Di antara semakin banyaknya warung makan yang bertebaran di dekat UNAIR Kampus B Surabaya, warung makan Barokah Sih menjadi salah satu yang tak pernah sepi. Terletak di Jalan Gubeng Jaya VIII no. 28 Surabaya, sebuah gang kecil di tengah padatnya perkampungan Airlangga Gubeng, warung itu selalu dipenuhi motor yang berjejer di area depan warung: penuh sesak para mahasiswa yang tengah menyantap makanan pesanan masing-masing.
Sebagai mahasiswa dengan saku pas-pasan yang sering kali dihantui momen-momen duit kepepet, Barokah Sih adalah warung penyelamat. Pasalnya, selain tawaran harganya yang murah, menu yang dihadirkan juga sehat.
Saya lupa kapan dan bagaimana persisnya mengenal warung makan Barokah Sih di Gubeng Jaya, Surabaya. Yang jelas, mayoritas mahasiswa UNAIR Kampus B tahu warung makan ini. Misalnya Dafa (21), mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR Surabya. Ia adalah pelanggan tetap Barokah Sih.
“Menurutku, standar makanan untuk bisa dikatakan murah dan ramah kantong mahasiswa–utamanya kantongku–adalah Rp8 ribu sampai Rp12 ribu. Dan dengan ukuran harga segitu, warung Barokah Sih menyediakan makanan sehat dan rasanya enak,” terangnya.
Warung makan Barokah Sih Gubeng Jaya Surabaya berawal dari iseng
Pada kunjungan saya Senin (19/8/2024) lalu, saya beruntung sebab berkesempatan menjumpai Gina (53), pemilik warung Barokah Sih yang akrab disapa dengan Bu Gin.
Sambil moteli tangkai cabai dan menyisik wortel, kami berbincang soal perjalanan warungnya tersebut. Ia menerangkan, warung makan Barokah Sih sudah buka sejak 1999, di lokasi yang persis sama hingga sekarang di dekat UNAIR Kampus B.
“Iya, Mbak, selalu di sini. Dulunya ibuk (saya: Bu Gin) masih ngontrak. Dulu belum seluas sekarang. Separuh kecil ini, (tempat kami berbincang) buat ibuk masak. Terus separuhnya lagi dikontrak anak mahasiswa,” jelasnya.
Semula, ia dan suami bermukim di daerah Lapangan Softball Dharmawangsa. Suaminya adalah atlet softball yang kerap berlatih di lapangan itu. Namun, karena satu dan lain hal, ia mesti pindah ke Gubeng Jaya dan ngontrak bersama tujuh mahasiswa lain.
Awalnya, ia iseng masak dan membagikan masakannya itu kepada tujuh kawan kontrakannya. Karena rasanya enak, warga kontrakan mendorongnya untuk membuka warung makan. Berbisnis makanan secara serius.
Hari-hari pertama yang sangat sibuk
Gayung bersambut, salah seorang penghuni kontrakan bernama Pak Kusnandar mengajak Bu Gin menyeriusi bisnis makanan ini. Bu Gin bagian masak dan mengurus dapur, sedangkan Pak Kusnandar bagian berjualan di depan kontrakan.
“Dulu belum banyak warung makan di sini. Baru punya Bu Gin ini dan di timur itu ada satu warung lagi. Nggak kayak sekarang, ramai sekali,” cerita Bu Gin.
“Dulu awal-awal baru jualan 2-3 Kg (beras), Mbak. Harga nasinya juga masih Rp1.500 sebungkus lauk telur. Kalau lauk ayam, Rp3 ribu,” tambahnya.
Seiring waktu, warung makan di Gubeng Jaya Surabaya itu berangsur ramai dan sukses. Orderan banjir dari warga dan mahasiswa sekitar. Hari-hari Bu Gin jadi sangat sibuk.
Kala itu, Pak Kus masih menempuh pendidikan sebagai mahasiswa s2, sambil sering kali membantu memberi bimbingan kepada mahasiswa UNAIR Surabaya untuk skripsi. Di waktu-waktu Pak Kus sibuk dengan studinya atau mahasiswa bimbingannya, Bu Gin terpaksa bekerja sendiri; memasak sendiri dan menjual makanannya sendiri.
Nyaris menyerah karena lelah
Waktu berlalu, rasa capek dari kesibukan itu memuncak. Suatu ketika, setelah berbagai pertimbangan termasuk dorongan dari suaminya yang tak tega melihat ia kelelahan, Bu Gin menghadap Pak Kusnandar.
Bu Gin menerangkan keluh kesahnya perihal rasa capek yang menurutnya tak sesuai dengan untung yang didapat. Sebab, keuntungan warung mesti dibagi dua dengan Pak Kusnandar. Bu Gin pun memutuskan untuk berhenti, dan menyerahkan warung kepada Pak Kusnandar untuk diteruskan. Sedang ia hendak mengontrak dan membuka warung di tempat lain.
“Tetapi waktu itu Pak Kus menolak, Mbak,. Lha wong katanya dia nggak bisa masak kayak Buk Gin. Nanti kalau dia yang masak, jadi nggak ada yang beli, katanya,” kenang Bu Gin sambil tertawa.
Lagipula, Pak Kus masih harus mengurus kesibukannya tadi. Dengan alasan itu, akhirnya warung makan dekat UNAIR Kampus B itu diteruskan oleh Bu Gina. Dengan pemasukan warung yang relatif selalu stabil, ia sampai mampu membeli kontrakan tempatnya membuka warung itu, meski dengan mengangsur.
Kini, kontrakan saksi perjuangan masa mudanya itu telah Bu Gina miliki. Ia juga mempekerjakan warga sekitar gang. Yakni, dua perempuan paruh baya: Bu Baina dan Bu Sumiati yang masing-masing akrab disapa “Budhe”. Lalu ada satu anak muda beranama Rizki, ia sering kebagian tugas mengantarkan es teh ke pelanggan.
Mahasiswa UNAIR Surabaya kerap minta doa
“Wis pokoke anak-anak ini (mahasiswa UNAIR Surabaya) baik banget. Nggak pernah ada yang utang nggak dibayar. Alhamdulillah, Mbak. Saya sayang sama anak-anak,” ucap pemilik warung makan Barokah Sih di Gubeng Jaya tersebut dengan raut sumringah. Bu Gina bak jadi ibu bagi para mahasiswa tersebut.
Kedekatan itu juga tercermin dari bagaimana mahasiswa kerap kali pamit dan mohon doa kepada Bu Gin sebelum sidang skripsi. Mereka meminta doa sebelum sidang dan sering kali kembali selepasnya untuk melaporkan hasil sidang: berjalan lancar atau tidak.
“Mau lomba juga sering pamitan, Mbak. Pernah itu ada lomba debat di Bali gitu saya ingat. Warung ini juga sampai pernah dibuat judul lomba, lho, Mbak,” ungkap Bu Gin.
“Kapan lalu itu ada yang ke sini buat izin. Buat lomba di Jogja kalau nggak salah. Saya mah mempersilakan saja. Alhamdulillah menang juara dua,” imbuhnya.
Bu Gina berulang kali menyebut bahwa mahasiswa UNAIR Kampus B (yang jadi pelanggannya) begitu baik dan ramah padanya. Tapi sebenarnya, dari percakapan hari itu dan dari pengamatan saya semasa berkunjung ke Barokah Sih, ramahnya mahasiswa tidak lain adalah respons atas sikap baik dan murah hati Bu Gina sendiri.
Resep warung makan Barokah Sih Gubeng Jaya biar tak sepi
Jualan selama 25 tahun, warung makan Barokah Sih di Gubeng Jaya dan dekat UNAIR Kampus B itu nyaris tak pernah sepi pembeli.
“Kalau anak-anak lagi masuk kuliah gitu, Mbak, sehari bisa masak nasi 30 Kg beras,” tutur Bu Gin.
Bisa dibayangkan betapa ramainya. Sedang, di hari-hari mahasiswa libur seperti saat saya wawancara hari itu, warung makan Barokah Sih rata-rata memasak 5 Kg nasi sehari.
Saking kondangnya, satu tahun lalu, warung Barokah Sih juga pernah di-review mahasiswa UNAIR di kanal YouTube resmi kampus: UNAIRTV. Mereka makan di Barokah Sih saat sahur. Ketika saya menanyakan, apa kiranya resep warung makan dekat UNAIR Kampus B itu bisa bertahan lama? Bu Gin lalu memaparkan tiga hal.
“Yang pertama, bersih higienis. Di sini kan dapurnya terbuka. Anak-anak bisa bebas melihat masaknya, airnya mengalir nggak berkubang, wis, bersih pokok. Kedua, penjualnya harus ramah. Sama yang terakhir, murah meriah,” jelasnya.
Solusi di tengah gempuran makanan serba minyak
Untuk diketahui, ada sangat banyak warung-warung makan di Gubeng Jaya Surabaya atau dekat UNAIR Kampus B. Rata-rata warung makan dengan menu andalan ayam goreng.
Di banyak waktu saya berpikir, tak mungkin setiap hari saya mengonsumsi ayam geprek yang diguyur minyak atau ayam penyetan, ayam kremes, atau hidangan ayam-ayam goreng yang lain.
Saya sungguh perlu sayur supaya ada nutrisi yang mengisi tubuh saya. Juga, di momen-momen rindu ibu di rumah, sayur selalu jadi makanan pelipur. Nah, warung makan Barokah Sih menyediakan itu; sop, capcay, bayam serta aneka menu sayur dan masakan rumahan lainnya.
Buka warung makan dekat UNAIR bukan cuma untuk bisnis
Di warung makan Barokah Sih kerap ada diskon mendadak. Misalnya di hari saat saya berkunjung itu, Bu Gin bilang kalau sore nanti akan ada promo es teh gratis.
“Anak-anak itu dikasih kembalian Rp2 ribu gitu sudah senang mereka, itung-itung buat fotokopi atau nge-print gitu, kan, Mbak,” ucap Bu Gin.
Makanya, Bu Gina lewat warung Barokah Sih berkomitmen untuk tidak menjual makanan mahal.
Di warung lain, umumnya nasi dan telur bisa dihargai Rp15 ribu. Sementara di warung makan dekat UNAIR Kampus B Surabaya itu cukup Rp8 Ribu. Sebab, Bu Gin bilang, ia merasa kasihan jika untuk makan para mahasiswa–khususnya yang bersaku pas-pasan–harus keluar uang sebesar Rp15 ribu.
“Saya niatnya bukan untuk bisnis, Mbak, tapi untuk ibadah. Gini aja yang penting alhamdulillah berkah, awet langgeng. Nama Barokah Sih ini kan asalnya dari dua kata, “barokah” dan “kasih” gitu, Mbak,” ucapnya.
“Kalau niat buat bisnis, mungkin sudah kaya saya sekarang,” tambahnya sambil tertawa. Sungguh, Bu Gin adalah sosok yang mudah disukai.
Ada saja yang ngaku-ngaku cabang
Beberapa waktu lalu, Bu Gina bercerita bahwa tiba-tiba warung sepi. Ternyata, di gang sebelah terdapat warung dengan nama sama.
Bu Gina mendapat kabar, warung tersebut mengaku sebagai cabang dari warung Barokah Sih. Oleh karena itu, Bu Gina lalu mencetak banner dengan cap tulisan “tidak buka CABANG”. Selang beberapa hari kemudian, pelanggan ternyata kembali.
“Kan ada pepatah, ya, Mbak, “Ekor itu selalu di belakang, nggak pernah di depan”. Jadi, ya, jangan takut semisal karya kita dicontoh sama orang lain,” ucapnya bijak.
Penulis: Alya Putri Agustina
Editor: Muchamad Aly Reza
Liputan ini diproduksi oleh mahasiswa Program Kompetisi Kampus Merdeka-Merdeka Belajar Kampus Merdeka (PKKM-MBKM) Unair Surabaya di Mojok periode Juli-September 2024.
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.