Tidak Ada Batman di Babarsari Gotham City

Babarsari, sebuah kawasan di Kabupaten Sleman, Yogyakarta disebut-sebut sebagai Gotham City, tempat superhero Batman tinggal. Sebutan ini merujuk seringnya terjadi kriminalitas di kawasan tersebut.

***

Sepasang kekasih sedang cekcok di pinggir jalan. Pukul dua pagi, di mana hanya ada bayangan gelap dari bangunan tinggi menjulang yang mengintai dari gedung-gedung megah di sekelilingnya. Dari balik gelap, tiba-tiba seorang pemuda langsung menudingkan pedang katana kepada dua sejoli tadi.

Si laki-laki lantas kabur lintang pukang meninggalkan sang kekasih. Si pembawa pedang, tanpa berpikir panjang langsung membawa motor. Tak lupa, kekasih laki-laki tadi dibawa, disekap, dan juga tiada diberi jeda sedikit pun dari ancaman senjata tajam di dalm indekosnya. Sampai pada akhirnya, polisi datang dan menangkap pemuda pembawa katana tadi.

Cuplikan kejadian di atas bukan sebuah spoiler dari film The Batman (2022) garapan Matt Reeves. Kejadian di atas terjadi di Babarsari, bukan di Gotham City. Cerita di atas merupakan kisah nyata yang dialami oleh Yosep (36) warga Tegalrejo, Kota Yogya.

Kejadian tersebut terjadi pada 30 November 2012 silam. Motor Yamaha Vixion dan juga sang kekasih, menjadi objek kekerasan jalanan yang dilakukan oleh Viktor (23), salah satu mahasiswa asal NTT. Viktor dan rekannya, Kris (25) adalah penggerak kerusuhan yang sering terjadi di Babarsari, Depok, Sleman.

Setelah penangkapan Viktor dan temannya, nyatanya Babarsari masih jauh dari kata aman. Bahkan, muncul sebuah guyonan, bahwa Babarsari itu sebelas dua belas dengan Gotham City, kota fiktif tempat lahirnya Batman yang dikenal sebagai kota penuh kekacauan, korup, dan juga kekerasan jalanan.

ruas jalan babarsari gotham city
Salah satu ruas Jalan Babarsari di sore hari. (Agung P/Mojok.co)

Viktor bukanlah Joker dan Kris bukan juga The Riddler. Babarsari juga bukan tempat yang korup. Penuh gemerlap ketika malam? Ya, jelas, pusat perekonomian di Sleman ini berputar pesat layaknya Gotham. Namun, perputaran ekonomi di Babarsari pol mentok hanyalah pusat hiburan malam, tempat kos mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus kawasan tersebut. Bukan seperti di Gotham City yang berpangku tangan kepada mafia untuk peredaran narkoba.

Lantas mengapa Babarsari disebut miniatur Gotham City? Adakah Batman dan Robin di sana? Mojok.co mencoba menggali informasi dari mereka yang pernah mengalami, sudut pandang ahli, dan juga mencoba menelusuri Babarsari di malam hari.

Distrik dunia malam bernama Babarsari

Saya menghubungi Rara* (32) salah satu terapis di sebuah salon di bilangan Babarsari. Ketika saya kirim pesan mau ngobrol, ia langsung berkata, “Mas Adit udah kangen aku?” Saya hanya mbatin, “Yungalaaah!”

Jika Anda pergi ke Seturan – Babarsari, gemerlap kota Jogja nampak tidak malu-malu seperti bilangan Malioboro yang sering dapat bantuan dari Dana Istimewa. Di sini, gemerlap begitu heboh dengan berbagai tempat yang menyajikan berbagai macam kebutuhan. Seiring meningkatnya populasi manusia, jelas bertaut dengan meningkatnya kebutuhan. Tak lain pula kebutuhan esek-esek. Rara salah satu pendatang yang paham akan hal ini.

Ia datang untuk tidak menjadi pecundang. Ia datang menantang Babarsari untuk perang. Walau dalam sudut pandang apapun, baik norma maupun agama, pelayanan khusus yang dilakukan oleh Rara dlam memberikan jasa pijat adalah salah. Pilihan Rara, merupakan salah satu jalan terjal yang ia pilih untuk bertahan hidup.

“Kalau tidak begini, tidak makan,” kata Rara. Mungkin sebagian dari Anda berpikir, apa yang dikatakan Rara adalah klasik. Kata-kata penuh dengan cuci tangan seperti para penjaja kenikmatan mulai dari pelacur-pelacur di Reeperbahn, Jerman, sampai Calle Pedro Clisante di Dominika Republik.

Sejak memulai memberikan jasanya di Babarsari, Rara mulai sadar satu hal; manusia selalu menggunakan topeng. Rara berkata, ia banyak melayani orang-orang masyhur di kota Jogja. Ketika saya tanya siapa saja, ia bungkam. Katanya, saya pasti tahu orang itu.

Lantas pertanyaan dari saya berputar, mengapa mereka memilih Babarsari? Jawabannya cukup masuk akal. Katanya, orang yang pergi ke Babarsari untuk cari senang, ia tidak akan punya rasa peduli kepada orang lain. “Sama-sama cari enak, jadi kalau lihat orang lain yang datang ya udah (tidak mempedulikan siapa dan mau apa karena tujuan mereka sudah jelas; cari nikmat),” kata Rara.

Salah satu komplek pertokoan di Babarsari jelang malam hari. (Agung P/Mojok.co)

Anda tak tahu tempat-tempat penuh kenikmatan di Babarsari? Rara punya pendapat bagus tentang itu. Katanya begini, apa yang Anda lihat, belum tentu itu hal yang sebenarnya. Anda melihat took-toko yang menjual perlengkapan pada umumnya? Bisa saja di dalamnya ada kenikmatan yang terselubung. Pendar gemerlap Babarsari tidak hanya berkutat kepada rasa nikmat, melainkan juga rasa takut.

Desember tahun lalu (23/12/2021), seorang remaja ditusuk di Tambakbayan, Babarsari pada pukul empat pagi. Setelah ditusuk, pelaku langsung meninggalkan korban yang tergeletak di jalan. Entah apa motifnya, namun kejahatan seperti ini acapkali dilakukan juga oleh preman-preman kacangan yang sering bercokol di sudut-sudut sepi Gotham City.

Kejahatan kecil yang bertaut dengan aksi mafia, membuat Gotham City ketika malam seperti ladang bermain bagi penjahat-penjahat keji. Saya pun iseng berselancar di mesin pencarian Google. Kata kuncinya “Kekerasan di Babarsari”, hasilnya cukup membuat waktu saya tersita selama dua jam untuk membaca beberapa kejadian yang mirip seperti apa yang terjadi di Gotham City ketika malam; perampokan, penusukkan, pencurian, dan lainnya.

Di Facebook Info Cegatan Jogja misalnya, pada 12 Januari 2022, ada postingan dari Dika Mandala yang menuliskan kehilangan Motor Beat Hitam di area parkir Ruko Raflesia Babarsari sekitar pukul 20.00. Sebulan sebelumnya, terjadi pencurian tabung gas di Alfamart Babarsari. 

Di Twitter lebih banyak lagi, ada curhatan korban-korban yang pernah mengalami klitih di Babarsari, hingga laporan langsung di lokasi peristiwa.

Tidak sedikit media massa yang menyoroti peristiwa kriminal yang terjadi di Babarsari. Misalnya, pada Desember 2021, ada peristiwa penusukan terhadap warga Papua di sekitar Kantor Batan, Jalan Babarsari.

Masih di tahun 2021, juga terjadi bentrok antara ormas dan Laskar Islam. Di tahun 2020 juga terjadi geger geden di Babarsari saat ribuan driver ojol datang ke tempat tersebut setelah beberapa rekannya dibacok oleh debt collector. Geger geden lainnya terjadi pada September 2018 ketika sekelompok warga Papua turun ke jalan karena rekannya dibacok. Pada bulan yang sama terjadi tawuran antara mahasiswa asal Papua dan Ambon. Di tahun 2017, di sebuah kedai kopi di Babarsari, terjadi keributan antara mahasiswa dan tiga orang dari kepolisian yang menyebabkan satu orang mahasiswa meninggal dunia. Dan banyak peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di Babarsari.

Kejadian malang menimpa Teddy* (25) ketika harus membelah Babarsari ketika malam dengan motor bututnya. Ia pernah berurusan dengan beberapa mahasiswa luar Jogja yang malam itu sedang nongkrong di salah satu burjonan. Malam itu Teddy pulang kerja, motor Supra tua peninggalan bapaknya bermasalah dan membuat ia harus memeriksa.

Beberapa orang mahasiswa itu mendekati Teddy. Ada yang merangkul Teddy, ada pula yang memegang motornya. Selang beberapa saat, salah satu mahasiswa itu berkata, “Uang rokok, Mas!” sontak hal tersebut membuat Teddy ketakutan dan harus mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah dan bergambar Sukarno – Hatta.

“Aku baru gajian. Uangnya mau buat bapak nambah-nambah usaha lele,” kata Teddy. Sejak saat itu, Babarsari adalah momok bagi Teddy. Ia lebih memilih melewati Ring Road walau lebih jauh. Padahal, jika mengakses berita, kekerasan jalanan juga acapkali terjadi di Ring Road Utara. 

Baca Juga: Tak Ada Ruang Gratis untuk Anak Muda, Klitih di Jogja Makin Menggila

Saya penasaran, sebenarnya Gotham City itu khusus untuk bilangan Babarsari saja atau malah cocok untuk Yogyakarta secara keseluruhan? Entah lah.

Kenapa Babarsari sering terjadi kriminalitas?

Di balik kesibukkannya mengajar, sosiolog kriminalitas, Drs. Soeprapto mencoba menjawab pertanyaan mengapa Babarsari sering terjadi tindak kekerasan—terutama kekerasan jalanan. Dalam hal ini, Soeprapto mengindikasi adanya keterkaitan antara mahasiswa rantau, tingkat penguasaan emosi, dan dunia gemerlap di Babarsari.

“Sebenarnya banyak faktor,” itu yang dikatakan oleh dosen Departemen Sosilogi Fisipol UGM yang sudah mengabdi hampir 40 tahun itu. Soeprapto memulai dengan alasan pertama, yakni banyaknya perguruan tinggi di daerah Babarsari. Kedua, banyaknya indekos yang menerima mahasiswa dari berbagai daerah dan suku bangsa. Ketiga, banyaknya penjaja makanan dan minuman yang buka sampai larut malam dan bahkan sampai pagi.

Dosen yang sudah resmi purna tugas ini mengatakan bahwa yang salah bukan keberadaan perguruan tinggi, namun keberadaan perguruan tinggi tersebut telah mengundang kehadiran para mahasiswa dari berbagai penjuru dengan beraneka ragam budaya, nilai-nilai sosial, dan norma sosial. Dari keragaman budaya, nilai-nilai sosial, dan norma sosial, menurut Soeprapto menuntut kemampuan adaptasi semua pihak.

Jika segala lapisan masyarakat memiliki empat hal kedewasaan emosional atau EQ, maka konflik tidak akan terjadi. Empat hal itu, menurut Soeprapto adalah (1) mampu menahan diri sendiri, (2) mampu mengendalikan diri sendiri, (3) mampu memahami orang lain, dan (4) mampu mengendalikan orang lain. Jika beberapa pihak hanya berada pada EQ level 1, maka konflik akan bermuara kepada kekerasan.

Soeprapto berbicara banyak hal tentang tempat hiburan malam yang tersebar di Babarsari. Tempat-tempat itu, menurut Soeprapto, berpotensi memberikan kesempatan bagi mereka yang gagal beradaptasi. Juga mereka yang gagal mengendalikan emosi dengan pihak lain.

Kawasan Selokan Mataram di Babarsari. (Agung Purwandono/Mojok.co)

Di Babarsari tentu saja tak ada Batman. Tak ada pula superhero yang siap menyelamatkan siapapun yang sedang mengalami petaka di kerasnya jalan Babarsari. Pun Soeprapto menyarankan jangan hanya memberikan tugas pengendalian dan pengawasan kekerasan ini kepada polisi. “Karena jumlah mereka terbatas,” kata Soeprapto.

Jelas seorang ahli kriminalitas dari Fisipol UGM ini juga tidak menyarankan agar ada warga yang menyerupai tokoh superhero seperti Batman di Babarsari ‘Gotham City’ untuk menyelamatkan orang-orang. Soeprapto menyarankan agar permasalahan horizontal ini ditangani secara sistemik. “Harus melibatkan unsur masyarakat,” katanya.

Soeprapto kembali menjelaskan bahwa masyarakat memang tidak berwenang menghakimi dan menghukum, namun setidaknya siap menjadi pengendali, pelapor, dan pemberi kesaksian, serta pengumpul barang bukti. Dalam film, Batman memang superhero. Namun, acapkali Batman melakukan hal sistemik seperti apa yang dikatakan oleh Soeprapto. Batman, ketika menangkap maling kelas teri, ia selalu mengirim penjahat itu kepada James Gordon—polisi baik di Gotham City—alih-alih main hakim sendiri.

Kami menjelajahi Babarsari ketika malam

Saya dan seorang kawan mencoba menaiki sepeda motor dan berjalan kaki di sekitaran bilangan Babarsari. Kami memulai ketika hari berganti. Tentu saja, kami tidak berharap adanya kejadian yang kurang menyenangkan. Hanya saja, kami berharap mendapatkan pengalaman yang menyenangkan. Walau tidak mungkin bersua dengan Poison Ivy, kami berharap ada sesuatu yang mirip seperti apa yang sering terjadi di Gotham City. Uang hasil rampok yang berhamburan di jalan, misalnya.

Jika diruntut lebih jauh, penggunaan guyonan Babarsari Gotham City ini bermula pada tahun 2014. Ketika itu, penggunaan official account di Line sedang digandrungi anak muda. Lantas ada akun bernama Netizen Budiman yang sering menggambarkan kota Jogja dari sudut yang tidak biasa.

Postingan Netizen Budiman acapkali menggelitik, namun seringnya melempar nada satir. Seperti Bunderan UGM yang merupakan episentrum tawuran antar SMA, sampai almamater Rohis SMA 1 Yogyakarta yang merupakan kartu sakti agar tidak diklitih. 

Baca Juga: Sisi Lain dari Klitih Anak Sekolah di Yogyakarta

Salah satu dari ribuan guyonan ala admin yang sering disapa Si Mbud yang membekas tentu saja Babarsari Gotham City.

Ketika menaiki motor bersama kawan, ia berkata pada saya bahwa guyonan itu pernah dibaca di Kaskus. Sekitar tahun masa kejayaan media sosial tersebut. Ketika saya cek ulang, forum di Kaskus yang paling lama membahas tentang Babarsari Gotham City adalah pada tahun 2017.

Setelah puas berkendara dengan motor, lantas kami berjalan kaki pada pukul dua pagi (4/3). Hanya ada mas-mas yang sedang bermain ponsel di sebuah burjonan. Beberapa tempat hiburan sudah muram dan tutup. Sisanya adalah lalu-lalang mobil yang beriringan dengan sepi.

Kawan saya berkali-kali mengatakan, kalau mau mati jangan ajak-ajak. Saya tertawa. Bahkan, tawa saya lebih keras dari lolongan sirine mobil ambulans yang terdengar begitu jauh—mungkin ambulans itu sedang melintas di Jalan Janti. Berjalan kaki di Babarsari ketika malam itu sama menyeramkannya seperti Arkham Asylum di Kota Gotham.

Sejauh mata memandang, hanya ada kota yang lampunya padam. Seperti apa yang dituliskan Kedaulatan Rakyat pada tahun 2014, Babarsari adalah kota di dalam kota. Namun pada 2022 ini, Babarsari lebih kota dari pada kota itu sendiri. Babarsari lebih mengkilap dan menggiurkan ketimbang kota itu sendiri.

Ketika memutuskan untuk pulang karena dingin kian menusuk, kawan saya berkata sesuatu yang lucu. Katanya, “Di sini (Babarsari ‘Gotham City’) cen ra ono Batman, tapi penjahat jalanan di sini level bajingan e bisa melebihi level bajingan e Joker.”

Reporter: Gusti Aditya

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA  Pengakuan Istri Polisi dan Pencopet Tobat tentang Bos Copet Terminal  dan liputan  menarik lainnya di Jogja Bawah Tanah.

Exit mobile version