Selain dikenal karena larangan tidur menggunakan kasur, Dusun Kasuran, Kapanewon Seyegan Kabupaten Sleman, Yogyakarta memiliki beberapa kisah menarik. Salah satunya, saat Perang Jawa, tempat ini jadi markas Pangeran Diponegoro. Lalu, saat peristiwa ’65, terjadi perpindahan kepercayaan sebagian warganya ke agama Hindu.
***
Secara administrasi, Kasuran terbagi menjadi 2 yaitu Kasuran Kulon dan Wetan. Tanda batas paling mudah adalah pohon beringin di perempatan Seyegan. Kasuran Kulon terletak di barat perempatan, sementara Kasuran Wetan ada di timur. Jika masuk ke Dusun Kasuran kulon misalnya, akan ada sebuah pura di tengah dusun tersebut. Benar-benar di tengah dusun, di antara kebon warga. Sekilas, tempat ini biasa. Apa istimewanya sebuah rumah ibadah di tengah dusun?
Namun, tempat ini ternyata menyimpan cerita sejarah tentang Dusun Kasuran. Tidak seterkenal larangan kasur memang, tidak pula selawas pertempuran pasukan Perang Jawa, tapi cerita ini berhubungan dengan salah satu babad penting negeri ini.
Dusun lima agama
Di depan sebuah rumah limasan besar saya berhenti. Seorang wanita paruh baya menyambut. Namanya Wartilah (60), kepala dusun di Kasuran Kulon, Margodadi, Seyegan, Sleman. Ketika saya menyampaikan tujuan kedatangan, ia tampak sumringah. Selanjutnya, ia membanggakan dusunnya sebagai sebuah tempat penuh toleransi dan kerukunan. Ia juga berkisah soal banyaknya penelitian tentang dusun ini, mulai dari wartawan hingga skripsi mahasiswa.
“Di sini ada 5 agama, Mas. Semuanya akur, tidak pernah ada masalah apapun. Orang-orang luar sampai pada heran,” tutur sang kadus. Islam menjadi agama mayoritas, lalu ada pula pemeluk Budha walaupun hanya satu keluarga, tidak lupa Kristen Protestan dan Kristen Katolik.
Di antara keberagaman itu, pemeluk Hindu menjadi salah satu bagian di antaranya dengan mencapai 80-an orang. Sementara total penduduk Kasuran Kulon mencapai 890 jiwa. Keberadaan para pemeluk Hindu di dusun ini dibuktikan dengan keberadaan pura bernama Pura Sri Gading.
“Sudah lama itu, setahu saya sejak sekitar tahun 1985,” sahut Wartilah saat saya bertanya soal asal muasal pura tersebut. Ia mengungkapkan, karena penganut Hindu cukup banyak, ada kalanya mereka mengadakan acara-acara tertentu dengan cukup meriah dan ia senang-senang saja. “Dulu sering bikin acara seperti kirab dengan boneka raksasa (ogoh-ogoh) juga,” lanjutnya. Sepengetahuannya, warga beragama lain juga merasa biasa dengan hal-hal semacam itu.
Berkaitan dengan perhatian pemerintah setempat mengenai keberadaan pemeluk Hindu di dusunnya, Wartilah berujar bahwa mereka mendapatkan perhatian sama seperti pemeluk agama lain. Sama sekali tidak ada perbedaan apapun. Mereka, kata Wartilah, juga punya struktur pengurus sebagaimana tempat ibadah lainnya.
Iseng saya bertanya soal Dusun Kasuran sebagai lokasi pertempuran pasukan Diponegoro di masa silam dan Wartilah membenarkannya. Menurut cerita turun temurun yang diterima Wartilah, Kasuran Kulon digunakan sebagai tempat tinggal Diponegoro dan keluarganya, sementara para prajurit berada di Kasuran Wetan.
“Nah di dekat pura itu dulu ada goa, katanya tempat persembunyian Diponegoro. Nanti silakan tanya ke pemangku adat pura kalau mau tahu lebih lanjut,” terangnya.
Kejawen dan peristiwa ‘65
Dari kediaman Wartilah, saya menuju ke barat. Bangunan Pura Sri Gading tampak mencolok dengan ornamen ala batu buatan dan bercat hitam di tengah kebun warga. Di sebelah selatan pura, terdapat jalan kecil dengan aneka tanaman bunga yang membuatnya tampak indah. Sekilas, ada sebuah bekas bangunan rumah di samping jalan tersebut. Di samping reruntuhan rumah itulah tinggal Sunarno (75), pemangku adat Pura Sri Gading.
Di ruang tamu rumahnya, terdapat beberapa papan informasi soal tata cara ibadah. Ia mengaku hanya tinggal bersama sang istri. Saya membuka percakapan soal pura di samping kediamannya. Namun, Sunarno cenderung tampak menghindar. Ia malah menanyai balik soal aneka hal lain. Beberapa menit berselang saya mengulang pertanyaan dan pria itu terdiam cukup lama.
Sunarno membuka kisah tatkala ia masih remaja. Dulu, katanya, masalah agama bukanlah hal penting bagi masyarakat sekitarnya. Urusan sendiri-sendiri, mau menjalankan boleh, tidak juga boleh, demikian ia menyebutnya. Kala itu, banyak orang di sekitarnya menjadi pemeluk kejawen, termasuk ia dan kedua orang tuanya.
“Sampean tahu apa itu abangan?” tanyanya. Saya mengangguk. “ Nah, ya kami dulu begitu. Tidak seperti sekarang. Dulu itu santai pokoknya. Yang sering ke masjid ya hanya mbah kaum (rois) saja,” ia melanjutkan.
Semua itu berubah saat tahun 1965 terjadi peristiwa G30S. Daerah Kasuran memang tidak mengalami kejadian berdarah akibat geger itu, tapi belakangan pemerintah mengeluarkan anjuran agar warga memeluk agama-agama resmi. Maka, Sunarno dan para tetangga juga harus memilih dan mereka memilih Hindu. Terkait alasannya, Sunarno secara tidak langsung mengatakan soal kemiripan tata cara beribadah antara kepercayaan barunya dengan yang lama. Namun, kata Sunarno, itu semua kembali ke pilihan.
Masalah perpindahan agama memang menjadi sebuah sisi lain dari tragedi berdarah tersebut. Salah satunya terangkum dalam buku Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa karya Singgih Nugroho. Menurut Robert Cribb dalam catatannya di The Indonesian Killings, Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, perpindahan agama adalah salah satu penyaluran trauma masyarakat atas kejadian di tahun-tahun itu.
Masih menurut Cribb, perpindahan juga terjadi supaya warga tidak menganut ateisme yang dinilai dekat dengan komunisme. Hingga, menurut penelitiannya, orang-orang yang masuk agama Hindu di Jawa bertambah secara signifikan. Sementara hingga tahun keenam setelah peristiwa itu, diperkirakan 2,8 juta orang berpindah agama ke Kristen, baik Katolik ataupun Protestan.
Di antara data itu, Sunarno mungkin salah satunya.
Sebuah pilihan
Dimulai dari geger ‘65, aktivitas peribadatan umat Hindu, menurut sang pemangku adat, sudah ada sejak menjelang tahun 1970-an. Tempat kegiatan waktu itu menggunakan rumah milik kepala dusun Kasuran. Bekas rumah itulah yang ada di dekat rumah Sunarno kini. Di tahun 1981 bangunan pura Sri Gading resmi berdiri di lahan pemberian dari si kepala desa tadi.
Mantan kepala desa itu ternyata adalah orang tua Sunarno. Jika dihubungkan lebih ke belakang, keduanya adalah keturunan dari sosok bernama Ki Sura Yudha, salah satu anak buah Diponegoro yang disebut Sunarno sebagai cikal bakal Dusun Kasuran.
Kembali ke soal pilihan beragama, tidak ada hal berbeda bagi seorang Sunarno setelah perpindahan tadi. Satu hal ia rasakan paling berbeda adalah rutinitasnya beribadah. Ia mengenang, dulu ia bisa beribadah secara bebas dan hanya bersifat sesuai kebutuhan saja. Namun, sejak memilih masuk ke agama Hindu, ia harus beribadah secara rutin. Selain itu, bagi pria tersebut, semuanya sama saja. Sama-sama jalan menuju ke Tuhan, begitu ungkapnya.
Ia juga mengaku tidak ada paksaan dari kedua orang tuanya untuk masuk ke kepercayaannya sekarang. Sunarno memilih sendiri masuk ke Hindu karena ia sudah paham atas ajaran agama tersebut. Pilihan itu tidaklah tiba-tiba karena sebelumnya ia sudah sering mengikuti peribadatan Hindu di rumah orang tuanya tadi.
Maka, mulai dari pura dibangun hingga saat ini Sunarno dipercaya menjadi pemangku adat pura. Menyoal jumlah penganut Hindu di Kasuran pada masa lalu, Sunarno agak kesulitan menjawab. Secara perhitungan kasar, ia hanya mengatakan bahwa jumlahnya lebih banyak dibandingkan sekarang.
Di hari biasa, Pura Sri Gading digunakan penganut Hindu di Kasuran untuk sembahyang pribadi 3X sehari. Selain warga lokal, pura juga didatangi oleh penganut Hindu dari berbagai kecamatan di Sleman Barat seperti dari Kapanewon Tempel dan Minggir. Keperluan mereka juga bermacam-macam. Misalnya tirta yatra, beribadah dari pura ke pura.
Suasana lebih ramai akan terjadi ketika perayaan hari besar Hindu seperti pada Galungan, Saraswati, atau odalan (peringatan ulang tahun pura) pada 15 Jiesta atau bulan kesebelas dalam penanggalan Hindu.
“Biasanya berdekatan dengan datangnya hari Waisak,” Sunarno memberikan gambaran.
Sampai dengan saat ini, Pura Sri Gading di Kasuran masih terus mengalami penyempurnaan secara fisik demi memfasilitasi keperluan para penganut Hindu di Kasuran dan sekitarnya. Tahun 2020 lalu misalnya, konstruksi atap baru saja dipugar besar-besaran bersamaan dengan pembuatan pagar. Sementara setahun belakangan, di bagian utara pura sedang dibangun gedung serba guna untuk masyarakat umum.
Untuk hari raya Nyepi, puncak perayaan akan diadakan di Candi Prambanan. Maka, sebagaimana budaya berlebaran bagi pemeluk Islam, saat itu para pemeluk Hindu di Kasuran akan berbondong-bondong bersama menuju Prambanan. Namun, sama seperti perayaan hari besar agama lain, kisah itu juga sementara agak terjeda pandemi.
Karena adanya penganut Hindu dan Pura Sri Gading, saya tadinya membayangkan bahwa Kasuran punya mekanisme sendiri di saat Nyepi. Tapi, semua itu ternyata salah. Bagi Sunarno dan umat Hindu di Kasuran lainnya, Nyepi akan tetap diadakan apapun yang terjadi, tidak peduli bagaimana lingkungan sekitarnya.
“Kalau tiba-tiba di samping situ ada nikahan dan ramai gimana, Pak?”
“Ya tidak apa-apa. Tidak masalah.” Ia tetap tenang menjawab.
“Tidak merasa berisik?”
“Lho kan Nyepi itu antara kita dan Tuhan. Orang lain mau ada acara ataupun keramaian, ya silakan, tidak masalah,” ia masih tetap menjawab dengan tenang.
Saya hanya bisa tertegun dengan jawaban pria itu. Saya kemudian diajak berkeliling di tempat sekitar pura, melihat sebuah batu yang dipercaya sebagai tempat bertapa Diponegoro di tepi sungai, dan bekas goa alam yang sudah tertutup longsor. Sesaat berlalu, kami berpisah. Sunarno kembali masuk ke dalam rumah dan pelan tertelan lorong bunga-bunga di lorong menuju rumahnya.
Penulis : Syaeful Cahyadi
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Ali Sadikin dan Catatan Utang Mahasiswa yang Makan Indomie Pakai Nasi
liputan menarik lainnya di Susul.