Karena Urusan Perut, Kang Sunar Ternak Bekicot

Kang Sunar memilih ternak bekicot untuk menghidupi keluarganya

Soal makanan ekstrim, Gunungkidul bukan hanya punya belalang atau walang goreng. Sebagian masyarakat disana juga akrab dengan makanan dari olahan daging bekicot. Berbeda dengan belalang, saat ini sudah ada masyarakat yang membudidayakan bekicot untuk  konsumsi.

***

Namanya, Sunarto (34), akrab dipanggil Kang Sunar. Tinggal di Dusun Brongkol, Purwodadi, Kecamatan Tepus, Kabupaten Gunungkidul.  Kang Sunar menjadi sosok yang belakangan ini jadi perhatian warga di Gunungkidul karena usaha uniknya, budidaya bekicot. Video cara budidaya bekicot sempat viral melalui aplikasi WhatsApp.

Hal ini karena, apa yang dilakukan Kang Sunar ora umum dilakukan masyarakat setempat. Kalaupun beternak, kebanyakan mereka memelihara kambing atau sapi jarang orang di Gunungkidul beternak bekicot. Mereka biasanya tinggal mencarinya di sawah.

Awalnya dari urusan perut

Bagi Kang Sunar, bekicot atau yang memiliki nama ilmiah Achatina fulica adalah penyelamat ekonomi keluarga di masa pandemi. Sebelum pandemi ia bekerja sebagai buruh kuli bangunan. Namun, Covid-19 membuatnya ketakutan. Ia khawatir jika sampai terpapar virus yang menyerang seluruh dunia itu.

“Kalau itu sederhana, cuma urusan perut,” katanya ketika saya tanya alasannya beternak bekicot. Ia bingung setelah menganggur apa yang bisa ia lakukan agar dapur keluarga tetap ngebul.

Bekicot menjadi pilihannya karena di lingkungannya, masyarakat biasa mengonsumsi bekicot untuk lauk sehari-hari. Mereka mencarinya di alas (kebun). “Masyarakat di sekitar banyak yang berminat mengkonsumsi bekicot. Namun, dari banyaknya masyarakat yang suka makan bekicot belum ada yang terpikir untuk budidaya bekicot,” kata Kang Sunar.

Salah satu pertimbangan Kang Sunar untuk beternak bekicot karena ia ingin agar penggemar makanan berbahan bekicot tidak kesulitan mencari saat musim kemarau. “Kehidupan bekicot itu tergantung dengan musim. Melimpah ketika musim penghujan dan sulit ditemui ketika kemarau. Budidaya bekicot inilah jalan keluarnya,” imbuhnya saat dijumpai penulis, Minggu 24 April 2021.

Menurut Kang Sunar, bekicot alias siput darat acap kali dianggap masyarakat sebagai hama tanaman. Hal tersebut seperti yang diyakini oleh masyarakat luas di Gunungkidul maupun masyarakat lainnya. Tak ayal bekicot memang kerap merusak tanaman.

Meski bekicot lebih akrab dianggap sebagai hama. Namun sebagian diantaranya mengonsumsi. Ada juga yang menjualnya  sebagai oleh-oleh seperti belalang goreng. Bedanya belalang goreng lebih populer daripada bekicot.

Bagi masyarakat dan petani di Gunungkidul yang tidak suka dengan bekicot, biasanya mereka hanya bersikap cuek ketika bertemu. Kecuali bekicot itu berada di sekitar tanaman. Sudah tentu bekicot itu akan berhadapan dengan nasib buruk. Kalau tidak dibunuh, ya dilempar secara random ke arah bebatuan.

Tetapi jika masyarakat dan petani itu menyukai bekicot. Mereka akan mengumpulkannya untuk dikonsumsi di rumah. Bahkan jika masyarakat sangat gemar memakan bekicot, mereka akan rela macari sampai ke lubang-lubang batu yang jadi tempat persembunyian bekicot.

Mengkonsumsi bekicot telah menjadi kebiasaan yang melekat pada kehidupan masyarakat di Gunungkidul. Terutama masyarakat yang berada dalam kawasan perbukitan, Kecamatan Tepus salah satu wilayahnya. Namun, masyarakat di sana lebih sering mengkonsumsi bekicot ketika sedang musim penghujan. Sebab ketika musim kemarau bekicot begitu sulit ditemukan.

Cuma butuh kandang sederhana

Saya diajak Kang Sunar menengok tempat di mana para bekicot itu dibudidayakan. Seperti arus kemacetan manusia, bekicot itu bergerombol, berjejer dan terlihat berdesakan. Kandang yang dijadikan tempat menampung bekicot itu memang tidak terlalu besar dan dibuat dengan ala kadarnya. Terdapat dua kandang yang menampung  bekicot.

Sesekali saya mencoba menghitung namun saya terlalu capek untuk menghitung seluruhnya. “Dalam satu kandang ini, sekitar ribuan bekicot jumlahnya, Mas, ” katanya sembari mengambil satu bekicot yang hampir melepaskan diri dari kandang.

Kandang bekicot tempat Kang Sunar memeliharanya. Foto oleh Nikma Al Kafi/Mojok.co
Kandang bekicot tempat Kang Sunar memeliharanya. Foto oleh Nikma Al Kafi/Mojok.co

Semangat Kang Sunar semakin bersemangat dalam menekuni budidaya bekicot ini. Apalagi beliau telah mendapat tanggapan positif dari masyarakat sekitar. Perangkat desa setempat pun sampai datang menyaksikan proses budidayanya.

Awalnya, bukan perkara mudah bagi Kang Sunar untuk budidaya bekicot. Saat mengawali usahanya, itu musim kemarau, ia harus berburu ke alam untuk mendapatkan indukan bekicot berkualitas. Selepas pukul 10 malam ia menyusuri licinnya bebatuan dan dinginnya malam untuk mencari indukan bekicot. Binatang ini memang aktif di malam hari.

“Perasaan takut ya ada. Tapi kalau nggak begini saya nggak bisa bayar sekolah anak dan beli keperluan dapur keluarga di rumah. Bahkan yang sering bikin merinding bukan hantu yang saya takuti, tapi beberapa gunjingan dari orang-orang yang mengatakan saya kurang kerjaan,” jelas Kang Sunar.

Indukan yang dipelihara tersebut kemudian berkembang biak. Masyarakat jadi tahu kalau ia membudidayakan bekicot. Pernah juga ada orang yang membeli bekicotnya 10 kg sekaligus.

Kemudian dari hasil transaksi yang diperoleh, ia mencoba memberikan informasi ke masyarakat sekitar bahwa dirinya juga menjadi pengepul bekicot. Dari sana kemudian banyak masyarakat yang menjual bekicot pada Kang Sunar. Sekarang bekicot yang dibudidaya olehnya jumlahnya sangat banyak.

Untuk merawat bekicot peliharaannya, Kang Sunar tidak terlalu repot karena untuk pakan sudah disediakan alam. “Biasanya saya kasih pakan dari  bayam, daun pepaya sekaligus buahnya. Pakan itu mudah saya dapatkan di pekarangan saya. Untuk perawatan yang terpenting cukup menjaga kelembaban kandang,” pungkasnya.

Kang Sunar mengatakan, bekicot siap dipanen setelah usia 5 bulan sejak dari telur. Namun, ia juga membeli bekicot yang dijual oleh masyarakat. “Biasanya bekicot itu didapat masyarakat di sawahnya. Jadi daripada dibuang, mending dijual ke saya,” kata Kang Sunar.

Harga jual  dan macam olahan bekicot 

 Mungkin banyak orang menganggap bekicot ini menjijikan dan terlihat ekstrim ketika memakannya. Tapi di Gunungkidul banyak peminatnya. Nyatanya dari data yang ada, bekicot ini jadi menu kuliner mahal di beberapa negara. Di Perancis menu kuliner berbahan bekicot yang disebut escargot punya tempat tersendiri bagi penikmatnya. Bekicot disukai selain karena citarasa yang enak juga karena kandungan gizi di dalamnya. Indonesia sendiri setiap tahunnya mengekspor bekicot ke pasar Eropa dan Amerika.

Kang Sunar terlihat sumringah saat menceritakan bagaimana pemasaran hasil bekicot peliharaannya. Pun beliau juga menyampaikan secara detil harga yang dibandrol ketika menjual hasil panen bekicot. Untuk bekicot yang utuh belum dicukil cangkangnya dijual seharga Rp. 2.500 per kg sedangkan untuk bekicot yang sudah dicukil dan dibersihkan dijual  Rp. 35.000 per kg.

Namun, Kang Sunar tak hanya menjual dalam bentuk mentahan. Dirinya juga menyediakan pesanan olahan bekicot seperti; rica-rica bekicot, tongseng bekicot dan sebagainya. Harga olahan matang tersebut dibandrol Rp. 20.000/Porsi.

Saya sendiri beberapa kali pernah mengonsumsi bekicot yang dimasak rica-rica. Secara tekstur, dagingnya menurut saya seperti rendang daging sapi. Berserat, ada yang kenyal dan lembut.

Setiap bulan ia menjual 25-30 kg daging bekicot. Menu olah bekicot biasanya ia jajakan di sekitaran pantai-panti di Gunungkidul. Ia senang, dengan ternak bekicot yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya, mampu memenuhi kebutuhan harian keluarganya.

Kang Sunar merasa yang ia capai belum seberapa, ia memiliki harapan besar namun sederhana dari ternak bekicot yang dijalaninya. Ia ingin menciptakan lapangan kerja di desa dengan beternak bekicot.

BACA JUGA 21 Tahun Terkurung di Rumah dan Tak Sekolah, Bu Nani Dirikan PAUD dan liputan menarik lainnya.

Exit mobile version