Jika Pemancing Dimarahi Istri atau Ketemu Hantu, Ia Akan Tetap Memancing

Dalam satu perjalanan dari Kebumen ke Yogyakarta awal Agustus lalu, mobil yang kutumpangi terjebak kemacetan. Proses perbaikan jalan di Wates menyebabkan antrean panjang kendaraan. Tiba-tiba Surani, pengemudi mobil sewaan, nyeletuk ketika melihat serombongan bikers mendahului.

Pak polisi podo arep neng ndi kui podo sangu bedil (polisi mau ke mana tuh, kok pada bekal senapan),” katanya.

Aku yang duduk di kursi penumpang bagian depan tergeragap bangun mendengar ucapannya. Dengan mata berkabut karena masih ngantuk, aku lihat dua tiga motor melaju. Penumpangnya berboncengan. Hari yang mulai gelap membuat penglihatan bertambah samar. Tapi aku tahu, semuanya berjaket gelap dan bersepatu bot.

Aku memicingkan mata, berusaha menajamkan penglihatan. Orang-orang yang membonceng menggendong ransel di punggung. Di lengan mereka tergantung tas panjang warna hitam. Sekilas terlihat seperti berisi senapan.

Tenan polisi apa (beneran polisi)?”

Ia malah tertawa.

Dudu, kui wong mangkat mancing (bukan, itu orang berangkat mancing).”

Asem!

Aku tertipu, tapi ia berhasil membangunkanku. Yogya sudah dekat. Kami pun menghabiskan waktu ngobrol di sisa perjalananan. Apalagi temanya kalau bukan para pemancing.

Mereka, kata dia, punya militansi tinggi. Siang malam, panas terik, hujan badai, tetap tak peduli. Asal ada kesempatan, kalau sudah diniatkan dari hati terdalam, ya pergi mancing.

Lah yo arep golek opo (mau cari apa)?” tanya Surani.

Aku tak menyahuti ucapannya. Pikiranku sudah di rumah. Mungkin ia lupa, orang mancing pasti mencari ikan.

“Ada loh orang yang dicerai istrinya gara-gara siang malam hobinya mancing,” ia meneruskan cerita tentang para pemancing.

“Oh, ya?”

“Tenan, kuwi aku ngerti dewe (beneran, soal itu aku tahu sendiri).

“Nah kui, wong wes kadung cinta piye maneh (nah itu, orang kalau sudah kadung cinta gimana lagi).”

Namanya cinta, tahi kucing pun bisa berasa cokelat. Hanya ada dua peraturan untuk orang yang sudah dihinggapinya. Pertama, cinta tak pernah salah. Kedua, kalau cinta salah, kembali ke peraturan pertama.

Sebulan setelah obrolan itu, saya bertemu Joni Sunarto, warga Sambisari, Kalasan, Sleman. Sulit memisahkan riwayat lelaki 36 tahun bapak dua anak itu dari aktivitas memancing. Sejumlah lomba mancing pernah dimenanginya. Dulu pialanya dijejer di rak rumah. Tapi kini tak tentu rimbanya. Gara-garanya, rusak dibuat mainan anak pertamanya saat masih balita. Kini anak itu kelas 3 SD.

Benar katanya, banyak kisah cekcok dalam hubungan karena persoalan sepele. Tapi itu tak berlaku bagi penghobi mancing saja. Kegiatan apa pun kalau tak tahu waktu dan tempat, pasti mendatangkan masalah. “Saya juga pernah dimarahi istri gara-gara mancing,” katanya melirik Retno, istrinya, yang duduk di sebelahnya.

Perempuan 32 tahun yang dinikahinya pada 2008 itu terbahak mendapati perlakuan suaminya. “Dulu saya memang benci sekali sama orang mancing,” katanya. Betapa tidak, suaminya jarang di rumah. Siang malam pergi mancing. “Bojone neng omah ra tau ditunggoni (istri di rumah nggak pernah ditungguin).”

Lain dulu, lain sekarang. Joni, yang bekerja sebagai tukang ojek yang kerap mangkal di Terminal Condongcatur, memang masih pergi mancing. Sesekali ia lakukan di waktu senggang. Tapi, sebagai orang yang jatuh cinta pada memancing sejak SD, di bawah jok motornya selalu tersimpan senar dan mata kail.

“Sambil nunggu penumpang, kalau sepi ya mancing,” katanya.

***

Memancing adalah pekerjaan yang membutuhkan kesabaran tingkat dewa. Seorang pemancing bisa duduk berjam-jam di tepi kolam atau kali menunggu umpan digondol ikan. Di sinilah, kata Joni, letak keasyikan memancing. “Ini pekerjaan menguji kesabaran,” katanya.

Ujian itu seolah lunas ketika mata kailnya nyangkut di mulut ikan. “Ternyata asyik, itu yang bikin ketagihan,” kata Retno.

Saat gadis perempuan itu bukan pemancing. Joni suaminyalah yang memperkenalkan pada walesan, mata kail dan senar. Saat ada waktu senggang, keluarga ini kini menjadikan mancing sebagai wisata murah meriah bersama anak mereka.

“Senjata” mancing. (Mojok/Anang Zakaria)

Memancing juga menjadi semacam terapi. Dulu, Joni berkisah, ia pernah punya kawan seorang mahasiswa di kampus swasta di Babarsari. Bukannya kuliah, kerjanya mabuk tiap hari. Suatu hari Joni mengajaknya pergi mancing. Meski menganggap memancing kerja membuang-buang waktu dan tak berguna (memangnya mabuk tidak?), si kawan itu tetap ikut memancing. Sekali dua kali ikut karena terpaksa. Belakangan malah keasyikan. Saking seringnya mancing ia lupa pada tabiatnya mabuk-mabukan.

Memancing juga bisa mendatangkan kawan baru. Orang duduk berjam-jam di tepi kolam akhirnya ngobrol juga dengan orang di sampingnya. Kenalan.

“Cara cari teman paling gampang ya di tempat mancing,” katanya.

Seorang pemancing harus tahu teknik memancing yang baik dan betul. Ini agar pemancing tak sia-sia duduk berjam-jam di tepi kolam tanpa mendapatkan ikan.

Bagaimanapun, tanpa menomorduakan efek samping, seperti menguji kesabaran, mempeluas jaringan perkawanan, sampai media terapi untuk pemabuk, tujuan utama memancing adalah mendapatkan ikan.

Bukan cuma lain ladang yang lain belalang, lain kolam pun lain pula ikannya. Maka, pemancing harus paham betul karakter ikan yang akan dipancingnya. “Mancing lele beda dengan mancing tombro. Beda lagi dengan bawal dan nila,” kata Joni.

Perbedaan itu sangat menentukan jenis mata kail dan umpan yang digunakan. Lele misalnya mungkin cukup dengan umpan cacing. Tapi umpan itu tak berlaku untuk ikan lain. Umpan harus diperlakukan berbeda. Beberapa ikan doyan dengan umpan daging. Daging yang digunakan kadang harus direndam cairan infus agar lebih manjur menarik ikan.

Senar juga tak bisa sembarangan dipilih. Memancing sidat misalnya. Senar yang digunakan tak seperti kebanyakan. Bentuknya lebih mirip kain dibanding tali plastik. Mata kailnya pun bentuknya lebih besar dibanding untuk mengail ikan jenis lain. “Mancing sidat juga malam, dan itu di kali,” katanya.

Jadi, jangan sampai salah Anda mancing sidat di kolam pemancingan. Apalagi di kolam renang.

Bicara tentang kolam pemancingan, Joni mengatakan, di sinilah ajang lomba mancing biasa digelar. Setidaknya beberapa macam kategori. Galatama salah satunya. Lomba mancing ini diukur dari berat ikan yang berhasil didapat pemancing. Tak peduli berapa ekor jumlahnya. Siapa yang mendapat ikan terberat, dialah pemenangnya.

Kategori lain galapoin. Poin didapat ketika pemancing mendapat ikan terbanyak. Model ini biasa disalahgunakan oleh oknum pemancing sebagai ajang perjudian. Mereka bertaruh untuk tiap ekor yang didapat sesama pemancing.

Baik galatama maupun galapoin dibatasi waktu. Untuk satu putaran (disebut ronde) berlangsung sekitar satu jam. Di tiap putaran, peserta melakukan registrasi ulang untuk ikut putaran berikutnya.

Ibarat orang ujian sekolah, posisi dalam memancing juga menentukan prestasi. Agar perlombaan berlangsung fair, posisi pemancing diundi tiap putaran. Seorang pemancing yang di putaran pertama beruntung duduk di tempat tak jauh dari tempat berkumpulnya ikan bisa menikmati tempat duduk yang sama di putaran berikutnya.

Tapi, bukan pemancing andal jika terkalahkan situasi. Ada taktik ngebom agar ikan mau berkumpul. Seorang pemancing biasa menaburkan umpan tertentu di sekitar mata kailnya nyemplung. Cara ini dilakukan untuk menarik ikan berkumpul di satu titik.

Untuk menarik perhatian ikan lele, Joni biasa menggunakan pasir halus yang sudah diaduk dengan kuning telur. Sementara untuk ikan tombro, pakai pelet. Pelet yang digunakan pun diperlakukan secara khusus. Ia biasa menyangrainya sebelum digunakan ngebom. “Umpan ini beda dengan yang di mata kail,” katanya.

***

Kolam pemancingan bukan satu-satunya target pemancing. Laut dan sungai adalah tempat lainnya. Intinya, di mana ada air, di mana ada ikan berkelebat, di sanalah naluri pemancing tergoda menyalurkan hasratnya.

“Di selokan kecil pun yang isinya ikan wader ia bisa mancing,” kata Retno berkisah tentang Joni.

Tak semua pemancing bisa, kata dia. Ada teknik tersendiri. Butuh beberapa mata kail dalam satu senar untuk memancingnya. Kail-kail itu dirangkai diujung senar dengan satu kail yang berisi umpan.

Dengan cara itu, Joni bisa mendapat setidaknya tiga ekor wader dalam satu tarikan. Cara berbeda diterapkan untuk mengail sidat. Ia biasa menggunakan kail berwarna kuning untuk menarik perhatian ikan kali itu.

Joni mengatakan punya beragam pengalaman ketika memancing di sungai. Dari yang mistis sampai konyol. “Tapi banyak lucunya,” katanya.

Suatu hari ia pernah mancing di tepian sungai yang tak jauh dari kuburan. Tepatnya, kuburan itu berada di atas tebing yang berbatasan dengan kali. Setelah beberapa saat memancing, hujan deras turun dan menyebabkan tebing longsor. Sedikitnya tujuh makam di atasnya ambrol menampakkan jenazah di dalamnya.

Tak banyak bicara lagi, ia dan rombongan pemancing segera mengemasi alat pancing. Mereka mundur teratur dan meninggalkan lokasi.

Pengalaman terkonyol yang pernah ia alami adalah ketika memancing di Wates, Kulonprogo. Suatu malam, bersama sejumlah temannya, ia berangkat mancing ke sana. Setelah berkeliling mencari spot strategis, mereka menemukan sebuah jembatan. Kondisi gelap, baterai senter ngos-ngosan, mereka sepakat memancing dari atas jembatan itu. Alat pancing dikeluarkan dari tas, umpan dipasang, dan mata kail segera dilemparkan ke arah kegelapan.

Sejam ditunggu, tak ada tanda-tanda umpan digondol ikan. Empat jam lamanya mereka duduk menanti, sebuah cahaya kelap-kelip dari arah timur terlihat mendekat. Semakin dekat, cahaya itu membesar dan terdengar suara bergemuruh.

“Tak tahunya itu lampu sepur, kami baru sadar yang dipancing itu rel kereta,” katanya terbahak mengenang kembali peristiwa itu.

Lalu bagaimana peristiwa mistisnya?

Itu terjadi ketika Joni baru mengawali “karier” sebagai pemancing. “Saat SD,” katanya.

Meski terjadi dua puluhan tahun, mungkin lebih, yang lalu, Joni tak bisa melupakannya. Ceritanya, sepulang sekolah ia langsung pergi mancing. Hingga sore menjelang senja ia tak bergegas pulang. Sampai akhirnya ia merasa ada tarikan keras dari ujung senarnya saat Magrib. Pasti ikan besar, pikirnya.

Dengan sekuat tenaga ia tarik pancingnya. Diangkatnya senar dan terlihat hasil buruan tersangkut di kailnya.

“Saya langsung pingsan,” katanya.

“Memang apa?” saya bertanya.

Ndas pringis, kepala tersenyum meringis.”

Dasarnya sudah hobi, ia tetap tak kapok memancing. Sampai hari ini. Dan jika jantungmu berdesir kencang melihat alat pancing dan air penuh ikan, artinya kau teman Joni.

Exit mobile version