Rahasia Racikan Teh Angkringan, Cita Rasa Khas Tepi Jalan

Teh angkringan mempunyai cita rasa yang khas. Masing-masing pedagan angkringan punya resep racikan tersendiri untuk membuat segelas teh. Karena penasaran, Mojok lantas mewawancarai dua pedagang angkringan untuk mengetahui bagaimana mereka meracik minuman teh di kedainya.

***

Pria itu duduk santai di samping gerobak. Di depannya tersaji beberapa baki berisi aneka macam jajanan. Sesekali matanya menangkap jam dinding dengan gelisah. Ngadi (57), demikian namanya. 2 tahun sudah ia berjualan angkringan di Krapyak, Sewon, Bantul.

Angkringan awan, demikian ia menyebut, sebab buka kala hari terang, dari pukul 9.00 hingga 17.00 WIB. Sebelumnya, puluhan tahun telah ia lakoni dengan berjualan di berbagai tempat.

Teh panas pesanan saya sudah datang. Ini adalah teh kedua saya hari itu. Tadi pagi, saya sempat meminum secangkir teh di rumah. Bau harum melati merebak saat hendak menyeruputnya. Rasa pahit yang unik menjalar di lidah. Perpaduan rasa pahit, harum melati, dan rasa manis dari gula menciptakan cita rasa teh nan unik.

Ah, ini berbeda dengan teh rumahan tadi pagi. Mungkin, seperti kata sebuah adagium, jajanan akan punya rasa lebih enak dibanding kudapan rumahan. Atau, mungkin memang ada sesuatu di balik segelas teh ini sehingga membuatnya terasa lebih enak?

Ngadi, sudah puluhan tahun berjualan angkringan. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Jalan panjang daun teh

Sebagai sebuah ikon kuliner Jogja, angkringan punya banyak sisi menarik. Salah satunya terdapat di keistimewaan tehnya. Seorang kawan yang hobi jajan di angkringan berkata jika setiap angkringan punya ragam rasa teh berbeda-beda.

Indonesia memang kaya dengan aneka kuliner, termasuk di dalamnya teh. Namun, teh sejatinya bukanlah minuman asli Indonesia. Ada jalan panjang hingga daun ini menjadi sebuah minuman lintas kasta di meja makan masyarakat Indonesia. Dari angkringan hingga kafe, ada sajian teh di sana.

Menurut Khazanah Arsip Perkebunan Priangan lansiran Arsip Nasional Republik Indonesia, teh berasal dari Provinsi Yunnan, Cina. Cerita tentang teh terdapat dalam cerita Kaisar Shen Nung yang hidup sekitar tahun 1737 SM.

Di Hindia Belanda, biji teh pertama di Indonesia dibawa oleh seseorang bernama Andreas Cleyer pada 1684 dari Jepang dan sekadar dijadikan tanaman hias. Hampir 200 tahun berselang, pada 19 Februari 1832 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan konsiderasi nomor 207 untuk memulai penanaman teh skala besar. Keputusan ini kemudian diikuti dengan pengiriman utusan ke Cina demi berburu bibit pohon teh.

Saya yakin Pak Ngadi tidak tahu bahwa teh bukanlah minuman asli Indonesia. Tapi, dibalik secangkir teh seduhannya yang beraroma wangi, pria itu menitipkan banyak perjalanan hidupnya. Ia mengenal racikan teh sejak tahun 1991 kala masih berjualan mie ayam dengan gerobak kelililing.

Ngadi saat sedang membuat teh. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Teh di tangannya waktu itu sekadar diseduh lalu dihidangkan. Pada tahun 2003 saat memutuskan berjualan angkringan, Ngadi dan sang istri melakukan survei kecil-kecilan. Keduanya berkeliling dari angkringan ke angkringan demi mencari formula dagangannya, termasuk untuk racikan tehnya.

Terkait khasnya rasa teh angkringan, Ngadi punya 2 pendapat. Pertama, ia setuju bahwa menikmati jajanan langsung di tempat memanglah enak dan akan terasa beda saat dinikmati di rumah. Ngadi yang seorang penjual angkringan pun sering mengalaminya. Kedua, teh di angkringannya memang punya racikan berbeda dibandingkan teh rumahan. “Saya utak-atik sendiri, soalnya kalau tanya di angkringan lain tidak sopan rasanya,” ungkap Ngadi saat saya tanya asal mula resep racikannya.

Untuk mendapatkan rasa khas, ia mencampur 5 merek teh dengan porsi berbeda. Selain demi urusan rasa, Ngadi mengatakan bahwa cara itu dilakukan untuk menghilangkan kekurangan dari teh kemasan. Namun, sayangnya ia enggan menyebutkan teh merek apa saja yang ia campur. Rahasia dapur alasannya.

Katanya, jika hanya sekadar menyeduh satu merek teh, ada perbedaan rasa saat seduhan teh itu sudah beberapa jam lamanya. Selain itu, warna seduhan pun cenderung kurang pekat. Maka, dengan campuran itu ia bisa mendapatkan 2 hal: kekhasan rasa dan kepekatan warna.

Ngadi mengenang perjalanan menemukan racikan teh dengan berbagai peristiwa yang terjadi di hidupnya. Sejak dua anaknya masih sekolah hingga kini telah berkeluarga. Mulai dari berjualan di gang kecil hingga kini punya angkringan cukup luas. “Pas gempa 2006 saya berhenti berjualan selama setahun,” kenangnya.

Suasana pagi di angkringan Ngadi. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Pelanggan mulai datang ke angkringannya. Seorang pria di samping saya memesan teh hangat. Ngadi menyendok 2 sendok makan gula. Dituangkanlah seduhan teh atau dekokan dari sebuah teko bergaya vintage atau disebut porong hingga ¾ bagian gelas. Terakhir, ia menuangkan air panas dari sebuah ceret sebelum menghaturkan teh ke si pembeli. Dalam sehari, Ngadi bisa menjual 50 gelas teh di angkringannya.

Nasgitel, demikian sebuah istilah soal teh yang merupakan singkatan dari panas, legi, kenthel. Kenthel atau kental dalam konteks ini merujuk pada kepekatan warna merah yang dihasilkan dalam seduhan teh. Meme lain soal teh adalah bagaimana teh panas di Indonesia menjadi obat dari berbagai macam penyakit. Mulai dari masuk angin bahkan hingga orang kesurupan. Angkringan pun secara bahasa menurunkan kata kerja bernama ngangkring, istilah untuk jajan di angkringan.

Menurut Ngadi, tingkat kekentalan pada teh tubruk bisa disesuaikan dengan banyaknya teh yang digunakan dalam seduhan. Ia sadar setiap orang punya seleranya masing-masing, maka jika ada pelanggan baru dan memesan teh, Ngadi akan bertanya supaya teh buatannya bisa pas. Apakah kental, sedang, manis, atau pahit.

Teh dan ruang sosial

Selama menulis catatan ini, saya merasa menikmati teh di angkringan bukan semata soal minum seduhan pucuk daun Camellia Sinensis. Di sana, ada sebuah ruang sosial yang diciptakan dari sebuah area sempit di bawah terpal. Teh di angkringan menjadi penyambung percakapan antara si penjual dan pembeli, atau pembeli dengan pembeli. Dari sana akan muncul berbagai obrolan. Mulai dari unek-unek pribadi hingga isu-isu terbaru.

Ini, misalnya, tidak seperti kafe kekinian saat ruang bagi pelanggan tersekat-sekat dan tidak memungkinkan untuk saling bertegur sapa. Di angkringan, pelanggan sangat mungkin menimbrung obrolan orang lain, tanpa harus berpindah tempat, tanpa harus dianggap aneh dan ikut campur urusan orang.

Di angkringan milik Ngadi, saya menikmati teh sambil mendengar keluh kesah seorang pelanggan soal pekerjaannya yang tertunda 2 jam. Maka, ia datang ke angkringan dan menikmati teh sembari melepas rasa jengkel. Saat televisi di sudut angkringan menayangkan berita soal tren NFT, Ngadi dan pria itu terdiam sesaat sebelum balik bertanya ke saya. “Cuma foto kok bisa laku mahal ya, Mas?”

Sementara itu, suatu pagi saya singgah di sebuah angkringan tepi ringroad daerah Jombor, Sleman. Paijo (35), demikian nama penjualnya. Ia tampak asyik bercengkerama dengan seorang penjual. Mereka sedang bercakap soal bisnis jual beli motor. Suara keduanya sesekali beradu kencang dengan lalu lalang kendaraan di jalanan.

Paijo, penjual angkringan di Jombor, Sleman. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Satu gelas teh saya pesan. Paijo mengambil gelas di samping gerobak, dua sendok makan gula ia masukkan ke gelas sebelum dituang teh dan air panas.

Teh seduhan Paijo tidak menghadirkan aroma melati ataupun cita rasa sedikit pahit. Lidah langsung menemukan kuatnya rasa manis. Tidak seperti Ngadi, pria asal Bayat, Klaten, itu tidak mencampur berbagai jenis teh untuk diracik. Ia hanya menggunakan satu teh dengan merek Tang. Walaupun demikian, saya menganggap rasanya tetap berbeda dengan teh rumahan.

Gampang bosan, demikian Paijo menyebut dirinya. Sejak mulai berjualan angkringan pada 2004, berkali-kali sudah ia mencoba aneka merek teh bahkan hingga mencampurkannya.

Dari sana, ia menyimpulkan bahwa rasa teh hasil campuran akan terasa enak ketika di awal-awal saja. Jika orang yang sama mengkonsumsi itu terus menerus, ia bisa bosan dan menganggapnya biasa saja. Paijo tidak mau itu terjadi dan ia cenderung suka bergonta-ganti merek teh supaya pelanggannya tidak merasakan bosan.

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada sesuatu spesial dari caranya berjualan. Di sini, pelanggan masih bisa menemukan gaya angkringan dengan 3 buah ceret, sesuatu yang mulai jarang ditemukan.

Paijo pun masih menggunakan arang untuk merebus air sebab menurutnya lebih praktis. Dengan arang ini, ia juga bisa menyajikan menu ayam bakar ala-ala ke pelanggan. Paijo mengatakan, kasta tertinggi merebus air adalah dengan arang, sebab air hasil rebusan tidak akan sangit (bau asap) dan panasnya bisa awet sehingga tidak memerlukan termos.

Bicara soal teh, ia punya 2 prinsip sederhana dan menjadi mazhab dirinya sejak dulu kala. Pertama teh haruslah manis dan kedua harus diseduh dengan air mendidih supaya mendapatkan rasa maksimal. Ia juga punya cara unik dalam menyiapkan teh dekokan. Paijo akan memasukkan satu bungkus teh ke dalam cangkir besar dan mendiamkannya barang setengah jam sebelum dipindah ke ceret dan siap digunakan.

Segelas teh di angkringan Paijo. (Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Waktu terus berjalan dan pelanggan angkringan Paijo berdatangan dengan ceritanya masing-masing. Ada pengemudi ojek online, buruh serabutan, hingga pensiunan pegawai yang tidak punya aktivitas khusus. Ada yang sekadar makan, ada pula yang setelah makan malah tidak segera pergi—termasuk saya.

Di tepi ringroad ini, kami disatukan naungan terpal biru angkringan Paijo. Keluh kesah beradu keras dengan deru kendaraan. Sesekali Paijo menimbrung di obrolan, sesekali ia disibukkan dengan pesanan para pelanggannya.

Paijo mengatakan, angkringannya buka sejak selepas subuh hingga pukul 15 sore. “Saya itu dulu gonta-ganti jam berjualan, tapi sejak dibangunnya flyover saya jualan siang,” terangnya.

Paijo juga mengenang pembangunan itu dengan hilangnya para pelanggan kala berjualan di malam hari. Berbagai jenis pekerjaan yang dicap sampah masyarakat meluncur dari mulutnya. “Entah sekarang mereka kemana kok tiba-tiba hilang,” lanjutnya.

Di angkringan, aneka minuman disajikan tepat di depan si pemesan. Teh pesanan saya tidak dibuat di sebuah dapur khusus nan jauh. Si penjual akan merangkap jadi juru masak, tukang cuci, dan kasir dalam sekali waktu. Andai saja dilogikakan, apa enaknya minum teh di bawah tenda biru nan panas? Tentu saja jauh lebih enak menikmatinya di sebuah kafe teduh dengan alunan musik, tanpa deru kendaraan di jalanan.

Namun, dari tepian jalan itulah sebuah cita rasa istimewa muncul. Dengan segala pengalaman panjang si penjualnya, lewat semua cerita-cerita pembelinya, dan lewat aneka peristiwa yang telah terjadi di sana. Teh angkringan dan segala unik rasa hadir dari semua itu. Di sebuah ruang kecil di pinggir jalan yang punya banyak makna bagi orang-orangnya. Sebagai tempat mengadu nasib, mengisi perut, atau sekadar mencari teman obrolan.

Menulis catatan ini membawa saya ke pengalaman berbeda. Terlepas dari aneka rasa tehnya; dicampur atau tidak, ada sebuah kesederhanaan dan kepolosan orang-orangnya. Di angkringan Paijo misalnya, ada seorang pria tua yang tidak kunjung pergi dari tadi. Ia sibuk mengobrol dengan Paijo. Sesekali ia berlagak layaknya supervisor dengan memberi beberapa arahan. Atau, orang gila yang tiba-tiba datang dan meminta satu tusuk sate. “Dipangan, dientekke, ojo dibuang!” pesan Paijo ke orang itu dan hanya ditanggapi dengan cuek.

Reporter : Syaeful Cahyadi
Editor : Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Angkringan Nganggo Suwe, Bertahan 50 Tahun, Tempat Nongkrong Cak Nun dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version