Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah solusi bagi yang ingin memiliki rumah, tapi tak memiliki uang kes yang cukup untuk membelinya. Namun, mengakses KPR tidak semudah itu, apalagi bagi kelas pekerja di Jogja. Siasat harus disiapkan demi hunian untuk mendapatkan hunian impian.
***
Kedua tangan Gumi (35) mengusap rambut gondrongnya dari depan ke belakang sambil menerawang ke atas. Raut wajahnya terlihat lelah. Secangkir kopi yang baru ia buat seakan jadi penawar segala keresahan yang sedang ia rasakan.
“Kalau ngomongin KPR, memang bikin pusing,” ujarnya sambil tersenyum getir.
Bulan Oktober ini, tiga tahun masa bunga fixed KPR-nya usai. Alhasil, ke depan, angsuran yang ia bayarkan kemungkinan bertambah. Menyesuaikan tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ditambah empat persen bunga tambahan dari bank.
Ia mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di sebuah bank swasta dengan tenoro 15 tahun terhitung sejak Oktober 2019 silam. Tiga tahun pertama, bunga kreditnya stabil di angka 5,95 persen. Kemudian dua belas tahun sisanya bunga mengambang atau lebih dikenal dengan istilah floating dengan skema yang sudah dijelaskan tadi.
Lelaki ini membeli sebuah rumah tipe 43 di salah satu perumahan yang terletak di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Rumah itu dibeli seharga Rp600 juta di tahun 2019. Meski menurutnya tergolong mahal, ia mantap memilih rumah itu karena sejumlah alasan. Mulai dari fasad bangunan yang baginya ideal hingga lingkungan yang cocok untuk membesarkan dua buah hati yang ia miliki.
“Tapi memang, rumah mana yang murah di Jogja,” kelakarnya.
Tiga tahun belakangan, ia perlu mengangsur kurang lebih Rp4 juta setiap bulan. Setelah Oktober 2022 ini, tentu akan meningkat lagi. Beban itu ditanggung Gumi setiap bulan lantaran sang istri beraktivitas sebagai ibu rumah tangga.
Sore itu, saya berbincang dengan lelaki ini di pelataran kantornya. Gumi merupakan pekerja di sebuah pusat studi di salah satu universitas di Jogja. Ia tidak mendapatkan gaji tetap tiap bulan. Pendapatannya diperoleh berdasarkan proyek yang ia kerjakan. Namun ia mengaku rata-rata mengantongi Rp7-8 juta setiap bulannya.
Perencanaan punya rumah sendiri di Jogja
Sebelumnya, sejak menikah di tahun 2016, Gumi tinggal di tempat mertuanya. Semuanya berjalan normal. Tidak ada konflik yang membuatnya terpaksa pindah. Namun, Gumi merasa bahwa ia perlu untuk punya rumah sendiri.
“Aku berpikir bahwa tinggal bersama keluarga besar itu tidak sehat buat mentalku. Nggak ada masalah apa-apa dengan mereka. Tapi pengin aja punya rumah sendiri, lebih leluasa dan mandiri,” ujarnya.
Ketika akhirnya memutuskan untuk membeli rumah pun, Gumi dan istrinya tak mengabari orang tua masing-masing. Mereka mencoba melakukan segala prosesnya sendiri.
Di tahun 2019, Gumi sudah merasa mantap ingin membeli rumah dengan pembiayaan KPR dari bank. Sudah ada tabungan yang menurutnya bisa untuk bayar uang muka. Hingga akhirnya ia mencoba mendatangi sebuah pameran properti di salah satu mal.
Di pameran itu, ia mulai melirik beberapa unit rumah. Salah satunya yang kini akhirnya ia beli. Baginya, harga rumah yang ia inginkan itu masih terlalu tinggi. Sehingga ia pun sempat survei ke sejumlah tempat lain.
Ada yang harganya relatif lebih murah tapi kondisi lingkungannya tidak cocok dan terlalu jauh dengan fasilitas umum. Banyak yang menarik, tapi harga terlampau tinggi. Memilih rumah untuk ditinggali seumur hidup memang buka perkara yang mudah.
Ada juga di sebuah daerah, ia menemukan banyak properti dengan harga yang menurutnya relatif terjangkau ketimbang tempat lain, tetapi ia urungkan mencari rumah di daerah itu. Ada trauma tersendiri tentang suatu wilayah.
“Ini nggak usah disebut lokasinya, nanti jadi nggak laku hahaha. Ada pokoknya daerah di Bantul, tidak terlalu jauh dari Ring Road Selatan. Tapi dulu saat saya jadi relawan gempa 2006, daerah itu bener-bener parah karena dilewati patahan,” ujarnya.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, ia pun mantap memilih rumah di Bangunjiwo itu. Rumah dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi itu dirasa cocok untuk hidupnya hingga hari tua nanti.
Baik Gumi maupun sang istri sama-sama orang Jogja. Gumi bekerja di Jogja sedangkan sang istri ibu rumah tangga. Sehingga untuk hunian, bagi mereka di Jogja lah pilihannya. Meski dengan harga properti yang begitu mahal. Jogja untuk urusan properti, termasuk yang memiliki tingkat kenaikan harga tertinggi di Indonesia.
“KPR itu jalan satu-satunya yang rasional kalau pekerja Jogja mau punya rumah sendiri di Jogja. Tapi perlu diperhatikan lagi gajinya,” terangnya.
Rumah di Jogja tidak masuk akal buat pekerja Jogja
Setya (30) sempat terpikir untuk punya rumah di Jogja. Lelaki ini berasal dari Wonogiri tapi sudah lebih dari sepuluh tahun ia tinggal di daerah ini. Sejak kuliah hingga sekarang bekerja di sebuah media.
Namun, keinginan itu sejak lama ia urungkan. Khususnya setelah melihat realita pekerja di Jogja. Harga tanah di Jogja yang baginya di luar jangkauan pekerja biasa membuatnya menyerah.
“Meski dengan gajiku yang sudah di atas UMR jogja ini, nggak bakal kecandak beli rumah di Jogja. Jadi pada akhirnya aku mikir kalau beli rumah di Jogja itu bukan opsi rasional,” terangnya.
Ia juga sudah mengesampingkan opsi mengontrak rumah untuk hunian keluarga jangka panjang. Buatnya, punya rumah sendiri harus diperjuangkan sebisa mungkin.
“Ketika aku ngontak rumah, maksimal kan mungkin 5 tahun lalu pindah. Hal itu bikin rumah nggak punya kenangan untuk anak. Nggak punya akar, identitas, buat orang mungkin nggak penting, tapi buat aku penting,” tegasnya.
Sebagai pegawai tetap, Setya mengaku gajinya sekarang di angka Rp3,5 juta perbulan. Sudah di atas ambang minimum pendapatan pekerja Jogja. Namun, masih terlampau jauh dari cukup untuk membeli hunian di sini.
Setiap sore, Setya tak pernah lepas dari ponselnya. Ia hampir pasti melakukan video call untuk menuntaskan rindu kepada istri dan anaknya yang masih berusia sepuluh bulan.
Ya, Setya akhirnya berani beli rumah melalui skema KPK. Tapi ia membelinya di Wonogiri. Biasanya ia pulang ke sana sepekan sekali. Mengendarai motor sejauh sekitar 80 kilometer.
Rumah tipe 48 itu ia beli November 2021 lalu seharga Rp190 juta. Belum termasuk biaya administrasi penunjangnya. Baginya, itu merupakan penawaran yang sangat menguntungkan.
“Kalau bisa dapat tipe 48 di Jogja harga segitu itu sujud syukur kamu,” ujarnya, ngegas.
Ia melakukan pembiayaan KPR lewat sebuah bank BUMN dengan tenor 15 tahun. Plafon pinjaman yang diberikan bank sebesar Rp150 juta setelah Setya menyetorkan uang muka sebanyak Rp40 juta.
Program KPR yang ia dapatkan punya bunga fixed sebesar delapan persen selama sepuluh tahun lalu floating di masa sisa pinjaman. Angsuran yang ia bayarkan setiap bulan selama sepuluh tahun ini sejumlah Rp1.510.000.
Bagaimana dengan biaya tinggal di Jogja? Beruntungnya, ada kamar kosong di kantor yang bisa ditinggali Setya sehari-hari. Meski begitu, menurutnya kalau harus mengangsur cicilan rumah ditambah menyewa kamar kos pun, masih jauh lebih terjangkau ketimbang KPR di Jogja.
“Aku pernah ngekos juga saat awal-awal KPR. Per bulan Rp600 ribu, menurutku itu masih masuk-masuk aja daripada KPR di Jogja,” terangnya.
Setya berandai-andai, jika ia KPR di Jogja, meski pendapatannya digabung dengan sang istri tetap saja tidak memadai. Menurut estimasinya, rata-rata kredit rumah di Jogja itu angsuran Rp3,5 juta hingga Rp4 juta perbulan.
“Andai kata di Jogja KPR-nya, gajiku dan istri kalau digabung katakanlah tujuh juta. Kredit rumah di jogja angsuran rata-rata katakanlah 3,5 juta. Tenor 15-20 tahun. Sisa 3,5 juta untuk hidup dua orang dan satu anak di Jogja tidak memungkinkan,” paparnya.
Siasat pekerja Jogja agar bisa KPR
Di balik keberhasilan Gumi maupun Setya mengajukan kredit rumah ke bank, ada sejumlah strategi yang mereka lakukan. Sebab tanpa strategi dan siasat itu, barangkali keinginan punya rumah itu hanya sekadar impian.
Proses paling awal dari KPR adalah mencari rumah yang hendak dibeli. Setya bercerita menyarankan bagi mereka yang hendak membeli rumah jangan tergiur dengan iklan yang menawarkan uang muka murah.
Menurutnya, uang muka murah bisa berimplikasi pada biaya pengurusan administrasi yang dibuat mahal. Maka dari itu, ia menyarankan agar mereka yang hendak beli rumah setidaknya mencari tahu seluk beluk dunia properti.
“Kadang begini, iklan rumah yang DP 10 juta. Tapi nanti fee-nya pengurusan berbagai hal lainnya dibuat mahal,” ujarnya.
“Kamu kalau nggak tahu pengembang propertinya, paling nggak kamu paham atau punya kenalan yang berkecimpung di dunia properti supaya bisa konsultasi juga,” sambungnya.
Selain itu, jika perumahan yang jadi tujuan sudah ada yang meninggali, Setya menyarankan agar calon pembeli juga berkomunikasi dengan mereka. Setidaknya untuk mengetahui proses yang sudah mereka lalui sebelum akhirnya tinggal di rumah tersebut.
Hal-hal tersebut juga penting untuk mengetahui biaya apa saja yang perlu dipersiapkan selain angsuran dan uang muka. Setya sendiri mengaku perlu mengeluarkan biaya Rp18 juta untuk berbagai keperluan pajak dan jasa notaris. Nominal ini berbeda-beda menyesuaikan wilayah dan juga tipe rumah dan tanahnya.
Setelah menemukan rumah yang dirasa tepat, selanjutnya menuju bank yang menyediakan program pembiayaan KPR. Biasanya pihak pengembang sudah bekerja sama dengan bank tertentu. Namun, tetap memberikan keleluasaan bagi calon pembeli untuk memilih bank sendiri.
Setya mengaku kalau gaji bulanannya masih tergolong layak bagi bank untuk melakukan kredit rumah di Wonogiri. Jika di Jogja, pasti lain ceritanya. Saat itu ia juga mengajukan KPR dengan penghasilan pribadinya, tanpa melibatkan istri dengan sistem joint income. Lantaran istrinya saat itu sedang hamil dan tidak bekerja.
Meski sudah mendapat kepercayaan dari bank, proses administrasi panjang tetap harus dilewati. KPR adalah program jangka panjang sehingga proses verifikasinya cukup lengkap.
“Proses yang ribet itu rekening gaji dan surat kerja karyawan tetap. Soalnya walaupun aku dah ngasih, bank harus memastikan ke tempat kerjanya. Pihak bank survei ke tempat kerja,” katanya.
Setiap hendak mengajukan KPR, ada banyak dokumen yang harus dipenuhi. Setiap bank punya kebijakan yang berbeda-beda dalam hal ini.
Menurut Setya, dalam proses berhubungan dengan bank, penting bagi calon pembeli rumah untuk kritis bertanya. Memastikan setiap detail kesepakatan. Sekali lagi, lantaran ini program jangka panjang yang memakan waktu belasan hingga puluhan tahun.
Proses komunikasi yang detail ini juga untuk menghindari kerugian. Misalnya, untuk mengetahui mekanisme angsuran dan bunga yang paling menguntungkan dan minim kerugian.
“Kebanyakan orang itu takut untuk tegas, untuk kritis. Awalnya pasti minim pengetahuan, tapi kan harus berani terus bertanya. Kita sebagai pembeli rumah KPR itu sudah pasti rugi. Tapi bagaimana meminimalisir kerugian itu semaksimal mungkin,” jelasnya.
Setya sendiri mengaku bisa mendapat mekanisme yang menurutnya paling ideal lantaran terus berkomunikasi dengan pihak bank. Awalnya ia ditawarkan bunga fixed tiga tahun lalu floating, tapi ia merasa kurang pas.
“Aku bilang aku pengen yang semurah mungkin. Akhirnya dikasih tahu tenor 15 tahun dengan bunga fixed delapan persen selama sepuluh tahun,” ujarnya.
Jika Setya berhasil mengajukan KPR atas namanya sendiri, lain cerita dengan Gumi. Pekerjaan Gumi yang pendapatannya tidak tetap membuatnya kesulitan mendapat kepercayaan dari bank.
“Aku kerja by project kaya gitu jadi bank nggak berani. Walaupun kalau dilihat dari rekening koran selama tiga sampai enam bulan itu oke-oke saja untuk menutup estimasi angsuranku,” curhat Gumi. Ia sudah sempat mencoba pengajuan ke sejumlah bank BUMN maupun swasta. Namun, selalu mengalami penolakan.
Gumi yang awalnya tak mengabari orang tua dan mertua, akhirnya berkompromi. Mertuanya kebetulan dosen di sebuah universitas negeri. Meski awalnya menolak, setelah diyakinkan akhirnya memberikan izin. Bahkan izin untuk menggunakan nama sang mertua dalam proses pengajuan.
“Jadi pada prinsipnya proses ini menggunakan nama beliau. Tapi saya yakinkan untuk bertanggung jawab atas proses pembayarannya,” terang bapak dua anak ini.
Begitulah caranya menyiasati kesulitan pengajuan kredit rumah. Para pekerja dengan pendapatan tidak tetap sepertinya ini memang kesulitan jika mengajukan pinjaman.
Selain siasat itu, Gumi juga berkeyakinan kalau tidak bisa mengandalkan satu sumber pendapatan saja. Mengingat lamanya perjalanan mengangsur rumah ini. Selain mengerjakan proyek-proyek riset tadi, Gumi juga mengambil sambilan sebagai asisten dosen. Juga menjalankan usaha kecil-kecilan.
“Istriku meski sekarang ibu rumah tangga, kalau anak sudah agak besar nanti, ya sebisa mungkin bekerja juga,” paparnya. Dukungan dari istri baik material maupun moral begitu berarti bagi Gumi.
Selama menjalani proses KPR, ia mengaku menyesali satu hal yakni tidak mengestimasi biaya-biaya administrasi yang perlu dikeluarkan setelah mendapat ac dari bank. Hal ini berbeda dengan Setya yang sedari awal sudah memperkirakan hal tersebut.
“Kalau nggak salah aku total itu hampir 70 atau 80 juta, total semuanya, notaris, biaya lainnya. Itu yang bener-bener keluar dari estimasiku. Bikin syok juga,” ujarnya.
Untuk menutup kebutuhan mendesak itu, Gumi tertolong karena memiliki simpanan emas. Bahkan ia juga harus menjual cincin kawin yang ia berikan pada sang istri.
“Sampai bablas cincin kawin waktu itu. Ya sudah rapopo lah, sek penting hudu buku nikah yang berubah,” ujarnya tertawa.
Konsultasi ke bank
Selain berbincang-bincang dengan kedua para pekerja di Jogja yang sedang berjuang dengan angsuran KPR, saya juga mencoba datang ke sebuah bank. Saya pilih Bank BTN. Bank ini jadi pionir program KPR di Indonesia. Program tersebut pertama kali diluncurkan pada 10 Desember 1976.
Tak perlu menunggu waktu lama, saya diarahkan satpam menuju salah satu konter petugas. Seorang petugas perempuan menyapa saya. Dengan yakin saya bilang ingin punya rumah di Jogja dan penasaran soal program KPR mereka.
“Kerja di mana? Sudah ada rencana rumah yang mau dibeli? Punya pinjaman lain? Itu hitungannya pegawai tetap? Apakah sudah ada BPJS Ketenagakerjaan?,” tanyanya beruntun.
Setelah menjawab satu persatu pertanyaan tersebut, termasuk menjelaskan nominal gaji yang sedikit saya lebihkan, petugas itu lantas memberikan penjelasan. Paling awal ia menekankan bahwa angsuran ideal yang disarankan, maksimal 40 persen dari gaji perbulan.
“Kalau gajinya Rp4,6 juta perbulan jadi 40 persennya di Rp1.840.000. Angka itu jadi jumlah maksimal angsuran perbulan,” paparnya.
Lewat sebuah selebaran, ia lalu menunjukkan bahwa dengan gaji tersebut, saya masih memungkinkan untuk mengambil KPR berdurasi 15 tahun dengan plafon Rp200 juta. Angsuran perbulannya di angka Rp1.830.000.
Program yang menurutnya ideal buat pekerja adalah angsuran KPR khusus peserta BPJS Ketenagakerjaan. Program ini punya maksimal plafon kredit Rp500 juta dengan tenor maksimal 30 tahun. Plafon kredit adalah harga rumah dikurangi uang muka. Sedangkan tenor merupakan jangka waktu angsuran.
Program ini dikhususkan bagi mereka yang sedang mencari rumah pertama. Uang muka minimal yang disyaratkan yakni lima persen dari harga jual rumah. Sedangkan sistem bunganya menggunakan model anuitas.
“Jadi kalau bunga program BPJS Ketenagakerjaan ini bunganya kerja sama dengan BTN. Ada di angka tujuh persen. Nanti dilihat lagi pertahun, tapi maksimal sekali akan di angka sembilan persen,” paparnya.
“Tapi nanti semisal diproses ternyata turun plafon pinjamannya berarti harus nambah uang muka,” terang petugas itu.
“Masnya masih muda ya. Masih bisa 30 tahun. Saran saya, kalau gajinya mepet banget untuk pengajuan, ambil jangka panjang, karena usia masih muda,” sambungnya.
Ia juga memaparkan jika sudah berkeluarga, penghasilan suami bisa digabung dengan istri untuk pengajuan bersama dengan model join income. Jika pekerja, syaratnya sudah bekerja minimal satu tahun. Sedangkan untuk pegawai kontrak sudah bekerja minimal dua tahun.
“Kalau kurang dari itu, biasanya kami harus minta izin dulu dari pusat untuk prosesnya,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan sejumlah biaya yang perlu dikeluarkan sebelum proses pembiayaan dari bank dijalankan. Biaya tersebut harus sudah disiapkan sebelum akad kredit dilakukan.
“Jadi biaya yang harus disiapkan itu DP, biaya KPR, sama pajak. Biaya KPR itu enam sampai tujuh persen dari plafon yang di acc. Ini nggak dibayar di awal, tapi harus disiapkan sebelum akad kredit,” jelasnya.
Program ini hanya satu di antara beberapa mekanisme KPR yang ditawarkan Bank BTN. Setiap bank juga punya mekanisme yang beragam. Masing-masing calon pembeli rumah, punya preferensi tersendiri untuk memilih program pembiayaan yang dinilai ideal.
Setelah menjelaskan beberapa hal tadi, sang petugas mengingatkan saya bahwa yang terpenting adalah menemukan unit rumah yang hendak dibeli. Bisa yang masih dalam bentuk kavling siap bangun, bangunan jadi, maupun rumah bekas pakai.
Bisakah gaji UMR Jogja punya rumah sendiri?
Dua narasumber yang saya ajak berbincang, punya gaji di atas UMR atau UMP DIY yang besarannya Rp Rp1.840.915,53. Ketika saya berkunjung ke bank, rekaan gaji yang saya jelaskan juga sama. Lantas, apakah gaji UMR Jogja masih bisa beli rumah di Yogyakarta?
Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY, Ilham Muhammad Nur mengakui bahwa harga tanah di DIY mengalami lonjakan yang begitu tinggi dari tahun ke tahun. Peningkatan harga tanah ini membuat harga rumah turut naik drastis.
“Komponen biaya terbesar dari rumah tapak itu tanah, kalau harga tanah tinggi, harga rumah pasti tinggi,” paparnya.
Menurutnya, tanah di Jogja selain kebutuhan hunian memang banyak dicari untuk investasi. Daerah ini menarik minat orang dari luar daerah untuk membeli tanah lantaran banyaknya perguruan tinggi hingga pariwisata yang dimilikinya.
“Dimanapun lokasinya tanah jadi buruan. Akhirnya, kita yang di Jogja merasa tanah semakin mahal dan tidak bisa dijangkau lagi,” ujarnya.
Tren kenaikan harga secara signifikan ini menurutnya sudah terjadi lama. Ia menjelaskan bahwa Jogja sejak lama dianggap tempat aman untuk berinvestasi. Banyak orang tua dari luar daerah yang menyekolahkan anak di daerah ini. Mereka lantas membeli properti di Jogja. Entah untuk ditinggali atau dijual lagi di kemudian hari.
“Jogja kenaikannya memang tergolong tinggi secara nasional. Bisa disandingkan Jogja dengan Jakarta Selatan dan Denpasar. Persentase kenaikan 20 persen pertahun kalau saya amati,” paparnya.
Ia mencontohkan salah satu tren kenaikan harga tanah saat ini banyak terjadi di Jogja wilayah barat. Mulai dari Sedayu hingga Pajangan, Bantul harga rumah yang banyak dipasarkan kini sudah berkisar di antara Rp300 juta hingga Rp500 juta.
“Padahal dulu di sana Rp100 juta sampai Rp250 juta sudah dapat rumah,” imbuhnya.
Sebuah keniscayaan bahwa kini pilihan rumah yang tersedia dan memungkinkan dibeli pekerja semakin menjauh dari pusat kota. Daerah pinggiran pun mulai mengalami kenaikan yang signifikan.
Kebutuhan akan hunian terus meningkat. Sedangkan tanah sebagai komponen utama dari rumah tapak terbatas. Sehingga, menurut Ilham, banyaknya permintaan di Jogja mendorong kenaikan harga yang tinggi.
Bagi para pekerja di Jogja dengan gaji pas-pasan, ini tentu bukan hal yang menyenangkan. Ilham mengasumsikan pekerja dengan gaji Rp5 juta masih bisa membeli rumah. Tentu dengan fasilitas pembiayaan KPR.
“Harga 200 sampai 350 juta masih ada teman (pengembang properti) yang menjual,” ujarnya.
Namun, untuk pilihan daerah, tentu sudah tidak semakin menjauh dari pusat kota. Ilham menerangkan salah satu daerah yang banyak disasar pekerja bergaji kisaran Rp5 juta di Jogja ada di kawasan Prambanan. Namun, bukan Prambanan yang ada di Jogja, tapi yang sudah masuk wilayah Kabupaten, Klaten, Jawa Tengah.
Rumah subsidi dan cara mengaksesnya
Bagi pekerja bergaji di kisaran UMR Jogja, Ilham mengakui bahwa sangat sulit untuk mendapatkan hunian. Hal ini diperparah lagi dengan ketersediaan rumah subsidi yang menurutnya sudah tidak ada lagi di kawasan penyangga sekitar Kota Yogyakarta.
“Kalau UMR, memang berat sekali untuk mendapatkan rumah. Itulah kenapa negara membuat kebijakan rumah subsidi, karena itu diperuntukkan untuk mereka yang bergaji UMR,” terangnya.
Rumah subsidi sendiri memiliki pengertian, rumah yang dibangun dengan harga terjangkau yang diperoleh melalui skema KPR, baik secara konvensional maupun dengan skema syariah.
Dalam laman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia, KPR Bersubsidi adalah kredit atau pembiayaan rumah yang mendapat bantuan dan atau kemudahan perolehan rumah bagi pemerintah berupa dana murah jangka panjang dan subsidi perolehan rumah yang diterbitkan oleh Bank Pelaksana baik secara konvensional maupun prinsip syariah.
Program untuk pemilikan rumah subsidi ini ditujukan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah dengan skema KPR dengan suku bunga rendah dan cicilan ringan untuk pembelian rumah sejahtera tapak dan rumah sejahtera susun
Namun, di Yogyakarta rumah subsidi juga memiliki persoalan tersendiri, tahun 2021, Ilham menyebut hanya ada 200 rumah bersubsidi yang terbangun di wilayah DIY. Harga yang dipatok oleh pemerintah sebesar Rp150.500.000.
Subsidi dari pemerintah untuk pengembang berupa keringanan pajak PPN, PPH sedang ke konsumen berupa bunga kredit rendah. Namun, dengan harga tanah di DIY yang sudah tinggi, pengembang pasti akan berhitung.
Ia menambahkan kalau rumah subsidi kini masih mungkin dijumpai di daerah Gunungkidul. Menurut perhitungannya masih ada ratusan unit rumah subsidi yang dijual di sana.
Ketiadaan rumah subsidi ini menurutnya dikarenakan tingginya harga tanah. Hal itu membuat para pengembang merasa perhitungannya kurang cocok untuk mendapatkan keuntungan bisnis.
“Harga tanah mahal. Pengembang kan bisnis, tentu target utama kita cari keuntungan,” ujarnya. Apa yang disampaikan Ilham, pernah dicurhatkan sales spesialis rumah subsidi di Mojok.co, Ngerjain Proyek Rumah Subsidi: Cuan Tak Seberapa, Ribet di Birokrasi, Dinyinyiri Calon Pembeli.
Menurut Ilham, jumlah rumah subsidi di DIY berbanding terbalik dengan kebutuhan rumah di DIY. Berdasarkan sensus yang dilakukan pemerintah, ada kekurangan rumah di DIY mencapai 250.000 saat ini.
“Saran saya kita semua duduk bersama, seluruh komponen pemangku supaya bisa wujudkan itu, bagaimanapun dan apa pun nanti pembicaraannya. Kami di sisi swasta punya peran penggenap, karena kewajiban rumah melekatnya pada negara,” pungkasnya.
Syarat mendapatkan KPR subsidi
Meski rumah subsidi jauh dari pusat kota, nggak ada salahnya untuk mencari tahu bagaimana mendapatkannya. Syarat-syarat untuk mendapatkan rumah subsidi seperti dikutip dari laman BTN yaitu, WNI berusia 21 tahun atau telah menikah, usia pemohon tidak melebihi 65 tahun pada saat kredit jatuh tempo. Khusus peserta ASABRI yang mendapatkan rekomendasi dari YKPP, usia pemohon s.d. 80 tahun pada saat kredit jatuh tempo.
Pemohon maupun pasangan (suami/isteri) tidak memiliki rumah dan belum pernah menerima subsidi pemerintah untuk pemilikan rumah. Dikecualikan 2 kali untuk TNI/Polri/PNS yang pindah tugas.
Gaji/penghasilan pokok tidak melebihi, Rp4juta untuk Rumah Sejahtera Tapak dan Rp7juta untuk Rumah Sejahtera Susun. Memiliki e-KTP dan terdaftar di Dukcapil. Memiliki NPWP dan SPT Tahunan PPh orang pribadi sesuai perundang-undangan yang berlaku. Pengembang wajib terdaftar di Kementerian PUPR. Spesifikasi rumah sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dokumen yang harus disiapkan:
- Formulir Pengajuan Kredit dilengkapi pas photo terbaru Pemohon & Pasangan
- FC e-KTP/Kartu Identitas
- FC Kartu Keluarga
- FC Surat Nikah/Cerai
- Dokumen penghasilan untuk pegawai: Slip gaji terakhir/Surat Keterangan Penghasilan dan Fotocopy SK Pengangkatan Pegawai Tetap/Surat Keterangan Kerja (apabila pemohon bekerja di instansi)
- Dokumen penghasilan untuk wiraswasta: SIUP, TDP, Laporan/Catatan Keuangan 3 bulan terakhir
- Dokumen penghasilan untuk pekerja mandiri: Fotocopy Izin praktek
- Rek. Koran 3 bln terakhir, FC NPWP/SPT PPh 21.
- Surat pernyataan penghasilan yang ditandatangani pemohon di atas meterai dan diketahui oleh pimpinan instansi tempat bekerja atau kepala desa/lurah setempat untuk masyarakat berpenghasilan tidak tetap
- Surat pernyataan tidak memiliki rumah yang diketahui instansi tempat bekerja/lurah tempat KTP diterbitkan
- Surat Ket. Domisili dari Kelurahan setempat apabila tidak bertempat tinggal sesuai KTP
- Surat keterangan Pindah Tugas untuk TNI/Polri/PNS yang mengajukan KPR BTN Subsidi ke dua
Langkah berikutnya, pemohon rumah bersubsidi mencari lokasi rumah yang akan diinginkan. Siapkan dokumen yang lengkap. Berkas permohonan akan di proses oleh Bank BTN, diantaranya adalah Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), verifikasi data, dan analisa. Jika permohonan disetujui, Pemohon mempersiapkan kecukupan dana di Tabungan BTN. Melakukan Akad Kredit. Dan mulai proses pencairan permohonan. Hitung-hitungannya bisa menggunakan simulasi di sini.
BACA JUGA UMR Yogyakarta: Kisah Para Pekerja dan Mitos Biaya Hidup Murah
Pilih beli tanah atau rumah, simak di Putcast Mojok.co