Mantan Penghuni Lapas Bercerita Bagaimana Rokok Menjadi Mata Uang di Penjara

rokok jadi mata uang di penjara

Ilustrasi photo by Sakhorn/shutterstock.

Seorang mahasiswa yang sempat mendekam di lembaga pemasyarakatan (lapas) narkotika di Yogyakarta bercerita tentang bagaimana rokok jadi mata uang dalam penjara. Bukan hanya jadi alat tukar, rokok juga jadi alat menjalin relasi agar diterima oleh penghuni lainnya.

***

Rokok barangkali adalah barang paling dikutuk sekaligus diminati oleh banyak orang. Sementara zat nikotin di dalamnya dikecam berbagai lapisan masyarakat. Hampir sepertiga populasi di Indonesia menghisapnya, menjadikannya bagian dari gaya hidup. Setidaknya begitu yang dapat dilihat dari Riset Kesehatan Dasar 2018, bahwa 29,3 persen populasi di Indonesia adalah perokok.

Yang jarang diketahui, rokok tak hanya mendapatkan tempat di hati konsumennya. Rokok juga tak selalu bisa dikerdilkan semata sebagai alat rekreasi atau terapeutik. Adakalanya rokok sama berharga dengan emas dalam pengertian paling purba: alat tukar untuk mendapatkan barang dan jasa. 

Rokok mula-mula menjadi alat tukar di penjara dan kamp penahanan tawanan perang modern. Selain perokok pun menggunakan dan meyakini fungsi lain barang itu sama dengan uang. Sejak saat itu, rokok punya konvertibilitas universal di penjara. 

Yuval Noah Harari, dalam magnum opusnya Sapiens: Sejarah Singkat Umat Manusia, menulis pasase tentang mata uang rokok yang beredar dan dipakai di kamp konsentrasi Auschwitz:

“Selembar roti berharga 12 rokok; satu paket margarin seberat 3 ons berharga 30 rokok; jam tangan berharga 80 sampai 200 rokok; seliter alkohol setara dengan 400 rokok!” 

Mata uang rokok tak lekang oleh waktu. Tak usah jauh-jauh ke Auschwitz, rokok sebagai alat tukar bahkan masih bisa ditemukan di penjara-penjara Indonesia kiwari. Saya tahu itu usai bertemu dengan seorang bekas tahanan di salah satu lembaga pemasyarakatan narkotika di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Rokok, alat bayar di dalam jeruji

Berbekal Google Maps, saya mengendarai motor menuju rumah Fadil, bukan nama sebenarnya, di bilangan Condongcatur, Sleman. Mahasiswa semester sepuluh itu tinggal di sana sejak akhir 2021 empat bulan setelah ia kembali menghirup udara segar di luar penjara. Di rumah itu ia tinggal bersama teman sesama mahasiswa yang berasal dari satu daerah. Sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan.

Rumah kediaman Fadil terdiri dari dua lantai dengan desain industrial dan minimalis. Tampak luar, rumah itu didominasi warna kelabu dan sedikit aksen merah. Elegan. Tak seperti rumah kontrakan atau kos-kosan mahasiswa kebanyakan yang dilapisi cat hijau berkualitas rendah. Seorang teman menyebut warna semacam itu sebagai “hijau kemiskinan”.

Tak lama setelah tiba di depan rumah kediaman Fadil, saya disambut dan dipersilakan masuk ke ruang tamu. Kami lantas duduk hadap-hadapan. Sembari basa-basi ala kadar, Fadil menyulut sebatang rokok dari sebuah pak di atas meja yang menengahi kami. 

Fadil masih belum lupa. Pak rokok seperti yang ada di hadapannya pernah menjadi alat tukar selain rupiah dalam hidupnya. Semuanya bermula di tahun 2019, ketika Fadil ditangkap lalu dijebloskan ke dalam Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta di Pakem, Sleman. 

Aktivitas pemakaian ganja Fadil pertama kali tercium di bulan Maret 2019. Saat itu ia hendak mengirim dua gram ganja untuk seorang kenalan. Namun, penyedia jasa ekspedisi yang ia pakai mendapati barang tersebut dan melaporkannya ke Polda. Tanpa sadar Fadil menjadi target operasi selama tiga hari. Puncaknya, tiba-tiba ia dijemput intel yang menyamar menjadi ojek daring di Indomaret. 

“Sekitar pertengahan Maret. Tanggal sial itu, aku pengin lupain dari kemarin,” ujar Fadil sambil tersenyum getir.

Pascapenangkapan, Fadil ditahan di Polda selama dua bulan. Ia menjalani masa sidang hingga akhirnya divonis empat tahun penjara. 

Rokok jadi mata uang sekaligus alat menjalin relasi dengan penghuni lainnya. (SuperMoo Varavut/Shutterstock.com)

Ada banyak bagian dari kehidupan penjara yang tak terbayangkan oleh Fadil. Dulu ia membayangkan bakal hidup satu sel dengan manusia yang siap memangsanya hidup-hidup. Tapi tidak. Warga lapas, layaknya manusia biasa, bisa menjadi sangat baik dan usil. 

Rokok sebagai mata uang penjara juga tak pernah Fadil pikirkan sebelumnya. Awalnya Fadil hanya bertransaksi dengan uang elektronik yang dikirimkan orang tuanya setiap minggu. Namun, uang elektronik itu ternyata memiliki berbagai keterbatasan.

Uang elektronik, misalnya, hanya bisa dipakai di kantin yang dapat diakses warga lapas saat jam bebas berkegiatan: pukul tujuh pagi hingga dua belas siang. Padahal, kebutuhan belanja kerap datang di jam-jam lain. Sebut saja ketika mereka terkunci dalam sel. 

Pada waktu itulah rokok menjadi penyelamat. Dengan rokok narapidana bisa membeli kebutuhan mendadak seperti mie instan untuk mengganjal perut, kopi untuk teman mengobrol, atau memasang taruhan saat klub sepak bola kesayangan bertanding. Adapun harganya tergantung negosiasi kedua belah pihak, penjual dan pembeli.

Adakalanya transaksi dilakukan secara tidak langsung. Ini kerap terjadi ketika barang yang dibutuhkan seorang warga lapas tak dimiliki teman sekamar. 

Untuk itu akan ada kurir yang siap mencarikan barang di sel lain. Kurir itu biasanya adalah tahanan pendamping (tamping), warga lapas yang membantu tetek-bengek pekerjaan sipir sehingga hukum yang memayungi mereka relatif lebih lentur. Kurir itu juga yang menyampaikan negosiasi antara kedua belah pihak hingga mencapai harga sepakat.

Tak hanya barang, mereka pun bisa membelanjakan rokoknya untuk sebuah jasa. Misalnya, transaksi pertama Fadil menggunakan rokok adalah pembelian jasa cukur dari seorang warga lapas. Ia membayar jasa cukur itu dengan satu pak rokok.

Mahalnya korek dibanding rokok

Warga penjara menciptakan hukum ekonomi dan membangun peradabannya sendiri dengan rokok. Dengan satu pak rokok, mereka bisa bernegosiasi untuk membeli berbagai barang. Satu pak rokok bisa dibilang mata uang terkecil di penjara. 

Rokok yang paling sering digunakan sebagai alat tukar adalah Sampoerna dengan isi 16 batang. Rokok lain bisa dipakai, tapi itu lagi-lagi tergantung kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Tak hanya digunakan untuk kebutuhan individu, rokok juga dipakai Fadil untuk menjalin relasi serupa rumah tangga bersama teman-teman satu selnya. Dalam waktu seminggu, Fadil dan teman sekamarnya menyimpan stok sekitar dua puluh pak rokok untuk dihisap dan dipakai belanja. 

Setiap anggota sel wajib menyumbang minimal dua pak rokok. Fadil sendiri selalu membeli dua pak rokok untuk dipakai bersama teman-teman satu selnya selama satu minggu.

Pemakaian rokok itu pun disepakati bersama. Untuk dua puluh pak rokok, mereka mengalokasikan 15 pak untuk dikonsumsi. Sisanya untuk menjadi alat tukar. 

Bila ada kebutuhan bersama yang stoknya habis, katakanlah gula, mereka akan menggunakan sebagian rokok yang memang sudah dialokasikan untuk belanja ke warga di sel lain. Atau mereka juga bisa membeli lauk tambahan kepada tamping di dapur untuk di makan bersama.

“Paling mahal kulit ayam. Favorit tuh. Bayarnya pakai dua bungkus Sampoerna 16,” Fadil bercerita. 

Kadang mereka menggunakan rokok itu untuk membeli kebutuhan-kebutuhan kecil tapi terlarang seperti pisau cukur, gunting, atau perkakas tukang yang berpotensi melukai. Barang-barang itu tak tersedia di kantin. Seringnya, ada warga lapas yang menyelundupkan barang tersebut dari Bengkel Kerja ke sel. Setelah diselundupkan, ia lantas beredar dari kamar ke kamar, ditukar dengan satu atau dua pak rokok Sampoerna 16. 

Demikian pula korek. Meski rokok merupakan barang yang diperjual-belikan secara bebas di kantin, korek tak bisa didapatkan di mana pun di penjara. Kecuali dari sipir.

Sipir pun memanfaatkan kelangkaan korek di Lapas untuk meraup keuntungan. Dengan sebuah korek tokai, para sipir bisa mendapat dua pak Sampoerna 16 dari tahanan. 

Mau tak mau warga lapas menerima negosiasi itu, meski perbandingan nilai antara kedua barang yang ditukar sangat tidak setara. Korek tokai di luar penjara hanya dibanderol Rp3.000, sementara dua pak Sampoerna 16 di penjara bisa lebih dari Rp50.000.

Ulah sipir atau gembong korek ini pun menjadikan korek sangat berharga. “Mending hilang korek daripada hilang rokok,” kata Fadil.

Ketika para sipir berulah

Obrolan saya dan Fadil berlangsung hangat. Ia tak sungkan menceritakan apa saja perihal kehidupan penjara. Termasuk kultur kekerasan baru yang mencuat di Lapas Pakem sepanjang 2020 hingga menjelang akhir 2021.

Praktik kekerasan itu membudaya diduga sejak jabatan Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) diemban oleh orang baru. Tak lama sejak KPLP baru itu menjabat, praktik penyiksaan pun bermunculan. 

Bentuk penyiksaan yang terjadi macam-macam. Ada warga lapas yang dipaksa memakan pepaya busuk berikut kulit dan biji dan ulat di dalamnya. Ada warga lain yang dicambuk dengan selang dan kabel. Ada yang disuruh meminum air urine tapi tak mau sehingga sipir sendiri yang menyirami wajah warga itu dengan air urine. 

Ia terjadi begitu saja. Menurut Fadil, banyak warga lapas baru yang ‘diospek’ tanpa alasan. 

“Ada yang waktu itu dipukul gara-gara ngantongin singkong. Sipir yang tahu langsung marah, ‘Ada apa kok ngantongin singkong’. Lah kenapa?” ujar Fadil heran akan kejadian konyol berujung tragis itu. “Kayaknya mereka (sipir) memang cari-cari alasan biar kelihatan disiplin terus jadi dipandang sama Kepala KPLP baru.”

Selain kekerasan, aturan di lapas pun semakin ketat. Sejak Kepala KPLP baru menjabat, setiap kamar hanya boleh menyimpan empat pak rokok. Penggeledahan kamar dilakukan semakin sering. Bila di sebuah kamar terdapat lebih dari empat pak rokok, ia bakal disita dan penghuni kamar dihukum push-up.

Mendapatkan korek pun semakin sulit. Warga lapas hanya dibolehkan meminjam korek dari sipir dengan syarat: membaca Pancasila. Budaya transaksi dengan mata uang rokok pun semakin jarang. Ia juga hanya bisa dilakukan sembunyi-sembunyi. Bila ketahuan sipir, barang tentu ada ganjarannya.

Fadil mengingat itu semua sebagai masa-masa paling kelam di penjara. Sehingga, selepas dibebaskan ia dan beberapa warga lapas lainnya berusaha mencari bantuan untuk teman-teman yang masih berada di penjara. Mereka melaporkan praktik kekerasan tak manusiawi yang terjadi di Lapas Kelas II A Narkotika Yogyakarta ke Ombudsman.

Warga binaan Lapas Narkotika Yogyakarta saat kunjungan pejabat Kanwil Kemenkumham DIY. (Dok Humas Kemenkumham).

Segera, Ombudsman menentukan langkah-langkah verifikasi dan investigasi terkait praktik kekerasan tersebut. 

“Karena apa yang disampaikan mereka nanti akan diklarifikasi oleh tim. Tapi yang pasti secara kejadian mereka mengeluhkan berbagai perlakuan yang mereka rasa sebagai tindakan kekerasan,” ujar Kepala ORI Perwakilan DIY Budi Masturi yang dikutip dari situs resmi Ombudsman.

Kasus itu pun santer terdengar di media massa pada November 2021. Beberapa penyintas juga diundang ke acara televisi Mata Najwa untuk mengungkapkan pengalaman dan kesaksiannya. Mojok.co juga melakukan liputan kasus ini melalui tulisan Cerita Siksa Para Napi Diospek Petugas Lapas Narkotika Yogyakarta.

Fadil bercerita itu semua sambil menyuguhkan saya kopi yang ia pesan dengan layanan antar ketika kami tengah mengobrol. 

Kini Fadil telah bebas menghirup udara di luar penjara setelah mendapat remisi. Ia juga pengin melanjutkan kuliahnya yang belum rampung karena terjeda selama dua tahun. Di masa-masa penahanan, ia sudah menghabiskan jatah cuti dua semester. Ia juga sempat membayar biaya kuliah cuma-cuma tanpa pernah masuk kelas ketika di penjara. Semata supaya dia tak di-dropout.

Fadil pun tak lagi berpikir untuk mengulangi pengalaman yang sudah-sudah. Sekarang mahasiswa asal Kaltim itu masih menyandang status bebas bersyarat hingga satu tahun ke depan. Di masa bebas bersyarat ini, posisinya rentan. Satu catatan kriminal berpotensi menjebloskannya kembali. Ke penjara.

Reporter: Sidratul Muntaha
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Bu Tumini dan Warisan Mie Ayam Gagrak Sari Rasa Jatiayu dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version