Setelah berhitung dengan segala kebutuhan hidupnya, Bella, perempuan pekerja asal Bantul, Yogyakarta ini memutuskan untuk tak mau punya anak ketika menikah nanti. Keputusannya itu sejalan dengan pemikiran calon suaminya yang berpikiran serupa.
***
Sudah lama saya tidak bertemu dengannya, Bella (29). Ia datang dengan kabar mengejutkan, akan menikah bulan depan. “Datang ya, Mas, harus datang,” katanya ceria dalam obrolan di sebuah kafe kopi di sekitaran Tugu Yogyakarta, Kamis (14/3/2024).
Dari tak mau menikah jadi tak mau punya anak
Saya tentu senang dengan kabar ia akan menikah, tapi sekaligus juga kaget dengan keputusannya menikah. Dulu, dia berkali-kali mengungkapkan tidak akan menikah.
Berbagai alasan ia ungkapkan, mulai dari merasa sudah cukup untuk menghidupi diri sendiri, tak mau berbagi dengan orang lain, sampai merasa tidak akan ada cowok yang bisa mengimbangi cara berpikirnya.
Namun, semua alasan itu ia kesampingkan setelah menemukan cowok yang menurut dia bisa ngemong dirinya. “Tapi, aku nggak akan punya anak, Mas,” lanjutnya.
Saya tentu saja tertawa dan menggodanya bahwa ia akan punya anak. “Nggak mungkin, jangan bilang begitu,” katanya pura-pura marah.
Saya mengatakan padanya, bahwa prinsip dia untuk tidak menikah saja tumbang, bisa saja prinsip dia untuk childfree atau tak mau punya anak nanti akan berubah seiring waktu.
Pengertian childfree atau tak mau punya anak menurut Oxford English Dictionary adalah suatu kondisi ketika seseorang atau pasangan tidak memiliki anak karena pilihan secara sadar dan sukarela.
Artinya, secara biologis pasangan suami istri berpotensi memiliki anak atau keturunan, tetapi memilih untuk tak mau punya anak karena beberapa alasan, semisal kepedulian lingkungan, psikologis, sosial, hingga ekonomi.
Punya pemikiran sama dengan calon suami
Bella menyakinkan bahwa ia tak mungkin punya anak, apalagi calon suaminya juga sama pemikiran dengannya.
“Kenapa aku mau menikah sama calon suamiku ini, karena dia juga punya prinsip untuk tak mau punya anak,” katanya dengan tawa terbahak.
Ia melanjutkan, calon suaminya bahkan memilih memutus hubungan dengan mantannya dulu karena mereka berbeda pendapat soal punya anak atau tidak. “Mantannya itu sangat suka dengan anak kecil, dan ketika nanti menikah ingin punya anak, sementara si laki-laki tidak ingin punya anak, akhirnya ya putus,” kata Bella.
Menurut Bella, ia dan calon suaminya adalah tipe-tipe anak muda yang akward atau canggung jika bertemu dengan anak-anak.
Alasan tak mau punya anak
Saya lantas bertanya mengapa ia akhirnya mau menikah, tetapi tak mau punya anak. Bella mengatakan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan ia berpikir untuk menikah. Faktor eksternal misalnya, ia melihat laju penduduk bumi yang kian padat. Kondisi masyarakat kian kompleks.
“Lihat saja banyak persoalan yang dihadapi oleh anak-anak sekarang. Nggak tega saja kalau sampai anakku menghadapinya,” katanya. Menurutnya punya anak akan membuat beban bumi semakin berat karena manusia yang makin banyak.
Faktor yang lebih personal adalah, punya anak harus siap dengan beban finansial untuk menghidupinya. “Nggak mungkin kan, ngelahirin anak terus mereka tumbuh sendiri, harus memastikan memberikan yang terbaik ke mereka,” kata Bella.
Ia berhitung dengan calon suaminya, jika memiliki anak dengan usia mereka yang sudah matang ternyata nggak cukup. Pendapatan calon suaminya dan pendapatannya ternyata nggak cukup untuk bisa memberikan hal terbaik untuk anak kalau mereka punya anak.
Harga kebutuhan pokok untuk bayi seperti popok, susu itu ternyata tinggi. Gaji kita berdua itu kalau dihitung-hitung nggak cukup,” kata Bella. Ia menyebut gajinya saat ini Rp5 juta sebulan, begitu juga dengan pacarnya.
Namun, angka tersebut menurutnya belum cukup untuk menghidupi anak dengan layak. “Dari temen-temenku yang punya anak, kebutuhan bulanan seperti popok, susu, dan peralatan bayi itu tidak murah,” kata Bella.
Cerita teman yang sudah menikah dan punya keturunan ternyata nggak murah
Salah satu temannya bahkan menunjukkan list excel yang berisi kebutuhan yang harus dipenuhi saat ia baru melahirkan. “Temen-temenku itu tipe realistis yang sangat memperhitungkan soal keuangan usai menikah dan punya bayi. Mereka itu sampai detail mulai dari butuh berapa popok dalam satu bulan, susu, peralatan bayi dan lainnya,” kata Bella.
Dari teman-temannya, ia tahu punya anak biayanya sangat tinggi. Bahkan ia dapat informasi dari temannya yang sudah punya anak, biaya bulanan bisa mencapai Rp20 juta. “Bahkan yang newborn, yang baru melahirkan itu kebutuhan awalnya ada yang habis 80 juta. Bayangin saja, dari mana kami akan mengumpulkan uangnya,” kata Bella.
Belum lagi menurut Bella, dari kisah teman-temannya mengatakan untuk melatih saraf motorik, anak-anak perlu mendapatkan lingkungan yang tepat agar punya interaksi sosial yang bagus. Dan sekali lagi itu bukan hal yang mura
“Pendapatannya dan pendapatanku kalau digabung itu belum cukup. Jadi kami berhitung dengan usiaku yang jelang 30 dan usianya yang sudah 30, itu biaya yang kami butuhkan dari anak melahirkan, membesarkan dengan layak, biayanya nggak nutup,” kata Bella.
Sebagai pekerja Jogja, gajinya sebenarnya juga lebih dari UMR Jogja. Begitu juga dengan calon suaminya yang punya usaha kecil-kecilan dan jadi freelance. “Nggak mau juga dengan memaksakan diri punya anak, malah kehidupan kita jadi miskin. Yang kasihan kan juga anaknya juga nanti.
Alasan lebih personal tak mau punya anak, karena kesehatan mental
Bella lantas memberikan alasan yang lebih personal mengapa ia tak mau punya anak. “Aku punya persoalan kesehatan mental, borderline. Aku saja masih struggle dengan kondisi mentalku, bagaimana dengan nanti kalau punya anak? Kasihan dianya juga, jadi mending nggak punya anak saja,” kata Bella.
Borderline yang Bella maksud adalah Borderline Personality Disorder (BPD), yaitu kondisi gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati, perilaku, dan hubungan yang tak stabil.
Menurut Bella, salah satu pengeluaran yang cukup rutin ia keluarkan adalah biaya konseling ke psikolog. Ia merasa beruntung karena gajinya saat ini bisa mengcover kebutuhan tersebut. Namun, kalau ada tambahan anak, maka pasti ia memerlukan budget berlebih lagi.
“Loh, kan ada warisan. Maksudku orang tuamu tentu nggak akan tinggal diam, seandainya kamu kesulitan biaya anak,” tanya saya dengan nada bercanda. Saya tahu, orang tuanya cukup mampu karena memilih pensiun dini dari dunia perbankan.
Orang tuanya juga sangat perhatian pada Bella, salah satu buktinya adalah membelikan rumah untuknya. Rumah yang akan diberikan ketika Bella sudah menikah. Asumsi saja, nggak mungkin orang tuanya membiarkan anak kesayangannya sampai jatuh miskin.
“Maaf, Mas. Aku mungkin egois, kalau orang tua ngasih, itu kan untukku, bukan untuk anakku,” katanya tegas.
Nggak percaya sepenuhnya “rezeki anak”
Bella juga nggak mau punya anak hanya karena untuk meneruskan keturunan. Toh kalau itu yang orang tuanya inginkan, adiknya yang terlebih dulu nikah sudah memberikannya.
Saya kemudian memancingnya tentang konsep “rezeki anak”. Seringkali orang-orang yang sudah menikah dan punya anak selalu memberikan alasan ketika punya anak maka akan menjadi pintu rezeki bagi keluarga.
“Itu konsepnya nggak gitu sih menurutku. Memang anak mungkin memberi rezeki, tapi itu ada alasan logisnya, bukan sesuatu di luar nalar yang rezekinya tiba-tiba datang karena punya anak,” kata Bella.
Ia mengatakan rezeki anak itu logisnya ketika seseorang punya anak maka orang tuanya akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dengan begitu, rezeki otomatis mengalir. “Bukan sesuatu yang di luar nalar, kalau istilah rezeki anak, atau banyak anak banyak rezeki, nyatanya banyak keluarga yang anaknya banyak justru hidupnya miskin,” kata Bella.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Mencintai Anak dengan Cara Childfree adalah Pilihan Logis bagi Gen Z Jogja yang Bergaji di Bawah UMR
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.