikiran, ya??? Betul-betul cara yang amat tajam dan efektif untuk bilang bahwa kegoblokan institusi satu itu memang luar biasa nggak ketakar.
Seminggu ke belakang saya jadi diingatkan terus-terusan akan pahitnya kebenaran slogan tersebut tiap bertandang ke Twitter. Mula-mula ada liputan kekerasan seksual dari Project Multatuli, yang membacanya bikin saya sesenggukan. Muncul pula respons Humas Polri yang melabeli reportase tersebut sebagai hoaks, sampai baru kemarin klip mahasiswa digebuki polisi saat aksi beredar. Esoknya petugas yang bersangkutan memeluk mahasiswa tersebut seakan-akan masalah bisa selesai begitu saja. Apa bukan goblok namanya?
Karena itu, tidaklah mengherankan ketika tagar #PercumaLaporPolisi muncul ke permukaan. Linimasa saya dibanjiri cerita-cerita warga yang sakit hati karena laporannya tidak diseriusi. Seorang teman, yang mari kita sebut sebagai Yolita, pernah mengalami ini langsung beberapa tahun lalu. Dalam percakapan kami di telepon baru-baru ini, Yolita menceritakan kembali musibah kecolongan tas yang pernah dialaminya dulu, serta betapa nggak becusnya polisi saat menangani laporan kehilangan barang.
Kisahnya, saat itu ia sedang berkunjung ke salah satu mal di bilangan Sleman. Untuk melepas penat, ia dan beberapa teman bermain di area arkade selama beberapa waktu. Baru saja menyelesaikan satu putaran gim, ia baru sadar tasnya hilang tanpa jejak. Di dalam sana ada laptop, ponsel, dompet, dan beberapa barang berharga lainnya.
Sontak Yolita kelimpungan. Ia segera melapor kepada satpam mal yang memberinya akses terhadap rekaman CCTV di area arkade. Dalam potongan rekaman, terlihat ada dua orang pria yang diam-diam mengambil tas Yolita saat ia sedang lengah. Si satpam pun menyarankannya untuk melapor ke kantor polisi yang kebetulan berlokasi persis di seberang mal. Di sanalah ia mendapat perlakuan tidak enak dari polisi yang berjaga.
“Mereka ketawa-ketawa, Sar,” kata Yolita, “bahkan sampai ngegodain juga. Rasanya mau bilang, ‘Aku habis kena musibah, loh, Pak.’ Bener-bener nggak habis pikir.”
Kisah Yolita memiliki benang merah dengan penggalan-penggalan pengalaman lain di bawah tagar #PercumaLaporPolisi. Intinya satu: Mereka nggak peduli. Institusi yang seharusnya mengayomi itu malah jadi salah satu pihak paling menindas dan bikin jengkel warga sipil. Beda jauh, deh, dengan penggambaran karakter mereka di serial-serial drama kriminal.
Imaji polisi yang sigap, bertanggung-jawab, bahkan kocak di serial drama kriminal sebetulnya bukan sesuatu hal yang baru. Ada istilah khusus untuk menjelaskan fenomena ini, yakni copaganda atau cop propaganda. Lewat plot sedemikian rupa, karakter polisi (cop) dibingkai seolah mereka adalah pihak yang menyenangkan dan betul-betul dapat dipercaya.
Genre ini berjubel di Amerika Serikat. Penggemarnya pun banyak. Coba sekarang kalian buka Netflix atau Amazon Prime. Kalau nggak ada, boleh juga IndoXXI. Susuri kolom film dan serial bergenre crime, kalian pasti akan kewalahan dengan begitu banyak pilihan yang tersedia. Apalagi yang sampai ditayangkan bermusim-musim, belum yang macam CSI (Crime Scene Investigation) atau Law & Order. Mereka punya edisi-edisi khusus kota dan bentuk kejahatan tertentu, seperti CSI: Miami atau Law & Order: Organized Crime.
Jika sedang ingin ketawa, kalian juga bisa pilih Brooklyn Nine-Nine. Sitkom ini menceritakan dinamika sebuah departemen kantor polisi di Brooklyn, New York dengan lucu dan jenaka. Kalau kalian aktif di Twitter, pasti pernah lihat klip detektif kepolisian yang berusaha mencari tersangka pembunuhan dengan menyanyikan I Want It That Way, ‘kan? Dari Miami hingga New York, dari serius hingga humoris. Sebanyak itu pilihannya, saudara-saudara.
Fenomena copaganda ini sempat mendapat perhatian khusus di Amerika Serikat, khususnya ketika gerakan Black Lives Matter memanas pada pertengahan 2020. Perlakuan brutal polisi terhadap orang-orang yang turun ke jalan terus terjadi, dan berakhir sebagai sorotan menyedihkan sepanjang aksi. Ini membuat orang-orang mengevaluasi kembali serial drama kriminal yang mereka tonton dan cintai. Bisa jadi berbahaya, nggak, ya?
Jawabannya: Bisa, jika semua plot dan karakteristik itu ditelan mentah-mentah oleh audiensnya. “Meskipun ceritanya fiktif, tetap saja serial itu menggambarkan departemen polisi sebagai sesuatu yang nyata,” ujar Steven Thrasher, seorang penulis dan profesor jurnalistik yang sudah mendalami gerakan Black Lives Matter sejak 2014. “Itu bisa mengalihkan perhatian orang-orang dari kekerasan yang sebetulnya terjadi di departemen polisi riil.”
Dari kasus ini, orang-orang saling mengimbau satu sama lain agar menjadi penonton yang bijak dan dapat memilah. Meskipun bioskop dan televisi dipenuhi polisi-polisi yang keren dan heroik, kenyataannya di jalan mereka menggebuki warga hingga tewas. Dengan memahami itu, indoktrinasi dalam copaganda pun dapat sebanyak mungkin diminimalkan.
Itu yang terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia mungkin tidak akan sepenuhnya serupa, sih, sebab kita memang nggak punya serial drama kriminal yang terkenal. Polri beberapa kali pernah bikin proyek kolaborasi film yang plotnya berkisar pada kehidupan polisi, tapi ceritanya jelek dan maksa. Meskipun begitu, kita sebetulnya pernah terjangkiti bentuk-bentuk subtil dari copaganda. Masih ingat Briptu Norman Kamaru yang jago nyanyi atau Pak Eko yang jago melempar itu, nggak? Kebayang, ‘kan, sebesar apa animo masyarakat terhadap polisi yang “ganteng”, “unik”, dan “lucu” itu?
Barangkali justru itulah yang bikin copaganda di Indonesia lebih menyeramkan. Kita nggak butuh serial bermusim-musim buat memandang polisi sebegitunya, cuma butuh petugas yang kebetulan ngerekam dirinya sendiri saja waktu lagi nyanyi lagu India. Tanpa kehadiran mereka pun, sebagian besar masyarakat kita masih menempatkan polisi sebagai karier yang amat prestisius. Nggak kehitung seberapa banyak anak-anak muda yang berjuang mati-matian supaya bisa masuk akademi polisi, bahkan sampai menggelontorkan sekian ratus juta untuk nyogok orang dalam agar bisa dapat posisi.
Seperti cicak dan kecoak, kabar itu selalu bikin saya merinding setengah mati.
Menelaah semua kegaduhan di Twitter belakangan ini bikin saya makin yakin kalau genre kriminal itu seharusnya dimasukkan saja ke fantasi. Soalnya kapan, coba, kita pernah ketemu polisi yang betulan baik hati dan gemar menolong? Polisi tidur di gang perumahan kali, ya, yang rela dilindas mobil dan motor berkali-kali supaya orang-orang nggak lantas ngebut dan nabrak kucing. Lapor polisi, tuh, nggak ada gunanya. Percuma, pulang saja. Bukankah polisi baik memang cuma eksis di serial drama kriminal?
Getirnya Mahasiswa Kedokteran Hewan yang Menghilangkan Peliharaan Klien
Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus
Bukan LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak
Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face
Canlı Gambling Establishment Oyunları Oynayın Ve Çevrimiçi Spor Bahisleri Yapın
1xbet Giriş: En Güncel Ve Güvenilir 1xbet Linkleri Burada!
Kasino Mostbet Hrajte Nejlepší On The Web Automaty A Automaty
Best Online Internet Casinos Canada 2024 Best Sites For Canadian Players