Kelahiran Kedua Anak Bajang, Raksasa Buruk Rupa Pencari Kesempurnaan

Koleksi figural dan seni anak bajang di Ashram Anak Bajang. Foto Purnawan Setyo Adi

40 tahun setelah terbitnya Anak Bajang Menggiring Angin, Budayawan Sindhunata Kembali melahirkan cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan di Harian Kompas

Mahakarya Sindhunata yang bertajuk Anak Bajang Menggiring Angin pertama kali muncul 1 Februari 1981 dalam rupa cerita bersambung (cerbung). Cerbung ini hadir setiap hari minggu hingga 27 Desember 1981 di Harian Kompas. Kisahnya berbasis pada cerita pewayangan dalam siklus Ramayana.

Budayawan Romo Banar dalam testimoninya mengingat betul bahwa kemunculan cerbung karya Sindhunata saat itu amat dinantikan tiap minggunya. “kita harus sabar, karena munculnya seminggu sekali,” ujarnya saat sesi diskusi bersamaan dengan diselenggarakannya Festival Anak bajang di Oemah Petroek (27/9).

Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1983 cerbung karya Sindhunata terbit dalam sebuah buku yang berjudul Anak Bajang Menggiring Angin yang diterbitkan oleh Gramedia. Buku ini dilengkapi dengan ilustrasi gambar wayang karya seniman Hajar Satoto. Lalu, pada tahun 2019 anak bajang juga diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Herding The Wind.

Diskusi anak bajang. Foto Purnawan Setyo Adi.

Menandakan empat dekade lahirnya Anak bajang Menggiring Angin, Festival Anak Bajang kemudian dihelat. Terdapat beberapa rangkaian acara dalam festival ini diantaranya adalah peresmian museum, pembukaan pameran lukisan “Sukrosono” karya Budi Susilo Purwanto, peluncuran cerbung Anak Bajang Mengayun Bulan, pertunjukan tari dan bincang buku, dan pementasan wayang Sumantri Ngengger. Lalu siapa sebenarnya anak bajang yang hingga kini bukunya sudah dicetak berkali-kali. Dalam kisah pewayangan sosoknya seringkali digambarkan dengan raksasa yang buruk rupa.

“Bajang itu siapa? Bagi saya, saya tidak terikat pada kisahnya tapi lebih pada figur anak bajang ini yang memang dalam wayang pun tidak diterangkan dia itu siapa. Tetapi dalam bayangan saya dia adalah figur yang pada kenyataannya tidak sempurna merindukan kesempurnaan. Ini yang sebetulnya sangat menarik karena lebih baik kita tidak sempurna tetapi merindukan kesempurnaan dengan demikian kita bisa realistis terhadap hidup ini. Daripada kita merasa sempurna lalu seakan-akan semuanya sudah selesai.” ucap Sindhunata dalam video yang diputar jelang sesi diskusi dimulai.

“Kekayaan wayang ini menjadi luar biasa dan tidak hanya sekadar cerita seperti yang kita ketahui bahwa ada tokoh, perang, cinta, tapi betul-betul punya problem yang sangat manusiawi dan pergulatan manusia di dalam aspek-aspek transendentalnya. Jadi anak bajang itu lebih ke suatu figur,” pungkas pria kelahiran 12 Mei 1952 yang kerap disapa Romo Sindhu.

Lahirnya Anak bajang Mengayun Bulan

40 tahun setelah kelahiran karya Anak Bajang Menggiring Angin, Romo Sindhu Kembali melahirkan Anak Bajang Mengayun Bulan. Prosesnya hampir sama dengan sebelumnya. Cerita ini akan hadir dalam cerbung Harian Kompas. Namun, yang membedakan adalah cerbung ini akan hadir setiap hari selama 150 episode.

Edisi pertama cerbung ini terbit tanggal 27 September 2021. Terbitnya cerbung di tanggal itu juga bertepatan dengan hari lahirnya pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama.

“Anak bajang yang pertama itu dilukis oleh teman-teman agar sedikit didokumentasikan. Lalu pada saat itulah saya mulai menulis dan kelihatannya kok lancar, saya sendiri tidak tahu bagaimana kok bisa lancar, terjadilah naskah yang saya beri judul Anak Bajang Mengayun Bulan,” ungkap Romo Sindhu.

“Ini sebetulnya cerita yang lebih tua dari siklus Ramayana, saya ambil dari siklus Arjunasasrabahu, lebih pada perjalanan sepasang saudara dimana yang satu jelek dan yang satu lagi tampan, yang betul-betul penuh problem dan kalau dalam lakon itu disebut Sumantri Ngengger lakon Sukrosono Sumantri.”

Sindhunata bersama Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Wapimred Harian Kompas resmi meluncurkan cerita bersambung Anak Bajang Mengayun Bulan. Foto: Purnawan Setyo Adi

Wakil pemimpin redaksi Kompas Tri Agung Kristianto yang hadir saat peluncuran cerbung Anak Bajang Mengayun Bulan mengatakan bahwa karya sastra yang dituliskan 40 tahun yang lalu oleh Romo Sindhu—bahkan kalau mengacu pada masa munculnya cerita Ramayana yang lebih jauh lagi—ternyata masih relevan hingga saat ini. Hal itulah yang menjadi keyakinan Kompas mengambil keputusan untuk menerbitkannya.

“Kami putuskan menempatkan Anak bajang Mengayun Bulan ini sebagai cerbung di halaman satu. Dan ini cukup panjang karena 150 hari, kalau cerbung yang dulu setiap minggu, ini panjang dan bermakna sesuai dengan semangat para pendiri Kompas: humanisme transendental, kemanusiaan yang melayani, kemanusiaan yang mengabdi, maka ini ditempatkan di halaman satu selama 150 hari tidak berhenti sama sekali,” pungkas Tri Agung Kristianto.

Museum Anak Bajang

Dalam rangkaian Festival Anak Bajang, Museum Anak Bajang juga turut diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Ia menyatakan amat terkesan dengan tempat ini karena bayangan umum bahwa biasanya museum berada di gedung yang besar, dingin, tertutup, dan asing berubah jika melihat museum anak bajang yang sangat intim, personal, dan hangat.

“Saya kira (Museum Anak Bajang) merupakan akumulasi dari perjalanan dan pengalaman Romo Sindhu yang begitu panjang. Apa yang dipamerkan adalah buah dari persahabatan dan pergaulan Romo di dalam dunia kebudayaan. Dan saya kira menegaskan sekali lagi kontribusi Romo yang mengaku wartawan tidak mengaku budayawan tapi jauh lebih besar daripada banyak orang yang sekarang disebut budayawan,” ungkap Hilmar Farid.

Koleksi karya seni dan figur anak bajang di Ashram Anak Bajang. Foto Purnawan Setyo Adi

Museum Anak Bajang terletak di Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman. Museum yang terletak di Oemah Petroek ini terdiri dari 6 bangunan; kompleks Ashram Anak Bajang, kompleks Kapujanggan, kompleks Sanggar Pamujan, kompleks Panyarikan, kompleks Oemah Petroek, dan kompleks Sekolae Petroek.

Museum ini memiliki lebih dari 500 objek koleksi dan 1500 properti seni dan budaya berupa benda display di dalam dan luar ruang. Koleksi dan property adalah sumbangan dari sekitar 100 seniman di seluruh Indonesia.

Di kompleks ashram anak bajang terdapat figurasi dan figural tokoh anak bajang serta tokoh-tokoh lain yang tak terpisahkan dengan anak bajang. Figurasi merupakan karya para seniman. Di ashram anak bajang juga terdapat ruang Sindhu Sekul yang berisi koleksi Sindhunata berupa tulisan-tulisan tentang filsafat, seni, jurnalistik, dan sepakbola. Tulisan-tulisan tersebut direspon oleh para seniman, melalui ilustrasi dalam karya seni khususnya seni rupa.

Suasana di komplek Museum Anak Bajang. Foto Purnawan Setyo Adi.

“Luas tanah sekitar 2 hektar terdiri dari museum jurnalistik, perpustakaan, lalu ada tulisan-tulisan saya yang menyangkut seniman-seniman pinggiran, orang kecil,” kata Romo Sindhu kepada wartawan.

“(soal koleksi) kalau yang tercatat seperti yang ada dalam visi dan misi kita itu sekitar sampai dengan yang kecil-kecil itu 1500. Begitu banyak barang-barang dari masa lalu yang tentu saja patut dipelajari tapi lebih dari itu ini adalah living museum konsepnya, bukan hanya ke belakang tapi juga ke depan, karena seperti yang ada di Museum Basis itu pelajaran mengenai demokrasi dll. Itu bisa kita gali terus,” imbuhnya.

Museum Anak Bajang bagi Romo Sindhu dapat dikatakan sebagai buah dari perjalanan yang sangat panjang. Dalam ingatannya tidak ada bayangan bahwa akhirnya di Omah Petroek ini ada museum. Dulu ia mengingatnya masih rimba hingga terus berjalan pelan-pelan sesuai dengan kemampuan dan kebaikan banyak orang dan para seniman yang akhirnya mereka menyumbangkan karya patung, candi, dll, sampai menjadi tempat multikultural dan multiagama.

“Jadi jangan dilupakan sekali lagi ini bagian dari Omah Petroek tempat semua orang berkumpul dari kalangan apapun, tempat berkesenian dari latar belakang apapun, dan tempat menghidupi seni tradisi,” pungkas Romo Sindhu.

 

BACA JUGA Misteri Gudang Nomor 158 yang Jadi Pabrik Pil Koplo dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Exit mobile version