Tak merasa risih
Ajeng (32), salah satu pekerja media di Jakarta, lulusan Universitas Brawijaya pada 2015, mengatakan bahwa fenomena ini pun sudah ada sejak dulu dia kuliah di sana. Sebab, menurut Ajeng, UB jadi tujuan banyak orang Jakarta untuk kuliah. Memang masih banyak orang Malang yang berkuliah di situ, hanya saja lebih banyak mahasiswa perantauan, tak hanya dari Jakarta.
Penggunaan bahasa Jakarta di UB pun juga sudah dia rasakan, seperti yang saya bilang sebelumnya. Dia tidak risih dengan penggunaan bahasa itu. baginya, ya wajar jika orang Jakarta pakai lo-gue di kampus, karena berbicara dengan orang yang pakai bahasa yang sama. Ajeng baru risih jika ada yang merasa superior dengan bahasa tersebut.
Superior yang dimaksud Ajeng adalah saat orang lokal yang justru pakai lo-gue, menghindari pakai bahasa lokal. Meski begitu, mayoritas warga lokal yang dia temui tetap pakai bahasa lokal.
Meski ada fenomena tersebut, Ajeng tak merasa hal tersebut membuat UB punya krisis identitas. Dia tak menampik ada krisis identitas di UB, tapi bukan karena orang Jakarta. Sedari awal, memang jumlah orang Malang asli kalah banyak ketimbang perantauan yang menimba ilmu di kampus tersebut.
“Dan ya kampus mahasiswanya banyak, juga nggak ada matkul budaya atau apa yang membuat mahasiswa terpengaruh identitas Jawa Timuran. Mungkin kalo di Surabaya identitas Jatimnya masih lebih kuat.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.