Kopi Medan Haji Rawi, Kedai Warisan Keluarga dari Binjai Berusia 100 Tahun

Ilustrasi kopi medan Haji Rawi. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Kopi Medan Haji Rawi buka cabang di Yogyakarta. Kedai kopi ini berasal dari Binjai. Usianya sudah menginjak 100 tahun. Awalnya jadi tempat berkumpulnya para pejuang melawan penjajah. Namun, kemudian berkembang dan meninggalkan warisan kopi saring dan kopi susu tarik yang terbaik.

***

Selasa (12/7/2022) menjelang pukul tiga sore, saya hentikan laju motor di Jalan Palagan Tentara Pelajar KM 10, Sleman. Menepi di sebuah kedai bernama Kopi Medan Haji Rawi. Letaknya di deretan pertokoan yang mudah ditandai.

Matahari masih bersinar terik. Saya pesan es kopi susu tarik untuk melepas dahaga. Ada dua varian kopi yang menarik perhatian. Kopi susu tarik dan kopi saring. Keduanya merupakan menu andalan di kedai ini. Katanya, sudah diracik sejak Indonesia belum merdeka.

Tak butuh lama hingga pesanan datang. Tampilannya tampak menggoda dengan buih yang luber di atas gelas. Kabarnya, minuman yang ada di depan saya ini sudah melewati perjalanan panjang sejak tahun 1935. Kopi saringnya bahkan sudah ada sejak 1922. Aih, saya semakin penasaran dengan sejarah dan cita rasa kopi ini.

kopi medan haji rawi mojok.co
Es kopi susu tarik dan roti bakar srikaya. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Kopi untuk rakyat

Dahulu di Sumatera Utara—terutama wilayah Medan dan sekitarnya—budaya ngopi lekat dengan kebiasaan kalangan elite. Antropolog Universitas Negeri Medan, Erond Damanik dalam Jelajah Kopi Nusantara menjelaskan, kalangan elite hingga pejabat kebun sawit di Sumatera Utara pada abad ke-18 kerap minum kopi bersama di kedai dalam hotel mewah.

Selain itu, kebiasaan ngopi juga berlangsung di klub-klub eksklusif untuk “kerah putih”. Pembahasan mereka juga topik-topik kalangan atas. Mulai dari kebijakan perkebunan kolonial hingga gaya hidup elite masa itu. Kopi kala itu merupakan barang mewah.

Namun di sisi lain, pergerakan untuk menjadikan kopi lebih merakyat juga mulai berjalan di kampung-kampung kecil. Salah satunya dipelopori oleh Izzuddin Kadir Rawi yang kini dikenal dengan sebutan Haji Rawi. Di Binjai yang terletak sekitar 22 kilometer dari Kota Medan, semuanya berawal.

“Tahun 1922, Atuk kami, Haji Rawi yang saat itu usianya belum genap 20 mulai meracik kopi saring untuk kawan-kawannya di Binjai. Beliau mengenal kopi dari kawannya yang membawa bibit kopi dari Yaman,” ujar Donny Dwiharto (39), pria yang kini mengelola Kopi Medan Haji Rawi di Yogykarta.

Potret lawas orang ngopi di Binjai. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Donny dan istrinya Rizki Trisnasuci (41) berbincang di meja saya sore itu. Sang istri yang akrab disapa Kiki, merupakan cucu dari Haji Rawi. Mereka berdua bercerita panjang lebar tentang perjalanan racikan kopi keluarganya.

Momen yang diperingati sebagai hari lahirnya racikan kopi legendaris ini bertepatan dengan ulang tahun Haji Rawi, tepatnya pada 11 Januari. Haji Rawi muda mengenalkan kopi saring racikannya saat merayakan momen pertambahan usia. 11 Januari 1922 hingga 2022, kini kopi warisan keluarga ini sudah genap seabad.

Kala itu, Haji Rawi memanfaatkan kopi yang dikenal sebagai minuman penahan kantuk sebagai penggerak roda perjuangan kawan-kawannya menghadapi para penjajah. Ia mendirikan kedai, yang disebut Donny lebih mirip pos kamling, sebagai pusat perkumpulan pemuda-pemuda kampung. Membahas perjuangan melawan kolonialis.

“Letaknya itu di pinggir kali, kecil. Sederhana sekali. Bahkan lebih mirip pos kamling kalau dibilang. Tapi di situ banyak kawan-kawan seperjuangan Haji Rawi yang berkumpul,” kata Donny.

Letak kedai di pinggir kali bukan tanpa alasan. Menurut Donny, itu adalah siasat agar para pemuda yang sedang berjuang bisa dengan mudah membuang barang bukti ketika suatu waktu disatroni pihak-pihak kolonial.

Waktu berjalan, pada tahun 1930-an Haji Rawi mendapatkan akses stok susu lembu. Ia punya inisiatif untuk menjadikan susu sebagai penambah nutrisi bagi kawan-kawannya yang sedang berjuang.

Namun sayang, ternyata banyak di antara kawannya yang tak terbiasa minum susu. Susu dianggap punya rasa amis dan lekat dengan minuman ‘Londo’ oleh banyak orang di sana kala itu.

“Tapi mereka suka ngopi. Akhirnya kopi dicampur susu, gula aren, direbus, terus ditarik-tarik, disaring, dan akhirnya ya begitulah muncul minuman khas ini [kopi susu tarik],” ujar Donny.

Seorang pegawai sedang menyiapkan es kopi susu tarik. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Kopi susu tarik lantas menjadi salah satu ciri khas kedai Kopi Medan Haji Rawi yang racikannya tercipta tahun 1935 dari kisah tadi. Kopi susu tarik konon menjadi penanda perjuangan di sana. Di mana ada kedai menjual minuman ini, maka di situ ada perjuangan para pribumi.

Haji Rawi lebih banyak menggunakan kedai kopi kecilnya sebagai modal berjuang dan berjejaring. Kedai kecil di Binjai itu tak jadi andalan untuk memasok pundi-pundi rupiah. Ada cara lain yang digunakan untuk membesarkan bisnis mereka yakni dengan mengelola perkebunan kopi.

Sejak mendapat bibit kopi pada awal 1920-an, Haji Rawi mulai menanam kopi di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Melalui perkebunan kopi inilah, bisnis keluarga bisa berkembang.

Menurut istri Donny, fokus keluarganya sejak dahulu lebih ke perkebunan kopi. Menyuplai kopi ke sejumlah tempat. Perkebunan ini dikelola oleh keluarga dan kerabat. Selain kopi, mereka juga mengelola kebuh teh dan coklat.

“Memang akhirnya kita lebih banyak distribusi kopi, kedai akhirnya nggak terlalu diurus, berkembang sampai sekarang mereka fokusnya di distribusi kopi impor dan ekspor. Kedai seadanya sebagai klangenan saja,” ucap Kiki.

Kiki hanya bisa mengingat sekelebat mengenai sosok atuknya. Seingat Kiki, Haji Rawi meninggal pertengahan dekade 80-an saat ia masih belum masuk sekolah dasar. Namun bagi keluarga ini, peninggalan Haji Rawi terus hidup hingga generasi mendatang melalui cangkir kopi yang tersaji di kedai ini.

Mengenalkan Haji Rawi

Hari mulai sedikit gelap, terik sinar matahari sudah berkurang. Es kopi susu tarik yang saya nikmati sedikit lagi habis. Buat saya, rasanya memang nikmat. Manisnya pas dan kopinya terasa pekat. Kata sang pengelola, minuman ini dibuat dari campuran biji kopi robusta dan arabika dari perkebunan keluarga.

Menu lain yang saya coba adalah roti bakar srikaya. Roti tebal dengan tekstur yang lembut dibaluri selai srikaya yang menurut saya pulen rasanya. Cocok untuk dipadukan dengan berbagai varian kopi di sini.

Donny menyalakan rokoknya lalu bercerita bahwa inisiatif untuk membuka kedai di luar Binjai merupakan idenya. Ia menyayangkan jika kopi tradisional yang punya cita rasa dan sejarah panjang ini tidak dikenal oleh orang banyak. Kedai utama di Binjai sana memang seadanya.

“Kedai yang penuh cerita di Binjai itu ya seadanya aja. Di pinggir sungai dan sering banjir, akhirnya dibikin model panggung, ke sana juga bisanya motor doang soalnya di gang sempit,” katanya.

Donny dan Kiki di depan kedai. (Hammam Izzudin/Mojok.co)

Setelah menikah dengan Kiki di tahun 2015, mereka berdua lantas memohon izin untuk membuka kedai dengan nama Haji Rawi di Jawa. Resep dan bahan bakunya sama. Hanya saja ada sejumlah penyesuaian. Misalnya takaran kopi yang dibuat lebih sedikit.

“Di sini saya melihatnya orang kurang suka yang terlalu pekat ya kopinya. Jadi takarannya agak saya ubah dari yang di Binjai, selain itu sama semua,” kata Donny.

Selain itu juga ada banyak tambahan menu makanan yang mereka kreasikan. Makanan-makanan yang diracik dengan bumbu-bumbu khas Medan. Misalnya nasi goreng, soto, martabak telur kuah kari, dan beberapa menu lain yang diracik dengan nuansa bumbu khas Melayu.

Sepasang suami istri ini punya semangat untuk membuat warisan atuknya bisa dinikmati oleh lebih banyak kalangan. Hal yang menurut mereka kurang disadari oleh keluarga besarnya.

“Jadi keluarga ini bukan perusahaan yang punya ambisi menjadi besar, berangkatnya dari benar-benar ‘ya sudah jalani saja’. Akhirnya kedai pun ya dibiarkan saja, karena fokusnya di perkebunan,” ujar sang istri.

“Ketika ingin mengembangkan kedai kopi itu supaya lebih dikenal, kan ini penuh budaya dan sejarah, mereka menyadari itu tapi bagi mereka untuk apa. Karena secara materi nggak dicari lewat sini,” ujar sang suami menimpali.

Hingga kini, sebuah kedai yang menjadi cikal bakal kopi Haji Rawi masih berdiri di Binjai. Terus melanjutkan sejarahnya meski di bangunan dan pengelolaan yang sederhana. Ditopang bisnis lain sehingga racikan kopinya bisa bertahan melintang zaman.

Barangkali berkat kesederhanaan dan ambisi yang tak muluk-muluk itu, warisan turun temurun ini bisa bertahan hingga sekarang. Dirawat oleh generasi ketiga dan mungkin keturunan selanjutnya. Namun menurut Donny dan Kiki, kunci racikan kopi ini bisa awet dan bertahan ada dalam slogan yang terpampang di kantor usaha Haji Rawi di Binjai.

“Di kantor yang biasanya kami sebut posko, ada fotonya Atuk dan dengan tulisan ‘harus ada doa di setiap usaha, dan harus ada usaha di setiap doa’. Mereka berpesan yang paling susah itu ketulusan hati saat bekerja dan istiqamah,” ujar Donny, mengingat petuah dari keluarga istrinya di Sumatera.

Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Kisah Mbah Kuwot Selamat dari Romusha dan Buka Warung Kopi Legendaris di Trenggalek

Exit mobile version