Belakangan ini jagat TikTok di Indonesia sedang terjangkit sebuah lagu. Lagu ini memiliki penggalan lirik yang menyuruh Dinda agar tidak marah-marah. Jika ditelusuri liriknya secara utuh, “Dinda” dalam lagu tersebut sebenarnya merujuk pada kata “adinda” yang berarti adik perempuan, namun lagu tersebut berakhir dengan mengiringi rekaman yang didominasi oleh Dinda-Dinda yang terlihat sedang tidak baik-baik saja: entah terlihat sedang ngambek, marah-marah, atau sekadar memasang resting bitch face di sepanjang rekaman.
Fenomena lagu dan video yang menjamur ini membawa ingatan saya ke masa lalu, kira-kira lima tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Sewaktu SMA saya sering kali diberi julukan sebagai wanita yang judes, dingin, pemarah, dan kaku. Tidak sepenuhnya salah, sih, namun tidak sepenuhnya benar pula. Pernyataan benarnya: Saya mengakui bahwa saya memang terbilang kurang ekspresif dalam merespons sesuatu atau dalam berkomunikasi secara tatap muka. Pernyataan salahnya: Tentu saya tidak gemar marah-marah sepanjang waktu.
Sebagai orang yang canggung, saya tidak sadar bahwa ternyata apa yang terlihat pada diri saya akan tampak seperti orang yang galak dan pemarah bagi lawan bicara, apalagi untuk yang tidak mengenal saya secara mendalam alias superfisial. Saya yakin: Kasus serupa tidak hanya dimiliki oleh saya, tetapi juga banyak yang lain di luar sana. Dikira sedang marah padahal tidak. Ya, memang pembawaannya saja begitu, mau bagaimana lagi?
Kasus ini menjadi semakin pelik ketika tidak hanya teman-teman saja yang memberikan tanggapan atas ketakutan mereka terhadap ekspresi saya. Suatu pagi seorang guru tiba-tiba menegur saya ketika saya sedang mencium tangan beliau ketika hendak memasuki area sekolah.
“Nabila, kenapa, kok, marah-marah? Mbok senyum gitu, lo.”
Terkejutlah saya mendengar pertanyaan dan permintaan spontan itu. Pertama, terkejut karena ditanya kenapa marah-marah, padahal tidak sedang marah. Kedua, terkejut karena bingung kenapa disuruh untuk tersenyum, alih-alih diminta untuk menarik napas panjang, berzikir, atau beristigfar. Kenapa harus tersenyum?
“Saya nggak marah, kok, Pak. Memang muka saya gini,” jawab saya kemudian.
“Lho, anak perempuan, kok, mukanya marah-marah kaya gitu. Nggak boleh. Ayo, senyum yang lebar!”
Jeduer! Saya merasa baru saja disengat listrik bertegangan tinggi sekaligus diberi tahu nilai ulangan harian bahasa Prancis. Kaget dan bingung. Kenapa perlu penambahan embel-embel “anak perempuan” yang membuat pikiran negatif saya jadi berkelana ke sana kemari? Pagi yang tadinya damai dan biasa saja berubah menjadi hari yang tidak terlupakan untuk saya sampai saat ini, mana guru saya pakai acara nungguin saya untuk tersenyum pula. Kalau belum tersenyum, saya belum beliau loloskan untuk pergi. Karena melihat antrean salim di belakang saya yang semakin mengular dan kepo apa yang terjadi pada saya, saya menutup pagi itu dengan tersenyum lebar―tentu tidak dengan ikhlas―kemudian dibalas dengan sangat puas oleh guru saya, “Nah, gitu ‘kan bagus.”
Ah, betapa menyebalkannya punya resting bitch face. Peristiwa diminta untuk berwajah baik dengan alasan saya perempuan sebenarnya tidak hanya terjadi sekali-dua kali. Secara tidak sadar, perempuan sering diminta untuk memasang wajah tersenyum oleh berbagai macam orang. Contoh sederhananya adalah para catcaller yang meminta kaum perempuan untuk tersenyum dan tidak jutek agar kelihatan cantik dan mempesona di depan mereka. Contoh tidak sederhananya adalah kasus yang terjadi antara saya dan guru saya.
Tersenyum memang hal yang bagus, namun diminta untuk tersenyum adalah persoalan lain. Berhadapan dengan resting bitch face dan diberi perasaan seolah sedang dimarahi memang sesuatu yang tidak menyenangkan. Dengan alasan seperti itu, saya mafhum jika saya harus mulai memikirkan untuk melatih ekspresi saya bila berkomunikasi dengan orang lain.
Saya merasa sangat keberatan ketika diminta untuk tersenyum jika alasannya adalah agar saya tampil pantas sebagai wanita, seolah kodrat wanita adalah selalu terlihat ramah, cantik, baik, dan presentable di mata masyarakat, apalagi jika juntrungannya adalah agar pihak yang melihat mendapat kepuasan dari tampilan visual yang diharapkan selalu indah adanya. Hadeh. Saya manusia biasa yang memiliki hak untuk tidak terlihat baik-baik saja di tiap saat, juga merasa diri saya sendiri yang memiliki otoritas tertinggi atas tubuh saya. Ingin terlihat seperti apa, ingin menunjukkan diri saya seperti apa, tanpa perlu takut dengan pandangan siapa pun terhadap diri saya.
Akhir kata, lagu tersebut menjadi pengingat saya untuk refleksi diri. Saya berharap saya tidak terlalu menyusahkan banyak orang dengan kekhawatiran mereka karena mengira diri mereka saya marahin. Kita tidak perlu khawatir akan pandangan orang lain hanya karena kita perempuan jika terlihat tidak baik-baik saja di tiap kondisi kita.
Sepertinya para pengguna lagu di TikTok tersebut harus mulai mempertimbangkan pemikiran bahwa mungkin Dinda sedang tidak marah-marah. Dinda hanya sedang menjadi dirinya sendiri.
Getirnya Mahasiswa Kedokteran Hewan yang Menghilangkan Peliharaan Klien
Generasi Permen Karet Menyebalkan di Organisasi Kampus
Bukan LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak
Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face
Canlı Gambling Establishment Oyunları Oynayın Ve Çevrimiçi Spor Bahisleri Yapın
1xbet Giriş: En Güncel Ve Güvenilir 1xbet Linkleri Burada!
Kasino Mostbet Hrajte Nejlepší On The Web Automaty A Automaty
Best Online Internet Casinos Canada 2024 Best Sites For Canadian Players