Membongkar Alasan Pelayanan BCA Lebih Cepat Ketimbang Bank Lain

teller bank bca

Petugas di Bank BCA, mulai dari satpam, teller, hingga customer service (CS) dikenal cekatan dalam memberikan layanan ke nasabah atau calon nasabah. Mojok melakukan wawancara dengan mereka untuk mengetahui, rahasia mengapa mereka begitu cekatan.

***

Saat pandemi Covid-19 masih merebak di tahun 2021 lalu, saya punya pengalaman membuat rekening di Bank BCA. Sesampainya di sana saya langsung disambut satpam BCA. Diarahkan menuju seorang petugas. Melihat saya, petugas itu langsung menghampiri. Menanyakan keperluan saya dan dengan segera menuntun saya ke sebuah mesin. Memandu satu per satu tahapan pembuatan rekening baru. Tidak ada antrean.

Pada hari yang sama, saya sempat mengurus keperluan di bank lain. Namun, kondisi berbeda saya temui. Antrean mengular panjang. Tiga puluh menit menunggu, membuat saya tidak sabar untuk kemudian meninggalkan bank tersebut.

Sejak saat itu, saya penasaran mengapa layananan Bank BCA lebih cepat. Petugasnya satset membantu nasabah atau calon nasabah.

Posisikan diri sebagai nasabah yang nggak mau antre

Hingga akhirnya, pada Jumat (7/10) saya berkesempatan untuk berbincang dengan beberapa orang di Kantor Cabang Utama (KCU) BCA Yogyakarta. Mengungkap alasan bank swasta ini begitu prima dalam melayani nasabahnya.

Sekitar jam sembilan pagi saya sampai sana. Saat masuk, tidak tampak antrean panjang. Setiap konter teller maupun CS yang jumlahnya belasan itu siap sedia melayani nasabah. 

Nasabah yang datang, sebelum mengantre di konter, sudah disambangi oleh Customer Service Officer (CSO) yang selalu mobile. Mereka menanyakan keperluan para nasabah dan berusaha mengatasinya, sebelum sampai mengantre di konter. Di KCU ini, terdapat 11 konter CS dan 10 konter teller.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya saya bertemu dengan Kepala Layanan KCU BCA Yogyakarta, Markus Ibnu Wibowo. Ia banyak bercerita tentang bagaimana pelayanan di BCA bisa cepat dan menjawab kebutuhan nasabah.

“Kalau kami ini memang customer focus. Jadi mengutamakan kebutuhan nasabah. Siapa pun nasabahnya, harus fokus, kebutuhan mereka harus kita penuhi,” terang Markus.

Teller bank bca
Teller Bank BCA Yogyakarta melayani nasabah. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Setiap tim BCA, lanjut Markus, harus menerapkan empat tata nilai. Keempatnya yakni customer focus, integritas, kerja sama, dan continuous pursuit of excellence atau terus berupaya memberikan yang terbaik bagi nasabah. Empat tata nilai yang terus berupaya diterapkan dalam setiap pelayanan. 

“Kami juga kalau jadi nasabah, maunya bisa cepat dan tidak perlu antre terlalu lama,” ujarnya tertawa.

Seperti penampakan yang tadi saya lihat, Markus bercerita kalau sebelum mengantre di konter CS, selalu ada CSO yang menghampiri nasabah. Segala kebutuhan nasabah yang mungkin bisa diselesaikan sebelum antre, coba dijawab oleh para petugas ini.

“Di CSO ada bagian pembukaan rekening, solusi, keluhan, dan sebagainya. Jadi nanti menyesuaikan kebutuhan nasabah di awalnya apa. Jadi bisa langsung kita arahkan,” terangnya.

Kalau di KCU, jumlah CSO yang bertugas ada setidaknya dua orang. Sedangkan untuk KCP, biasanya cukup satu petugas saja. Menyesuaikan kepadatan nasabah yang datang ke bank.

Mengurai kepadatan di jam makan siang

Permasalahan yang sering didapati nasabah adalah panjangnya antrean saat makan siang. Lantaran sebagian konter biasanya tutup. Padahal, bagi para pekerja, waktu istirahat siang adalah satu-satunya momen mereka bisa berkunjung ke bank di hari kerja.

Namun, BCA punya strategi menyiasati hal itu. Saat jam makan siang sekitar pukul 12.00 hingga 13.00, sebagian besar konter teller maupun CS tetap buka. Hal ini membuat antrean nasabah tidak mengular panjang. Tetap terlayani dan terselesaikan dengan cepat.

“Jadi di BCA, walaupun tellernya banyak, tapi untuk istirahat makan tetap diatur. Jadi nggak tiba-tiba jadi separuh konternya kosong,” papar Markus.

Para teller dan CS biasanya makan secara bergantian. Kalau di KCU dengan jumlah konter banyak, mereka bergiliran setiap dua petugas. Sedangkan di KCP bergiliran setiap satu petugas. Sehingga kekosongan yang ditinggalkan tidak tampak berpengaruh banyak.

Jam makan, bagi para petugas pun dibuat lama. Sejak jam 10.00 mereka sudah bisa bergiliran istirahat sampai pukul 14.00. Istirahatnya berkisar antara 30 sampai 60 menit. 

“Nasabah kalau yang orang kantoran, ya keluarnya siang, jadi kita kuatkan layanan di waktu itu. Di tempat kami, jam makan siang demi layanan, sudah dimulai sejak jam 10.00 sampai jam 14.00. Begitu caranya agar konter tidak banyak yang kosong,” jelas Markus.

“Tapi tetap harus istirahat. Apalagi teman teller yang harus hitung uang banyak. Butuh fokus,” lanjutnya.

Pemanfaatan teknologi

Di BCA, keluhan nasabah seringkali sudah bisa terjawab sebelum antre. Lapisan pertama upaya pemberian solusi ada di Satpam, lalu di CSO, hingga akhirnya di konter CS jika keluhannya tergolong rumit.

Selain itu, kebutuhan nasabah juga semakin dimudahkan dengan adanya sejumlah mesin pendukung. Ada mesin CS Digital untuk urusan penggantian kartu, pendaftaran mobile banking, hingga cetak kartu.  Lalu ada pula mesin e-service yang bisa digunakan untuk pembukaan rekening hingga cetak dan penggantian buku.

“Selama bisa dilayani di situ, nggak harus ke konter. Jadi bisa lebih cepat dilayani. Termasuk di teller, di bawah Rp50 juta bisa langsung di mesin star teller,” paparnya.

“Ke depan memang kita arahnya ke mesin-mesin itu tadi. Memanfaatkan teknologi supaya lebih efisien,” lanjutnya.

E-service untuk mempermudah nasabah. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Perpaduan antara kecepatan layanan dan pemanfaatan teknologi bikin nasabah nggak perlu kesusahan lagi untuk menemukan solusi. Menurut Markus, BCA mengkombinasikan keduanya untuk melayani.

Cerita dari teller dan CSO

Setelah berbincang dengan Markus, saya juga sempat menemui dua petugas saat mereka sedang beristirahat. Mereka membagikan cerita suka duka menjadi garda depan pelayanan Bank BCA.

Salah satu yang saya temui adalah CSO bernama Chris Philia (30). Perempuan ini sudah sejak tahun 2015 bekerja di tempat ini. Awalnya menjadi teller lalu dipindahtugaskan menjadi CSO beberapa tahun terakhir.

Buatnya, hal yang paling menantang adalah menjaga mood sepanjang hari. Berbagai keluhan nasabah harus ia dengar dengan seksama. Baik itu nasabah yang ramah atau yang marah-marah.

“Nasabah memang macem-macem. Ada yang galak atau rewel, mungkin mereka kesal karena bingung dengan kendala yang dialami,” ujarnya ramah.

Apa pun keluhannya, buat Philia, paling penting adalah mendengarkan terlebih dahulu. Baru setelah itu coba untuk menawarkan solusi yang tepat bagi nasabah.

Banyak cerita unik yang dialami saat menghadapi nasabah. Misalnya, urusan tanda tangan mereka yang agak berbeda dengan kartu identitas. Ketika berurusan dengan berkas-berkas memang tanda tangan diperlukan. 

“Padahal tanda tangan dan semua informasi itu acuan utamanya pada kartu identitas,” ujarnya tertawa.

Namun, banyak nasabah yang detail tanda tangannya agak sedikit berbeda dengan KTP. Hal itu wajar ditemui. Perlu waktu yang lumayan lama saat nasabah berusaha menyamakan tanda tangan. Biasanya karena grogi. Pada kasus tertentu, nasabah sampai kesal karena selalu gagal.

“Kami tenangin, nggak usah terburu-buru, dicoba lagi, sampai bisa. Intinya kami tunggu,” ujarnya.

Selain itu, kadang nasabah pun bingung saat disuruh membuat PIN untuk ATM atau mobile banking. Malah tak jarang, para CS yang diminta membuatkan PIN tersebut. Padahal itu terkait data pribadi nasabah.

“Tentu kami nggak bisa bantu itu. Kami kasih pengertian bahwa itu data pribadi yang harus dibuat sendiri,” tuturnya.

Bekerja di bank yang begitu mengedepankan pelayanan membuat Philia harus menyesuaikan diri. Misalnya dalam urusan jam makan siang. Ia secara otomatis akan menyesuaikan dengan kepadatan antrean.

“Kalau antrean agak lama ya secepatnya kembali ke konter. Kita lakuin dengan senang, kalau kita layaninya cepat, kerjaan cepat kelar juga dan bisa rehat lebih lama. Nasabah senang, kami juga senang,” jelasnya.

Selain Philia, saya juga berbincang dengan Tika Wulandari (31). Perempuan ini sudah sejak tahun 2012 jadi teller di BCA. Bekerja sebagai teller membutuhkan konsentrasi. Tapi hal yang menantang baginya adalah ketika bisa cross selling.

“Kalau di teller kan fokusnya ngitung uang. Tapi kita bisa juga nawarin produk ke nasabah,” ujarnya.

Job desc utama teller adalah melayani dan memastikan transaksi nasabah berjalan dengan baik, lancar dan tidak mengalami kendala. Urusan menawarkan produk itu hanya bonus bagi Tika. Namun, ia selalu tertantang untuk melakukannya.

Hal itu membuat ia ingin bisa selalu berkomunikasi dengan baik pada nasabah. Padahal teller memang secara interaksi lebih praktis ketimbang mereka yang bertugas di CS.

“Jadi selain transaksi, kita juga ngobrol, jalin relasi dengan nasabah. Ngasih solusi kalau butuh bantuan tertentu,” jelas perempuan kelahiran Solo ini.

Di BCA, Tika terbiasa untuk sigap. Seperti Philia, ia juga tidak terbiasa meninggalkan konternya kosong. Apalagi ketika antrean sedang banyak.

“Selama nasabah kebutuhannya terlayani kita happy. Kalau kita suruh antre lama kan pasti nggak enak juga,” ujarnya ramah.

CS Bank BCA Yogyakarta melayani nasabah. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Tika bercerita bahwa sistem di BCA membuatnya selalu terdorong untuk memberikan pelayanan prima. Di pagi hari, mereka menjalankan morning briefing. Setelah jam pelayanan mereka juga kerap berbagi kasus-kasus yang mereka tangani.

“Jadi kita setiap hari itu belajar dan sharing. Kalau ada case seperti ini, penyelesaiannya seperti ini,” paparnya.

Cara menjadi teller Bank BCA dan suka dukanya

Pekerjaan teller bank menjadi incaran banyak orang. Reporter Mojok juga menghubungi beberapa teller bank di BCA. Mereka minta namanya disamarkan. “Aku masih baru di dunia per-teller-an, kurang lebih baru setengah tahun,” ucap Vania* (22) dalam perkenalan singkat di sambungan telepon. 

Vania adalah satu dari banyak lainnya yang menganggap profesi teller bank adalah hal yang menarik. Mulai dari kerja sesuai jam kantor sampai weekend yang bisa digunakan untuk beristirahat dan nongkrong santai dengan teman.

Mendaftar menjadi teller bank sebenarnya tidak ada dalam list cita-cita Vania. “Insecure lah kak, apalagi di bank swasta nasional,” katanya tertawa. Namun, rasa penasarannya membuat ia tetap melamar di BCA, bukan sebagai teller bank, melainkan customer service.

Saat itu, Vania berpikir diterima atau tidaknya adalah urusan belakangan. Meskipun merupakan sarjana akuntansi, ia merasa tahapan seleksi bekerja di perbankan cukup sulit. Di Akhir seleksi, Vania ditawarkan untuk diterima menjadi keluarga besar Bank BCA sebagai teller bank dengan penempatan Kanwil II (Jawa tengah-DIY).

Hal serupa dirasakan oleh Nadia* (25) yang sudah 3,5 tahun menjadi teller di Bank BCA Kanwil VIII (Pondok Indah Jakarta). “Dulu aku melamar Magang Bakti BCA menjadi frontliner, ternyata dibagi jadi teller bank dan customer service,” ungkapnya di sambungan telepon. 

Saat itu, Nadia yang masih berstatus mahasiswa kelas karyawan sudah terlebih dahulu mencari tahu sistem kerja perbankan. Ia juga belajar hal-hal sederhana, seperti belajar menghitung uang dan berhadapan dengan siapa saja.

Berdasarkan hasil tes magang bakti, Nadia mendapatkan posisi sebagai seorang teller bank. Meskipun disebut sebagai “magang”, namun menurutnya ia sudah langsung berhadapan dengan nasabah dan memiliki kesempatan diangkat sebagai pegawai tetap apabila memiliki kinerja baik atau telah menyelesaikan tiga kali kontrak magang bakti selama tiga tahun dan disertai ijazah telah lulus kuliah.

Baik Nadia dan Vania mengatakan Magang Bakti BCA (cara untuk jadi frontliner) bisa diikuti oleh lulusan SMA/mahasiswa/fresh graduate usia 17-24 tahun. Boleh dari berbagai jurusan. Kontraknya 1 tahun, tapi bisa diperpanjang sampai 3 kali atau 3 tahun. Setelah itu diangkat menjadi pegawai tetap jika memenuhi syarat.

Untuk jadi frontliner (teller dan customer service) pasti ada training yang kalau base Jakarta akan dilakukan di BCA Learning Institute (Sentul). Nanti diajarkan ketelitian, kejujuran, produk knowledge, grooming, sapa, hitung uang, membedakan uang asli dan yang diragukan dan membuat laporan ke BI, komunikasi, dan kerjasama. Lamanya untuk training itu dua Minggu. 

Sedangkan untuk wilayah DIY, Vania mengikuti training online selama 3 hari, kemudian offline selama seminggu yang berlangsung di BCA Pemuda Semarang. 

Jika nanti lulus dalam training ini, maka ada penempatan dan training lanjutan atau OJT. Training ini training lapangan. Untuk lamanya sekitar 2 minggu dan dilakukan di tempat penempatan. 

Dalam training, frontliner itu garis terdepan BCA, maka harus ramah. BCA pelayanannya harus wow, maka servicenya harus baik, harus all out, dan rasa membantunya harus besar. “Kalau nasabah bingung, kita yang harus membantu nasabah. Jangan sampai ada nasabah bingung dan clingak-clinguk,” kata Nadia. 

Seorang teller bank dan CS harus punya skill komunikasi yang cukup. Jangan sampai nasabah merasa didiamkan atau dikacangi. Selain itu, di BCA harus ditekankan bahwa frontliner (teller) harus bisa memberikan solusi di luar perbankan. Jualan produk di perbankan, seperti mobil, rumah, asuransi. Apabila ada yang menyulitkan maka diperbolehkan diskusi dengan head teller/ teman-teman di kantor cabang utama dan kantor cabang pembantu. 

Teller maupun CS di Bank BCA Yogyakarta dituntut untuk cekatan dalam membantu nasabah. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Setiap tahun BCA akan melakukan penilaian terhadap peserta Magang Bakti. Peserta dengan penilaian baik serta mendapat rekomendasi dari atasan dan punya ijazah dapat mengikuti seleksi karyawan tetap untuk menjadi frontliner (teller dan customer service). Jika ada rekomendasi untuk naik jabatan baru bisa naik jabatan. Untuk frontliner BCA, biasanya pensiun atau ganti menjadi back office di usia 35 tahun.

Perkara nombok

“Tugas teller bank itu sebenarnya basic, sekadar melakukan transaksi yang dibutuhkan nasabah,” ungkap Vania. Biasanya, ia hanya membantu melakukan penarikan tunai, setoran tunai, pemindahan tabungan sesama bank, dan pemindahan tabungan antar bank. Sedangkan, transaksi pembelian valuta asing belum boleh dilakukan mengingat Vania masih tahun-tahun awal bekerja.

Menjadi seorang teller bank harus memenuhi kode etik yang ditetapkan oleh perusahaan. Menurut Vania, ia dilarang untuk menyebarkan foto uang, privasi nasabah, dan saldo rekening nasabah kepada teman dan keluarga. Vania juga diminta untuk tidak mencemarkan nama baik kantor. Pun saat jam kerja, handphone wajib disimpan di loker dan tidak boleh mengobrol dengan sesama teller bank lainnya.

Sebagai seorang teller bank, Vania dan Nadia wajib memenuhi standar operasional prosedur (sop) yang berlaku. Setiap hari kerja, teller harus datang sebelum jam layanan. Ini untuk menyiapkan, ambil uang di head teller dan di input saldo awal di sistem. Lalu uangnya dimasukkan pada cash box. Cash box ini pribadi, tidak boleh diotak-atik tanpa seizin teller yang bersangkutan.

Selain itu, juga ada persiapan papan nama, brosur produk, memeriksa pinpad, memastikan komputernya aman, menyiapkan ban uang dan pengikat, memeriksa lampu uv yang digunakan untuk cek keaslian uang, dan memeriksa mesin hitung uang. 

Nah, setelah jam layanan, teller harus mengelompokkan slip transaksi per hari itu dan mata uang per hari itu (dihitung) – cash count. Terus dicocokkan sampai balance. Kalau sudah, dilaporkan pada head teller untuk di verifikasi. Jika cocok, maka dicetak laporan transaksi teller dan summary teller. Kalau tidak cocok/ada selisih kas – selisih lebih dan selisih kurang, maka teller wajib mencari kesalahan (bisa dengan mengingat-ingat atau melihat dari cctv).

Semua pekerjaan teller harus selesai hari itu. Kalau sudah selesai tutup kas (closingan) semua teller yang bertugas, baru boleh pulang.

Bagi seorang teller bank, selisih adalah petaka karena itu berarti mereka harus mengeluarkan uang untuk “nombok” dan bermain kucing-kucingan dengan bagian audit bank. 

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Vania yang mengaku nombok sampai belasan juta rupiah. “Aku pernah kebablasan input uang ke nasabah dan nggak kembali,” ujarnya yang mengaku sedih ketika mengingat peristiwa itu. 

Saat itu, ia merasakan lemas karena uang di tabungan Vania hanya ada dua juta saja. Vania mengatakan memegang uang belasan juta saja, ia tidak pernah. Namun, kini harus mengembalikan selisih uang itu.

Vania merasa ini adalah kesalahannya yang tidak teliti. Agar tidak mendapatkan surat peringatan, ia dibantu oleh head teller dan teman-teman teller bank yang lain. “Malah mereka bilang nggak usah minta ke orang tua, nanti malah di rumah kepikiran. Aku bersyukur dipertemukan dengan mereka,” ungkapnya. Alasan karyawan di BCA ini yang seperti keluarga lah yang menjadi alasannya bahagia bekerja. Ia pun menganggap kejadian yang menimpanya sebagai buang sial dan berharap tidak pernah terjadi lagi. 

CS Digital untuk mempermudah nasabah menggunakan layanan di Bank BCA. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Harus rapi dan menarik di mata nasabah

Hampir setiap hari bertemu dengan ratusan nasabah membuat penampilan teller bank harus terlihat rapi dan menarik. Menurut Niken, hal itu memang tercantum di standar operasional prosedur. Vania harus menyisihkan gajinya untuk membeli baju dan rok baru yang tampak bersih untuk bekerja. Belum lagi sepatu dengan minimal hak lima senti yang menghiasi kaki hampir setiap hari. 

Vania mengatakan masih kesulitan membuat cepolan rambut. Pasalnya, teller bank yang tidak berhijab harus menggunakan gaya rambut french twist. Menurutnya, untuk membuat gaya rambut french twist, Vania harus meluangkan waktu tiga puluh menit di pagi hari dengan berbekal sisir, jepit lidi, dan hairspray.

Vania bersyukur karena gajinya sekarang jauh di atas UMR dan itu sudah lebih dari cukup. Termasuk untuk memenuhi kebutuhannya agar selalu tampil menarik di depan nasabah.

Bukan hanya penampilan yang harus diperhatikan oleh seorang teller bank, namun juga keramahan kepada nasabah dalam memberikan pelayanan. Nadia yang kebetulan menjadi teller bank di Jakarta Selatan mengaku banyak mendapati nasabah yang rewel dan banyak maunya. “Maklum di Jakarta Selatan banyak nasabah kelas atas,” ungkap Nadia tertawa.

Sering kali Nadia mendapati nasabah yang marah dan emosi dengan regulasi bank. Sering kali juga, Nadia yang jadi sasaran kemarahan dari nasabah karena berada di garda terdepan sebuah bank. Tapi, Nadia mengaku tidak sedikit pun terpancing emosi. Ia selalu menekankan pada dirinya sendiri bahwa itu bukan kesalahannya dan bukan marah pada dirinya. “Aku set mode kalem kalau lagi kerja, hadapi dengan senyuman” ungkapnya.

Hal berbeda diungkapkan oleh Vania. Meskipun termasuk dalam pegawai baru, namun ia sering memperhatikan karakteristik nasabahnya. Menurutnya kebanyakan nasabah yang ditemui humble atau enak diajak berbincang. Vania memang senang mengajak nasabah berbincang agar suasana tidak kaku. Meskipun ada yang merespon dengan sedikit jawaban saja atau justru bersikap angkuh.

Jika menemukan nasabah yang membuat mood-nya berantakan, Vania akan buru-buru ke toilet setelah menyelesaikan urusan nasabah sekadar untuk menenangkan diri. Vania akan langsung menuju depan kaca untuk bicara dengan dirinya sendiri. 

“Aku di sini untuk bekerja. Apa pun masalahku jangan aku bawa ke depan. Apalagi melampiaskan ke nasabah atau rekan kerja,” ungkap Vania menirukan kalimat yang selalu ia ucapkan ketika moodnya sedang kacau. Setelah itu, rasa kesalnya akan menguap dan ia kembali bekerja dengan senyum bahagia.

Vania yang merasa bahwa mood di pagi hari adalah penentu kelancaran bekerja. Menurut Vania, kalau pagi hari ia sudah merasa tidak senang dan tidak bersemangat, maka akan merembet ke banyak hal dan susah untuk fokus melayani nasabah. “Kalau sudah begitu nanti bisa dapat uang palsu dan berujung nombok lagi,” ujarnya tertawa.

Reporter: Hammam Izzuddin dan Briggitta Adelia Putri
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Cerita Seorang Bapak yang Anak Perempuannya Jadi Korban di Tragedi Kanjuruhan

Exit mobile version