Lucky Cigarette dan Takhayul tentang Menjadi Baik-baik Saja Mojok.co
artikel

Lucky Cigarette dan Takhayul tentang Menjadi Baik-baik Saja

Penasaran gak, sih, kenapa ada orang yang membalikkan batang rokok terakhirnya sambil berdiam diri?

Meskipun bukan orang yang religius-religius amat, bisa dibilang saya sebetulnya cukup spiritual. Setidaknya ada sebagian dari diri saya yang percaya takhayul dan menggemari ide tentang ritual. Misalnya saja, saya merasa saya harus makan opor ayam tiap Idulfitri. Saya juga tidak pakai baju hijau kalau sedang pergi ke pantai selatan dan selalu membalik satu batang cigarette (atau rokok) dalam pak untuk dibakar di saat terakhir.

Baru pekan lalu seorang teman bertanya-tanya: Mengapa saya selalu melakukan itu tiap baru saja membuka segel rokok? Tentu saja setelah itu ia minta sebatang. Harus saya akui bahwa pertanyaannya barusan adalah bridge yang mulus dan tidak biasa untuk menjambret rokok teman dengan sopan. Setelah pengajuan proposalnya saya terima, ia pun membakar hibah rokok dari saya sambil cengengesan dan melanjutkan, “Tapi aku betulan penasaran, Sar. Memangnya kenapa?”

Saya memandangi rokok yang terbalik dalam pak. “Ini namanya lucky cigarette,” kata saya. “Fungsinya kayak lilin ulang tahun. Kalau rokok ini dibakar, kamu bisa memohon sesuatu.”

Saya menyulut sebatang rokok, sementara seorang teman lain ikut urun cerita. Katanya, ada beberapa orang yang sengaja membalik rokok dan membakarnya di saat terakhir sebagai semacam bentuk “persembahan” untuk teman atau orang tersayang yang sudah meninggal. Konsepnya lumayan mirip dengan sesajen yang ditinggalkan pawang hujan untuk menghalau badai. “Atau amer yang kemarin kita tuang di toilet buat penunggu rumah,” tambahnya. 

Saya mendengarkan penjelasannya dengan terkesima. Mencengangkan. Ternyata ritual ini bisa jadi persembahan untuk spirit-spirit yang tidak terlihat.

Karena penasaran, saya mengulik sejarah di balik penamaan lucky cigarette itu sendiri. Menurut akun jacobfuckingjones di YouTube, ritual membalik satu batang rokok ini bisa ditelusuri jejaknya hingga masa-masa Perang Dunia II. Kala itu para tentara yang berada di medan perang, terutama mereka yang bertempur di Pasifik, merasa mereka bisa mati kapan saja. Tidak mengherankan sebab perang yang terus menggila kelihatan seperti tidak ada ujungnya.

Banyak dari mereka kemudian memulai tradisi untuk membalik satu batang rokok di dalam pak, menamainya sebagai lucky cigarette, dan membakarnya di saat terakhir. Alasannya sederhana: Kalau mereka bisa hidup dalam waktu yang cukup lama untuk mengisapnya, berarti mereka beruntung karena masih selamat. Saya sampai merinding waktu mendengarnya.

Topik ini memang menarik dan membicarakan lucky cigarette selalu membuat saya teringat pada seorang teman. Mari panggil saja ia Pakdhe sebab begitulah kolega-kolega sejurusan kami menjulukinya. Pakdhe suka pakai ikat kepala dan mengidentifikasi dirinya sebagai penggemar Coldplay garis keras. Ia juga punya kebijaksanaan khas pakdhe-pakdhe yang membuatnya sering didatangi teman sejawat kala mereka butuh bantuan untuk menyelesaikan berbagai perkara. Karena beliau, saya berkenalan dengan konsep lucky cigarette.

Saat itu saya sedang main ke kontrakan teman-teman seangkatan. Saya ingat betul itu terjadi saat semester dua perkuliahan dan saya bahkan belum mulai merokok. Saya masih berusia delapan belas tahun dan seperti kebanyakan remaja berusia delapan belas tahun lainnya yang labil dan emosional, saya sedang mengalami patah hati terkacau sepanjang sejarah hidup saya yang pendek. Sekacau itu sampai saya terpikir untuk berguling-guling di jalan raya tiap tiga menit sekali.

Pakdhe, yang memang tinggal di kontrakan tersebut, kala itu duduk berseberangan dengan saya di meja di ruang tengah. Sambil mengobrol, ia menarik keluar sebatang rokok dan membakarnya. Dari ujung mata, saya dapat melihat ada satu batang yang posisinya terbalik di dalam pak. Walaupun sebelum itu sudah pernah beberapa kali melihatnya, hari itu saya tiba-tiba penasaran sekali tentang arti di balik hal tersebut. 

“Pakdhe,” kata saya, “kenapa ada satu batang yang dibalik?”

“Ini namanya lucky cigarette,” jawab Pakdhe. “Fungsinya kayak lilin ulang tahun. Kalau rokoknya dibakar, kamu bisa memohon sesuatu.”

Sebagai teman akrab, Pakdhe tahu betul kondisi emosional saya saat itu sedang mambrah-mambrah. Dengan kebijaksanaannya yang khas pakdhe-pakdhe, ia pernah menemani saya melalui episode breakdown yang cukup seram dan memberikan petuah tentang beranjak pelan-pelan.

“Masalah yang kamu alami ini skalanya sebesar pohon jati tua,” katanya. “Kalau mau diberantas sampai ke akar, kita harus mulai menebang dulu dahan-dahannya. Satu-satu, perlahan-lahan.”

Meskipun tahu betul bahwa merokok tidak masuk ke dalam daftar yang Pakdhe maksud sebagai “menebang dahan-dahan”, saya tetap saja terseret ke pusaran jahat rokok beberapa bulan setelah tragedi patah hati itu dimulai. Jelek, sih… tapi yah, setidaknya (waktu itu) kadar toleransi saya terhadap nikotin amatlah rendah. Rokok bikin saya pusing dan ingin tidur habis merokok sehingga saya tidak punya waktu untuk menangis. Plus, kalau sudah sampai di batang terakhir, saya bisa mengajukan satu permohonan kepada semesta atau siapa pun yang mau dengar. Doa saya sama dan berulang: Saya mau menjadi baik-baik saja.

Membicarakan lucky cigarette lagi sekian tahun setelah “pertemuan” pertama saya dengan konsep tersebut, bagi saya rasanya agak surreal. Membalik batang rokok sekarang sudah saya anggap bagian dari memori otot. Terkadang saya bahkan lupa berdoa kalau sedang membakarnya—mungkin mirip hari-hari masa kecil yang saya habiskan untuk melamun mau beli jajan apa sewaktu sedang salat. Barangkali memang begitulah keniscayaan dari ritual. Makin sering ia dilakukan, makin besar pula kemungkinan maknanya dilupakan.

Saya membayangkan tentara-tentara itu tidur di tenda yang dingin dan berlumpur: Mereka memikirkan rumah dan mengira-ngira besok mereka bakal mati karena ditembak atau dirudal. Bagi mereka, menghabiskan satu pak rokok utuh tentu akan terasa seperti pencapaian besar, mungkin mirip dengan apa yang dulu saya rasakan sebab menghabiskan sekotak rokok berarti menandakan satu hari lagi yang tidak jadi saya isi dengan berguling-guling di jalan raya.

Saya masih belum oke-oke banget, sih, tapi sepertinya sudah tidak sekacau dulu. Setidaknya begitulah kata Pakdhe, yang dengan adem-ayem mengatakan bahwa pohon jati saya sepertinya sudah tinggal menyisakan akar. Mendengarnya, saya jadi kepengen percaya satu takhayul bahwa nanti, pada akhirnya, kita akan merasa baik-baik saja. Saya akan menunggunya dengan sabar sembari berdoa lewat membakar satu batang rokok yang dibalik dalam pak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *