Siasat Unfaedah Mahasiswa Filsafat UIN Saat Denger Kemenag Batalin Diskon UKT

Siasat Unfaedah Mahasiswa Filsafat UIN Saat Denger Kemenag Batalin Diskon UKT

MOJOK.COKemenag baru aja batalin rencana diskon uang kuliah tunggal (UKT). Lantas gimana siasat mahasiswa filsafat UIN Banten? Saya coba temui mereka.

Kebijakan Kemeprank Kementerian Agama alias Kemenag membatalkan rencana diskon UKT (Uang Kuliah Tunggal) dan pemberian kuota gratis kepada mahasiswa UIN belakangan ini dianggap sangat tidak bijak oleh banyak pihak.

Wajar kalau hal tersebut menuai banyak protes dari kalangan aktivis kampus. Kuliah nggak bisa di kelas karena pandemi, fasilitas kampus nggak bisa diakses mahasiswa lagi, eh, masih disuruh bayar full lagi.

Namun, di tengah kegelisahan ini, ada satu “kaum”—maaf saya tidak menemukan padanan kata yang tepat—di kampus UIN Banten yang seolah tidak peduli dengan hiruk-pikuk tersebut. Belagak nggak peduli aja sih, diam-diam ikut julid juga.

Mereka adalah kaum yang terasing dan sering diabaikan di tengah maraknya industrialisasi dan juga sering dituduh kafir oleh banyak orang. Ya, mereka adalah mahasiswa filsafat UIN Banten. Udah filsafat, dari Banten lagi. Klenik dua jalur.

Bagi mahasiswa filsafat UIN Banten, mengetahui harapan palsu yang dijanjikan Kemenag beberapa waktu silam itu hal biasa aja. Bukan sesuatu yang mengejutkan.

Ketika jajaran organisasi kampus mulai dari Dewan, Senat hingga HMJ, ramai membikin pamflet protes soal nggak jadinya diskon UKT ini. Tidak ada para mahasiswa filsafat yang ikut gelombang protes itu.

Sebagian dari mahasiswa filsafat justru memilih menghabiskan waktu untuk tadarus dan menghafal ayat-ayat suci, sedang sebagian yang lain memilih untuk bertafakur sambil merenungi lagu-lagu The Beatles saat #diRumahAja.

Bagi mahasiswa filsafat yang jelas-jelas mencintai kebijaksanaan, merenungi lagu-lagu The Beatles jauh lebih bijaksana ketimbang mengkritik Kemenag soal batalnya diskon UKT bagi mahasiswa.

Mereka meyakini bahwa mengkritik Kemenag saat ini hanya buang-buang waktu belaka, sebab tidak akan didengar. Dan mereka tahu, sebagaimana petuah orang bijak, “Buang-buang waktu bukanlah hal yang bijak.”

Di antara mereka yang memilih untuk menghafal ayat-ayat suci atau merenungi lagu-lagu The Beatles, ada dua orang yang tidak melakukan kedua hal tersebut karena alasan-alasan tertentu.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya merasa beruntung dapat mewawancarai dua orang yang menjadi bijak tidak seperti mahasiswa lainnya yang malah ribut sama diskon UKT.

Yang pertama adalah Nurman Halid (19), calon filsuf yang setiap ke pangkas rambut minta rambutnya dipangkas mirip gaya rambut Albert Camus dan belum lama mengetahui bahwa pacarnya selingkuh.

“Gua diselingkuhin sama doi. Sedih, pengen nampol pacarnya yang sekarang. Tapi males takut dosa. Ya udah sekarang gua cuma bisa ngotak-ngatik jam yang pernah doi kasih,” kata Halid.

Bagi Halid, ngutak-atik barang pemberian mantan adalah hal paling bijak yang dilakukan oleh pemuda ambyar seperti dirinya sekarang ini. Ketimbang frustasi nggak jelas.

Yaelah jam G-Schok tiruan aja pakai diutak-atik segala. Biar jadi jam Alexandre Christie gitu?

“Sebagai mahasiswa filsafat tulen, aku hanya ingin melakukan apa-apa yang menurutku bijak,” katanya suatu waktu pada saya.

Meskipun terkesan “lembek”, tetapi kita tidak bisa menyangsikan apa yang Halid lakukan adalah suatu hal yang bijak. Bagaimanapun, menghibur diri sendiri di tengah kegamangan, ketakutan, keributan adalah hal yang bijak.

“Aku pengen apa yang aku lakuin juga ditiru sama sobat ambyar seantero dunia. Kalo bisa quotes-ku dibikin pamflet sama banyak orang, terus dibikin stori di akun sosmed mereka. Sekalian follow Instagram @mnrman_ supaya mereka bisa bijak kayak aku,” pungkasnya mengakhiri wawancara dengan cara cengengesan, unfaedah, dan sangat tidak bijaksana.

Sementara itu, sekitar 100 kilometer dari kediaman Halid, Atu Fauziah (19), seorang perempuan pejuang kesetaraan gender dan ahli ilmu kalam, juga memiliki cara menjadi bijak versinya sendiri menghadapi pandemi dan beban UKT mahasiswa yang nggak jadi kena diskon.

“Di rumah rame terus, jadi susah baca buku, menghafal nama-nama ikan, apalagi ngerjain tugas,” kata Atu saat saya tanya apa saja kesibukannya selama di rumah.

Menurut pengakuan Atu, meski sudah diimbau untuk social distancing, anak didiknya masih sering bertandang ke rumahnya.

“Sebelum Kemenag mengeluarkan surat edaran untuk tidak melakukan KBM di madrasah, kegiatan KBM tetap seperti biasa meskipun waktu itu sudah marak kasus positif corona di Indonesia. Waktu itu kami masih merasa aman-aman saja sebab kasus COVID-19 tidak sedarurat sekarang. Sebelum surat edaran itu dikeluarkan, KBM masih berjalan efektif.,” katanya.

“Tetapi karena kita harus ikut arahan untuk melakukan pembelajaran di rumah saja, ini cukup membingungkan pengajar, sebab tak semua siswa punya hape untuk melakukan pembelajaran online di rumah. Nah, karena di rumahnya anak-anak nggak belajar, makanya sekarang beberapa anak masih bandel suka main ke rumah (saya),” tambahnya.

Tinggal di pelosok Banten dan memiliki beban moral terhadap anak-anak kecil di lingkungannya, Atu menggunakan rumahnya untuk mengajar anak-anak kecil.

Tentu bukan mengajar materi-materi filsafat, karena materi seperti itu terlalu horor untuk anak-anak yang belum bisa bedain mana ikan betik mana ikan sepat.

“Paling ngajar matematika, baca Iqro’, sambil diselingin main tebak-tebakan juga kadang-kadang,” kata Atu saat saya tanya apa saja materi yang dia ajarkan.

Atu melatih anak didiknya dengan cara yang sangat tidak filsafat sama sekali.

Boleh dibilang Atu adalah salah satu perempuan paling progresif di kelas jurusan Filsafat UIN Banten.

Di sela-sela menghafal teori-teori filsafat, Atu gemar bertungkus lumus dengan buku sejarah untuk mencari tahu merek pomade yang pernah dipake Socrates di zaman dulu meski hasil bacaannya tidak pernah dia ajarkan kepada anak didiknya.

Tidak seperti Halid yang terbilang narsistik, Atu justru memilih untuk menebar kebijaksanaan “apa adanya” saja. Atu tidak membatasi diri selama apa yang dilakukannya bertumpu pada hal-hal baik.

Mengajar adalah hal yang sangat bijak yang dilakukan Atu. Yang membuatnya semakin bijak, Atu tidak memberikan tarif kepada anak-anak yang diajarkan olehnya. Sebab, Atu bukan pemilik saham perusahaan Ruangguru.

Di akhir wawancara Atu menyampaikan bahwa mengajar orang lain sebenarnya sama saja seperti mengajar diri sendiri. Ketika memberikan nasihat kepada anak didiknya, bagi Atu, itu juga nasihat untuk dirinya. Yang jelas, menjadi pribadi yang bijak bukan lagi soal pilihan, melainkan keniscayaan. Buseeet.

Sebelum itu Atu juga berpesan bahwa di tengah pandemi ini orang-orang mesti lebih bersabar dan sebisa mungkin turut menebar kebaikan serta kebijaksanaan, alih-alih menebar berita hoaks dan melulu memancing keributan.

“Semoga corona cepet hilang biar anak-anak bisa aktivitas seperti biasa. Dan semoga juga diskon UKT jadi diturunin bahkan digratisin sama Kemenag,” pungkasnya mengakhiri wawancara dengan saya.

Sebagaimana saya singgung di awal, Atu adalah bagian dari kaum yang nggak protes soal wacana diskon UKT, tapi di akhir obrolan kami yang berjarak, diam-diam dia ikutan julid juga.

Meskipun begitu Atu tahu, jauh lebih baik menegur anak didiknya ketika nakal karena masih bakal didengarin ketimbang mengkritik Kemenag.

BACA JUGA Mahasiswa Filsafat Harus Siap Nganggur karena Dianggap Cuma Bisa Mikir atau tulisan rubrik LIPUTAN lainnya.

Exit mobile version