Jadi Tempat Curhat Itu Berat: Kisah Relawan yang Kerjanya Mendengarkan

Jadi tempat curhat itu nggak mudah. Meski hanya mendengarkan cerita orang lain, bisa-bisa apa yang diceritakan akan menguras emosi pendengar. Itu juga mungkin yang menjadi alasan banyaknya jasa curhat yang muncul, baik yang berbayar maupun gratis. 

***

Suatu hari seorang teman curhat tentang kisah percintaannya yang ruwet. Tentunya, masalahnya itu-itu saja. Intinya, teman saya ingin pacarnya berubah sesuai dengan keinginannya. Pertengkaran sudah jadi menu sehari-hari dari kisah percintaan teman saya. 

Sebagai seorang teman yang tidak jago-jago amat soal percintaan, saya memberi nasihat simpel. Waktu itu, saya bilang, “Ya sudah, pilihanmu cuma dua, terima dia apa adanya atau tinggalkan.” 

Ternyata, nasihat dan solusi itu cuma dianggap angin lalu. Dia tidak mau putus, tapi tetap memaksakan keinginan-keinginannya ke sang pacar. Besoknya, curhatan dia seperti bianglala. Muter-muter di situ saja sampai bikin saya pusing. 

Nanggepin orang curhat emang susah. Meskipun begitu, ternyata ada banyak orang yang punya passion untuk jadi tempat curhat. Mereka bekerja di balik platform-platform yang menawarkan jasa curhat gratis.  

Perjuangan membersihkan sampah emosi negatif

Usai menyelesaikan pekerjaannya sebagai Social Media Specialist, Andita Ayu (27) memulai jadwal shift relawan curhat. Sejak tahun 2018, Andita resmi bergabung jadi relawan di platform tmpat curhat BagiKata. Platform yang didirikan sejak 2016 sudah memiliki ribuan user 

Pertama-tama, dia melakukan login ke portal platform curhat BagiKata. Andita memiliki dashboard tersendiri sebagai handler-sebutan untuk relawan curhat di platform yang kini memiliki ribuan user itu.

Tak lama kemudian, chat permintaan curhat mulai membanjiri dashboard-nya. Andita langsung membalasnya satu persatu. “Aku mulai kalimat pembuka seperti ‘halo, Salsa. Aku Andita. Silahkan mau cerita apa hari ini?’ terus lanjut ngobrol,” kata Andita yang saat dihubungi via WhatsApp, awal Maret 2022 berada di Jakarta.

Kotak masuk di dashboard relawan milik Andita ibarat tempat sampah emosi negatif. Masalah pengguna platform tempat curhat ternyata cukup beragam. Mulai dari permasalahan pekerjaan, kehidupan sehari-hari hingga permasalahan trauma berat. Misalnya, permasalahan keluarga yang menahun seperti penyakit kanker. 

Sebagai relawan curhat, Andita butuh kondisi mental yang jernih untuk membersihkan tempat sampah itu. Namun, Andita tetap manusia biasa. Terkadang, beban pekerjaannya sebagai Social Media Specialist bikin kondisi mentalnya berantakan. Di saat seperti itu, profesionalitasnya sebagai relawan diuji. 

“Aku harus bisa ngukur diriku sendiri. Kalau ternyata aku capek, tapi ceritanya gak terlalu berat, aku usahain tetep balesin chatnya. Tapi kalau berat, aku segera oper ke handler [relawan] yang lain. Soalnya, nanti jadi nggak maksimal nanggepin curhatan user. Lalu user merasa nggak nyaman,” kata Andita.

Menurut Andita, rekan-rekan relawan Andita di platform tempat curhat itu sudah paham, pekerjaan mereka itu menguras tenaga. Jadi, mereka harus siap sedia membantu relawan lain yang mulai tumbang diterpa emosi negatif. 

Andita pernah tidak menyadari kondisi emosinya yang tidak stabil. Lalu saat menanggapi curhatan user, dia malah terbawa arus emosi negatif. Sebab cerita para user jadi terasa terlalu menyedihkan. Terkadang, ada juga cerita user yang membuatnya ikut merasa ingin marah-marah. 

“Beberapa hari aku cuma bisa tiduran doang, nggak semangat ngelakuin apa-apa. Lalu aku minta libur aja. Terus besoknya pas udah mulai baikan baru bisa nanggepin curhatan lagi. Nggak cuma di platform, kalau ada temen curhat aku memutuskan buat menyadari kondisiku dulu. Me first,” kata Andita. 

Jadi tempat curhat, itu bukan hal mudah
Mendengarkan curhat seseorang bukan hal mudah. (Foto ilustrasi Salsabilla Annisa/Mojok.co)

Sejak kejadian itu, Andita selalu mengoper curhatan ke relawan lain jika dirinya mulai tidak stabil. Sebab ternyata kondisi mental diri sendiri sangat dibutuhkan untuk membuat dirinya dan user merasa nyaman saat berinteraksi. 

Andita punya rekan relawan yang turut membantunya menanggapi curhatan. Namanya Anita. Usianya baru 23 tahun. Saya mencoba ngobrol dengan Anita di sela-sela kegiatan kuliahnya sebagai mahasiswi Jurusan Kimia di Bekasi. 

Cerita Anita tak jauh berbeda dengan Andita. Dia juga selalu mengusahakan kondisi mentalnya baik saat menanggapi curhatan user. Ketika dirinya lelah, Anita mencoba menenangkan diri. Namun, jika ternyata curhatan user terlalu berat, Anita langsung membuat laporan ke PIC.

“Pernah beberapa kali ikut kebawa emosi baik itu senang, sedih, takut atau marah. Aku berusaha meredakannya dengan berkata ‘its not yours. Yuk fokus ke orang yang cerita’. Tapi kalau ternyata curhatannya berat atau sensitif, aku bilang ke PIC kalau aku nggak bisa handle curhatan itu,” kata Anita. 

Platform curhat gratis jadi pelarian orang dengan masalah berat

Kini sudah hampir empat tahun Andita menjadi relawan curhat di BagiKata. Selama kurun waktu itu, Andita kerap menemui kasus yang menurutnya berat. Misalnya, kasus pelecehan seksual, trauma hingga berujung depresi, dan percobaan bunuh diri. 

Selama melayani curhatan user, Andita menemukan alasan di balik kasus berat yang menjamur di kotak masuk dashboard relawannya. “Nggak semua orang mau terbuka cerita soal masalah rumitnya ke orang terdekat. Jadi kebanyakan memendam masalah. Dengan adanya platform curhat gratis, mereka merasa jadi lebih bebas menceritakan masalah tabu, berat, rumit dan gawat,” kata Andita. 

Jenis curhatan yang masuk dalam kategori berat itu sudah diantisipasi oleh BagiKata. Sebelum resmi jadi relawan, Andita dan Anita harus melakukan pelatihan dari psikolog. Dalam pelatihan itu, mereka juga mempelajari Standard Operating Procedure (SOP) alur pelayanan curhat. Mulai dari opening saat menyapa user hingga closing saat berpamitan dan menutup sesi chat. 

SOP curhatan biasa berbeda dengan SOP curhatan krisis. Jika ada curhatan krisis seperti percobaan bunuh diri, relawan wajib dioper ke relawan tim krisis yang sudah dapat pelatihan khusus.  

“Lalu tim krisis ini lebih hati-hati, ada SOP tersendiri sebelum melanjutkan setiap obrolan. Kadang ada yang cuma minta didengarkan, kadang ada yang butuh solusi. Kalau sudah gitu harus dioper ke psikolog,” kata Andita.  

Setelah menjalani training SOP, Andita dan Anita sama-sama sepakat bahwa menangani orang curhat itu tidak boleh asal-asalan. Sebab di balik cerita yang terlihat remeh pun, ada latar belakang yang lebih rumit. Misalnya, mungkin saja user sudah meminta pertolongan ke teman-temannya tetapi tidak ditanggapi dengan baik. Platform curhat gratis jadi harapan terakhir untuk mencari kenyamanan dan pelepas beban emosional.  

Jika relawan kurang tepat dalam menanggapi curhatan, bisa-bisa malah memperburuk kondisi mental user. Jadi sudah jelas, menanggapi curhatan user dengan kalimat “kakak yang sabar dan semangat ya” merupakan sebuah pantangan. 

Jangan sekadar bikin, platform curhat harus didampingi psikolog

Di sisi lain, banyak platform curhat berbayar yang bertebaran di Twitter dan Instagram. Mayoritas platform memiliki ratusan hingga ribuan pengikut. User yang ingin membooking jasa tempat curhat biasanya menghubungi pemilik platform melalui WhatsApp atau Direct Message. Setelah itu, mereka dijadwalkan curhat. 

Usai curhat, pengguna platform membayar jasa curhat sesuai paket durasi yang dipilih. Range jasa curhat beragam. Umumnya berkisar antara Rp15.000 hingga Rp25.000 per jam. Jenis curhatan yang masuk ke platform berbayar ini tak jauh berbeda dengan yang diterima relawan tempat curhat di platform gratis. Mereka juga menangani user yang curhat tentang trauma seputar pekerjaan dan kehidupan percintaan.  

Sayangnya, cukup banyak pemilik platform tempat curhat berbayar yang menangani curhatan seorang diri. Atau jika dikerjakan dengan tim, mereka belum melibatkan psikolog. Mereka juga belum menyiapkan SOP untuk curhatan berat seperti depresi atau trauma. 

Photo by Dmitry Schemelev on Unsplash

Saya jadi bertanya-tanya, apakah fenomena itu tidak berbahaya jika dibiarkan? Oleh karena itu, saya mewawancarai Amalia Tuasikal, seorang psikolog di Radian Mind & Body Development Center. Lia mengomentari fenomena tersebut dari sudut pandang profesi psikolog.  

Menurut Lia, menjamurnya platform tempat curhat adalah fenomena yang tak terhindarkan di tengah pandemi. Saat pandemi, banyak orang mengalami masalah pekerjaan, keuangan, hingga masalah sehari-hari. Jadi, kebutuhan konseling pun meningkat. Sayangnya, kebutuhan konseling yang membludak tidak diimbangi dengan ketersediaan psikolog dan pskiater.  

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (2018), di seluruh Indonesia hanya tersedia 600 hingga 800 psikiater. Artinya, satu psikiater bisa melayani 300.000 hingga 400.000 pasien. Sedangkan berdasarkan informasi dari Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPK), jumlah psikolog klinis yang berkecimpung langsung ke bidang kesehatan dan rumah sakit hanya 1.143 orang per 5 Mei 2019. 

“Banyak orang dan psikolog baru melihat permasalahan itu sebagai peluang untuk meningkatkan mutu dan ketersediaan konseling. Salah satu caranya dengan membuat platform konsultasi online,” kata Lia.  

Menurut Lia, siapa pun bisa menjadi relawan tempat curhat di platform tempat curhat atau konsultasi online. Asalkan sudah mendapat pelatihan dari psikolog. Sebab, ada aspek fisik dan mental yang harus dipersiapkan sebelum menangani orang curhat. Tujuannya untuk meminimalisir risiko dari sisi relawan dan klien.  

“Relawan harus siap fisik dan mental untuk bisa memaksimalkan empati saat mendengarkan klien atau user. Bahkan saat mengoper ke psikolog pun, tidak bisa tiba-tiba agar klien tidak merasa diabaikan. Nah, saat ada empati, relawan jadinya lebih siap, klien jadi merasa terbantu. Jadi usaha dan tenaga relawan tidak terbuang juga,” kata Lia.  

Selain itu, relawan juga butuh kesiapan mental untuk mengatur batasan dan kapasitas diri. Tujuannya agar relawan tak terseret savior complex, yaitu kecenderungan untuk ingin menolong orang secara berlebihan. Seakan-akan permasalahan orang adalah tanggungjawab mereka sepenuhnya. Padahal, ada curhatan yang memang menjadi kapasitas psikolog.  

“Jadi kalau melihat banyak platform curhat dan ingin jadi relawan curhat, jangan sekadar ikut-ikutan. Memang harus siap fisik dan mental. Relawan juga harus memahami batasan curhatan yang masih bisa ditangani sendiri atau harus disarankan ke psikolog,” kata Lia.  

Menurut Lia, baik dari pemilik platform curhat perlu bekerjasama dengan psikolog untuk menentukan batasan curhat yang mereka tangani. Bagi anak-anak muda yang ingin jadi relawan, Lia menyarankan untuk lebih aktif bertanya soal batasan curhat yang ditangani oleh platform curhat. 

Belajar tentang kehidupan

Mendengar cerita Andita dan Anita, saya jadi bertanya-tanya: kok mereka mau ya jadi relawan curhat? Padahal mereka juga kadang terkena dampak emosional yang tidak main-main. Setelah mewawancarai psikolog, menurut saya, mereka juga perpanjangan tangan psikolog yang tidak dibayar.  

Menanggapi pertanyaan saya di atas, menurut Anita, mendengarkan curhat itu meski kadang melelahkan tapi menyenangkan. “Bukannya senang atas penderitaan dari cerita orang lain. Tapi lebih ke aku bisa banyak belajar dari kisah orang lain tanpa aku harus ngalamin apa yang lagi dia alamin,” kata Anita.  

Anita teringat sebuah cerita yang membuatnya sangat tertampar saat nge-shift. Seorang remaja membanjiri kotak masuknya dengan cerita permasalahan keluarga. Orang tua si remaja bertengkar hebat. Setiap orang tuanya bertengkar, si remaja kerap dijadikan samsak pelampiasan emosi. Puncaknya adalah saat ibunya melontarkan kalimat: ‘kalau kamu enggak ada, mungkin mama akan lebih bahagia’ 

Cerita itu cukup membuat Anita merasa tertampar. Dia tidak menyangka ada orang dengan permasalahan yang begitu pedih. Namun, melalui permasalahan tersebut, Anita bisa memahami permasalahan dari dua sisi.  

Anita memahami sebagai seorang ibu, mungkin si ibu tidak memahami cara meluapkan emosi dengan tepat. Apalagi dalam kondisi dihimpit konflik dengan pasangan. Hal itu pun juga disadari oleh si remaja. Oleh karena itu, dia masih bisa menghormati dan menyayangi ibunya sebagai orang tuanya.  

“Itu yang bikin aku salut sih. Dia tetep sayang ibunya meskipun sudah mengalami segala hal pahit itu. Menurutku, hebat sih orang itu,” kata Anita.  

Andita punya alasan yang berbeda untuk terus menjadi relawan tempat curhat. Menurutnya setiap melayani user, dia merasa hidupnya punya dampak positif. Apalagi setelah user yang mengaku tidak punya teman berkata “makasih ya kak, sudah mau mendengarkan, lega banget rasanya”

Reporter: Salsabila Annisa Azmi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Kim Hin Kiong: Klenteng Tertua di Jawa Timur dengan Racikan Obat Dewanya dan liputan menarik lainnya di Susul.

 

Exit mobile version