Melantik Separuh Jakarta

Melantik Separuh Jakarta

Melantik Separuh Jakarta

Rasyidin Nawi selalu mematikan televisi setiap muncul wajah Anies Baswedan atau Sandiaga Uno. Saya justru cekikikan dan menyumpal suasana dengan berkata, “Kok ada yang belum selesai Pak Haji? Besok kan mereka dilantik, baikan dong.”

Kami bertemu kembali di rumahnya di Pondok Pinang, 15 Oktober kemarin, sehari sebelum pelantikan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih. Pertemuan sebelumnya terjadi medio Maret, selepas pemilihan putaran pertama. Rupanya, dendam masih membatu.

Hingga kini Rasyidin kekeuh mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Dia didepak dari kepengurusan Masjid Darussalam oleh saudaranya sendiri, Firmansyah, karena hal tersebut. Setelah itu Firman, yang mendukung Anies, meminta agar jenazah pendukung Ahok tak disalatkan di masjid tersebut. Salah satu korbannya adalah Siti Rohbaniah.

Pagi sebelum pemilihan gubernur DKI Jakarta putaran kedua, April 2017, mobil dan motor Rasyidin disiram oli bekas. Dia pernah diusir dari masjid di antara gema khotbah Jumat. Firman pun mengganti panggilan Rasyidin dari “Haji” menjadi “John”. Kata dia, John itu Kristen.

Saya juga ikut kena getahnya. Sebelum ngobrol dengan Firman, pada 16 Maret 2017, saya disumpah tiga rekannya untuk memberitakan yang baik dan diminta membuktikan saya Islam. Semua kejadian itu mereka foto dan videokan setelah menggebrak meja.

Wacana rekonsiliasi Anies dan Sandi tak manjur. Ahok dipenjara. Begitu juga pendukungnya, masih berlarat-larat oleh sentimen. Setengah hati memanggul demokrasi.

Tapi, gubernur terpilih ini malah berharap keretakan yang merimba bisa sembuh sendiri. Caranya, enam bulan ia akan tiarap dari sorotan media, terhitung sejak hasil pilkada putaran kedua keluar hingga jelang pelantikannya. Ya, kita hanya bisa berandai-andai, Anies berani berdiri di barisan depan, memberi contoh memikul beban Jakarta di antara beragam agama dan etnis. Dia kan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, ahli meramu pola dan menggeser perspektif.

Mungkin saya salah. Perpecahan pasca-pilkada hanya ilusi, tak sepanas tamparan lelaki berpakaian Laskar FPI pada teman saya. Jika pun ada, hanya melilit di sosial media, seperti kata Anies. Tapi, saya tidak akan melupakan selama lebih dari dua hari pekikan takbir yang menempel di telinga saya. Itu setelah saya seharian meliput aksi 212. Rasanya seperti himne Perindo yang membuatmu hafal dengan sendirinya.

Tapi, bisa jadi itu terjadi karena daya tahan tubuh saya saja yang lemah. Maklum, pagi-pagi saya sudah sarapan teriakan salah satu pemimpin ormas asal Makassar. “Beritain yang baik-baik ya! Kalau tidak, putus nanti kamu punya kepala!” Kencang sekali kalimat itu dia teriakkan tepat di telinga kanan saya. Sekencang ketika mulut Anies menyalak. Mirip laju bus patas malam hari, yang jika membentur kalian, bisa pecah helm di kepala. Melesat melampaui laju pertumbuhan penduduk Jakarta.

Anies dan Sandiaga harusnya menjadi milik bukan hanya separuh orang Jakarta. Kaum miskin Jakarta menunggu reinkarnasi permak kampung, seperti di zaman Ali Sadikin. Meski tak disetujui pemerintah, program itu tetap dieksekusi. Warga Jakarta juga menanti ketegasan ala Ali Sadikin yang mengkritik habis rezim Orde Baru Soeharto melalui petisi 50. Dia menolak penafsiran Soeharto yang melenceng atas Pancasila. Baginya, Pancasila seharusnya tetap ditafsirkan sebagai landasan pemersatu, bukan pemecah.

Ali Sadikin juga pasang badan membantu pendirian Lembaga Bantuan Hukum. Dari sana dia fasilitasi warga miskin yang tak mampu bayar pengacara. Bukan seperti Ahok yang tak patuh pada kemenangan warga atas gugatan penggusuran di pengadilan. Busuknya, penggusuran itu yang menjadi percontohan yang memberai ke berbagai daerah.

Anies dan Sandiaga harusnya menjadi milik Sukarti juga. Dia ibu rumah tangga yang kehilangan rumah dua lantai karena digusur Ahok di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Salah seorang anaknya sempat diusir dan dipermalukan guru sekolah karena menunggak biaya. Kini anak itu putus sekolah.

Sedangkan anak perempuannya, Eka Juwanti, meninggal karena diguyur hujan dan dikoyak angin laut saat bertahan tinggal numpang di perahu orang.

Delapan bulan setelah penggusuran, saya sempat bertemu Eka. Dia kurus sekali, punggungnya melengkung. Di tenda darurat hari-hari dia habisnya dengan berbaring di atas papan sisa rontokan rumah gusurannya. Ringkih, tak sekokoh penolakannya pada penggusuran.

Saya pikir ketegaran Eka diwariskan pada Anies. Dia bukan orang partai, tak mudah dikendalikan sesuka hati.  

Begitu juga dengan Sandiaga, sepatutnya dia tak menurut begitu saja kepada Prabowo Subianto. Masak pertemuan dengan Luhut Binsar Pandjaitan dieksekusi tanpa tahu bahwa ternyata obrolannya tentang dampak baik reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Sandiaga mungkin harus tahu, jurus bangau putih yang dia tonjolkan merupakan sikap kemandirian. Kuda-kuda tetap tegap meski hanya satu kaki. Itu juga bukti bisa sigap menerjang di udara, namun tetap membumi. Atau bisa jadi saya salah: jangan-jangan itu simbol bahwa dia mampu berdiri dua kaki; seolah membela kaum minoritas, nyatanya justru abai.

Menjadi pemimpin Jakarta bukanlah sekadar melangkah ke jenjang politik yang lebih tinggi. Utang budi harus ditunaikan. Sebagai pemimpin, mereka berdua dibutuhkan oleh kelompok rentan tindakan kekerasan dan kaum miskin yang dilindas atas nama pembangunan. Anies dan Sandi, ada bersama merekalah, meski ribuan meriam dihadapkan ke Balai Kota.

Exit mobile version