Suara Hati Petani di Gunungkidul karena Monyet yang Marah Kena JJLS

Pengurangan lahan karst makin mengancam satwa.

Ilustrasi Suara Hati Petani di Gunungkidul Karena Monyet yang Marah Kena JJLS. (Efa Fansuri/Mojok.co)

Kawanan monyet ekor panjang yang menyerang lahan pertanian di Gunungkidul sudah terjadi sejak lama. Namun, serangan itu kian sering sejak pembangunan JJLS dan sektor pariwisata sangat masif di kawasan pantai yang selama ini jadi habitat mereka.

***

Orang-orangan sawah berdiri sempoyongan menjaga tanaman kacang yang usianya belum genap sebulan. Ada yang bertugas di tengah-tengah ladang, ada pula yang menari-nari tertiup angin di atas ranting-ranting pohon. Dari jarak pandang 15 meter, memedi ladang itu tampak seperti layang-layang yang biasa diterbangkan bocah-bocah di kampung halaman.

Sayangnya, ini bukan bagian dari instalasi di ruang pameran atau festival layang-layang, tetapi para penjaga ladang warga di Kalurahan Karangasem, Kapanewon Paliyan, Kabupaten Gunungkidul. Momonon ini “ditugaskan” para petani untuk mengawasi tanaman dari gangguan monyet ekor panjang (MEP), yang sering berkeliaran dan memakan hasil pertanian.

Pujiman, seorang petani di Kalurahan Karangasem, mengaku sudah sejak pagi menunggu ladangnya dari ancaman monyet. Pria berusia 60 tahun itu, nyaris setiap hari, dari pagi sampai petang, duduk di atas kayu yang beliau ikat di antara pohon-pohon di pinggir ladang. Meski sudah memasang banyak orang-orangan sawah, menurutnya, hal ini nggak menyurutkan niat monyet ekor panjang untuk masuk ke lahan pertanian, sehingga ia harus tetap berjaga.

“Kedatangan kawanan monyet nggak bisa diprediksi, Mas. Bisa pagi, siang, atau petang. Jadi ya, harus ditunggu. Misal nggak ada yang jaga, ya, bisa habis dalam sekejap tanaman ini,” tutur Pak Pujiman sembari mengawasi tanaman kacang tanah di ladang miliknya, Jumat (13/01/2023).

Pujiman menunggu lahan pertaniannya dari serangan Monyet Ekor Panjang
Pak Pujiman menunggu lahan pertaniannya dari serangan Monyet Ekor Panjang. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

Sebagai seorang petani, tidak banyak yang Pak Pujiman lakukan, selain memasang jaring-jaring dan menunggunya di ladang. Beliau juga mengungkapkan bahwa banyak para petani di desanya yang mengalami kerugian besar akibat serangan monyet. ”Ini untung lho, Mas, saya masih bisa panen jagung tahun ini. Soalnya ndak sedikit petani gagal panen gara-gara sebagian dimakan monyet,” terangnya.

Biaya lebih banyak karena serangan monyet

Pak Pujiman mengungkapkan bahwa beberapa tahun terakhir ini, MEP semakin berani masuk ke permukiman dan lahan pertanian. Biasanya, primata bernama ilmiah macaca fascicularis ini akan datang bergerombol 15 sampai 50 ekor, lalu dengan cepat melahap hasil pertanian, seperti jagung, kacang, dan biji-bijian lainnya.

Kedatangan monyet ekor panjang tentu cukup merepotkan bagi para petani. Selain rugi waktu dan tenaga, Pak Pujiman juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menanggulangi serangan monyet. Jaring-jaring di pinggir ladang pun dipasang supaya primata ini tidak bisa masuk ke dalam dan merusak tanaman.

“Saya kan punya beberapa ladang, Mas, nah itu tak kasih jaring-jaring semua. Segulung jaring-jaring nggak murah lho, Mas, saya habis jutaan cuma buat mageri tanaman biar monyet nggak menyerang,” tuturnya.

Meski tidak sedikit orang yang mengusir monyet dengan cara menembaknya, tetapi beliau jarang melakukan hal itu. Kesadaran bahwa monyet juga butuh makan inilah, yang membuat Pak Pujiman lebih memilih menunggu, memasang orang-orang sawah, dan menghalaunya dengan jaring-jaring.

Pak Pujiman sadar betul masuknya kawanan monyet ke lahan pemukiman dan pertanian, bukan tanpa alasan. Kurangnya pohon-pohon di hutan yang menghasilkan buah-buahan atau biji-bijian, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan monyet-monyet terpaksa harus mencari makan di luar habitatnya.

Dulu, dinas terkait beberapa kali pernah melakukan penanaman buah-buahan, seperti mangga, rambutan, dan lainnya. Namun, hal ini dirasa gagal atau susah tumbuh karena pohon berbuah kalah sama jenis pohon untuk konservasi, yang tidak menghasilkan buah-buahan atau biji-bijian.

Monyet yang terusir karena habitatnya terganggu pariwisata

Selain itu, Pak Pujiman juga tidak menampik bahwa banyaknya monyet yang berkeliaran di lahan pertanian ini karena adanya proyek pembukaan Kawasan Bentang Alam Karst untuk pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan (JJLS) dan pariwisata. Banyak kawanan monyet yang akhirnya “terusir” dari habitanya akibat pembangunan jalan dan pembukaan lahan wisata.

“Setau saya tipe monyet ekor panjang kan begitu, kalau habitatnya dikunjungi banyak orang, dia akan lari. Contohnya di area Panggang dan Saptosari itu, sejak pariwisata melonjak, banyak kawanan monyet lari ke utara sini (Kec. Paliyan). Risikonya, ya, masuk ke permukiman dan pertanian,” terang Pak Pujiman.

“Dulu kan MEP hidup di tebing-tebing pinggir pantai itu, Mas. Nah, sekarang di pinggir-pinggir pantai sudah banyak bangunan dan sering dikunjungi banyak orang. Jadi, akhirnya MEP masuk ke area permukiman warga,” imbuhnya.

Monyet ekor panjang yang berwarna cokelat disertai rambut keputih-putihan di bagian muka ini merupakan primata non-human, yang tersebar di berbagai tipe habitat. Primata ini biasanya hidup secara bergerombol dan suka berinteraksi dengan individu lain dalam kelompoknya.

Pembukaan lahan wisata di Pantai Gesing untuk pelabuhan pendaratan ikan dan tempat wisata yang mengganggu habitat monyet ekor panjang. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.co)

Secara umum, kawanan primata ini hidup di wilayah dekat garis pantai, sepanjang sungai, dan hutan dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Keberadaan monyet ekor panjang tentu sangat penting bagi kehidupan umat manusia karena di habitatnya mereka bisa menjalankan peran ekologis, yakni penyebaran biji-bijian.

Di Gunungkidul sendiri, penyebaran monyet ekor panjang cukup banyak, terutama di wilayah di dekat kawasan bukit karst dan dekat pantai. Adapun wilayah yang paling sering disatroni primata ini, yakni Kapanewon Girisubo, Saptosari, Panggang, dan Paliyan.

Baca halaman selanjutnya….

Dampak pembangunan JJLS 

Dampak pembangunan JJLS 

Selain kurangnya ketersediaan makanan di hutan, kawanan monyet ini sering masuk ke lahan pertanian milik warga akibat kehilangan habitat. Maraknya peledakan bukit-bukit karst untuk pembangunan JJLS dan kepentingan pariwisata di Gunungkidul, diduga menjadi salah satu pemicu tergusurnya monyet ekor panjang.

JJLS sendiri merupakan program nasional yang melewati lima provinsi yang ada di Pulau Jawa tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di DIY, proyek pelebaran jalan ini melalui tiga kabupaten, yakni Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunungkidul. Nantinya, JJLS di Gunungkidul memiliki panjang sekitar 80 kilometer, yang ditargetkan selesai pada 2024.

Saat ini, pembangunan JJLS di Gunungkidul masih berlangsung, salah satunya ruas jalan yang menghubungkan Kapanewon Girisubo dengan Kapanewon Tepus. Banyak pihak yang menilai bahwa proyek pengerjaan jalan yang menghabiskan anggaran ratusan miliar itu, memberi dampak bagi kehidupan monyet ekor panjang di Gunungkidul.

Pengurangan kawasan karst membuat monyet marah

Saat ditemui Mojok, Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul, Agus Nurcahyo (57), membenarkan bahwa pengurangan kawasan karst menjadi salah satu penyebab monyet ekor panjang sering berkeliaran di pemukiman dan lahan pertanian. Menurutnya, ada beberapa pohon berbuah di hutan yang mulai berkurang lantaran pembukaan lahan. Hal ini yang kemudian menyababkan monyet “marah” dan akhirnya mencari makan di lahan pertanian milik warga.

“Ya, memang ada beberapa aduan dari warga terkait MEP yang sering masuk ke pemukiman dan lahan pertanian. Tidak sedikit warga yang mengaku kewalahan mengatasi monyet ekor panjang ini. Maka dari itu, Kamis lalu, kami melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait di Kantor Gubernur DIY,” tutur Agus Nurcahyo di Kantor Dinas Lingkungan Hidup Gunungkidul, Selasa (24/01/2023).

“Kemudian dari hasil pembahasan mengenai rencana konservasi satwa lokal yang dilaksanakan di Paniradya, Kepatihan, tersebut, menyimpulkan bahwa memang pembangunan JJLS menjadi salah satu faktor penyebab MEP masuk ke pemukiman dan lahan pertanian milik warga. Hal ini mengakibatkan kawanan monyet kehilangan habitat dan kesulitan mencari makan,” imbuhnya.

Kawasan karst habitat MEP. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.Co)

Konflik monyet dan manusia sudah lama terjadi di Gunungkidul

Agus Nurcahyo mengaku bahwa selama ini belum ada regulasi resmi yang dikeluarkan DLH Gunungkidul, yang mengatur permasalahan monyet ekor panjang. Hal ini terjadi lantaran belum ada pemetaan atau pengkajian penyebaran MEP di Gunungkidul. Namun, dalam waktu dekat, DLH akan segara melakukan upaya penanganan MEP yang sering masuk ke lahan pertanian tersebut.

“Saat ini, kami tengah fokus melakukan koordinasi sama pihak DLHK DIY, BKSDA, dan BAPPEDA DIY untuk menyelesaikan masalah MEP di Gunungkidul. Tahun ini berencana juga ingin mendata populasi MEP, penyebaran MEP, dan wilayah terdampak. Kalau sudah melakukan pendataan, kami akan segera menentukan langkah-langkah konkret terkait konflik MEP dan warga,” paparnya.

Setelah melakukan pendataan, Agus Nurcahyo menuturkan bahwa nantinya pihak DLH Gunungkidul akan melakukan beberapa langkah penanganan MEP. Mulai dari menyediakan barrier alami termasuk bibit-bibit tanaman di dalamnya, melakukan pengebirian terhadap MEP, melakukan penanaman pohon yang menjadi sumber makan MEP, serta penentuan kawasan penyangga dan pengelolaan habitat MEP.

Konflik antara monyet ekor panjang dan manusia sebenarnya sudah berlangsung lama di Gunungkidul. Namun, tidak bisa dimungkiri, bahwa 10 tahun terakhir ini kondisinya semakin memprihatinkan. Bahkan, tidak sedikit warga yang menembak kawanan monyet tersebut agar tidak mengganggu dan merusak tanaman.

Terancam punah tapi belum ada regulasi resmi yang atur monyet ekor panjang

Maraknya peledakan bukit-bukit karst untuk pembangunan JJLS dan pariwisata di sepanjang pantai selatan, turut andil memperparah situasi konflik ini. Tidak sedikit akhirnya lahan pertanian yang dulu tidak tersentuh kawanan monyet ekor panjang, kini ikut terdampak.

Meski keberadaan monyet ekor panjang masih sering dijumpai, tetapi jenis satwa satu ini sudah masuk daftar merah dan terancam punah. Pada Maret 2022 lalu, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), menyatakan bahwa populasi monyet ekor panjang diprediksi akan terus menurun hingga 40 persen. Kurangnya regulasi yang tepat mengenai perlindungan monyet ekor panjang menjadi ancaman nyata bagi kepunahan primata ini.

Lahan milik petani yang diserang monyet ekor panjang. Dulu meski ada konflik tidak separah sekarang. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.Co)

Menanggapi hal ini, pihak DLH Gunungkidul masih berpedoman pada aturan yang berlaku. Sebab, di Indonesia, sampai saat ini spesies MEP belum masuk kategori hewan yang dilindungi. Sehingga hanya fokus pada upaya penanganan agar MEP tidak mengganggu aktivitas sehari-hari warga terdampak.

“Ya, kan, saat ini, memang monyet ekor panjang belum termasuk satwa yang dilindungi. Jadi, kami cuma fokus melakukan upaya penanganan saja. Ya, salah satunya, rencana bikin kawasan penyangga dan pengelolaan habitat MEP itu,” terang Agus Nurcahyo.

Belum adanya regulasi peraturan UU yang sah mengenai perlindungan terhadap MEP tersebut, tentu menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan satwa ini. Tidak sedikit orang yang akhirnya menembak dan memperjualbelikan MEP di media sosial.

Saat saya membuka YouTube, masih banyak konten perdagangan MEP yang dilakukan dengan bebas. Bahkan, beberapa di antaranya terdapat unsur penyiksaan, seperti rambut di-bleach, gigi dicabut pakai tang, dan pembunuhan terhadap induk untuk merenggut anak-anaknya agar bisa sampai ke kandang penjual.

Maraknya perdagangan serta unsur penyiksaan terhadap monyet ekor panjang ini, tentu cukup memprihatinkan. Bukan hanya merusak ekosistem satwa, tetapi juga bisa mengganggu kesehatan manusia. Ya, jenis monyet ini berpotensi menularkan beberapa penyakit, seperti penyakit hepatitis, TBC, dan rabies ke manusia.

Pengurangan kawasan karst, ancaman nyata satwa di Gunungkidul

Warga Gunungkidul yang hidup di kawasan karst Gunung Sewu, sejak dulu sudah berdampingan aneka jenis satwa, tak terkecuali monyet ekor panjang. Sebelum marak pembanguan JJLS dan pariwisata, kawanan satwa ini hidup “berkecukupan” di dalam hutan. Namun, sejak sektor wisata di Gunungkidul kian melejit, kawanan monyet ini kehilangan habitat dan harus mencari makan di pemukiman dan lahan pertanian warga.

Menurut penuturan Pak Pujiman, yang sudah hidup puluhan tahun di Bumi Handayani ini, baru tahun-tahun belakangan merasakan betul kegelisahannya terhadap MEP. “Dulu sih ada monyet, tapi ya ndak sampai masuk ke lahan pertanian seperti sekarang, Mas. Akhirnya, para petani harus ngeluarin modal lebih secara mandiri untuk menanggulangi,” ujar petani di kalurahan Karangasem itu.

Beliau sadar betul bahwa kondisi tanah kelahirannya belakangan mulai berubah. Banyaknya pembangunan di sektor wisata, yang memangkas bukit-bukit karst, cukup berpengaruh terhadap situasi pertanian di desanya. Monyet yang terbiasa hidup di hutan kawasan karst, kini tergusur dan masuk ke lahan pertanian.

Sementara itu, ancaman terhadap MEP semakin nyata, ketika Pemkab Gunungkidul pada November 202 lalu, memiliki wacana untuk mengurangi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Luas KBAK yang semula 75.835,45 hektar ini, akan dikurangi menjadi 37.018, 06 hektar atau 51,19 persen.

Banyak pihak yang menilai bahwa wacana pengurangan kawasan karst tersebut akan mengancam ekosistem di Gunungkidul. Tidak hanya merusak instalasi sumber air bawah tanah, tetapi juga mengancam aneka satwa di Gunungkidul, seperti monyet ekor panjang dan jutaan kelelawar yang hidup di Bumi Handayani.

Perlu solusi konkret

Lahan yang dimasuki MEP. (Jevi Adhi Nugraha/Mojok.Co

Maka dari itu, sudah seharusnya semua pihak, terutama para pemangku kebijakan, bertanggung jawab dengan kondisi alam yang saat ini terjadi di Gunungkidul. Tidak hanya sibuk memangkas bukit-bukit karst saja, tetapi harus mampu menawarkan solusi yang konkret untuk mengatasi masalah ini. Sebab, kondisi ini tidak hanya berdampak buruk pada satwa, tetapi juga kelangsungan hidup manusia.

Bagi petani seperti Pak Pujiman, tidak banyak yang bisa diperbuat selain terus menanam agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Sebab, beliau sadar betul bahwa kondisi yang saat ini tengah terjadi bukan kesalahan monyet ekor panjang, melainkan ulah manusia itu sendiri.

“Sama seperti saya, mereka (MEP) kan juga butuh makan. Jadi, ya, biarkan nanti diurus pemerintah mau gimana. Yang jelas, sebagai petani, ya, saya cuma bisa menanam dan menunggu tanaman di ladang seperti ini biar bisa panen,” pungkasnya mengakhiri percakapan sore itu.

Reporter: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Pariwisata Untuk Kesejahteraan Rakyat Gunungkidul? Kenapa Bukan Pertaniannya Dulu Sih? Dan reportase menarik lainnya di rubrik Liputan. 

 

Exit mobile version