Derita Fresh Graduate yang Kerja: Kami Nggak Manja dan Lebai, Kami Itu Capek!

Ilustrasi Derita Fresh Graduate yang Kerja: Siapa Bilang Kami Manja dan Lebai, Kami Itu Capek! (Ega Fansuri/Mojok.co)

Lulus kuliah, langsung kerja. Terdengar indah dan ideal, tapi bagi sebagian lainnya, menjadi fresh graduate kemudian merasakan dunia kerja bukanlah perkara yang mudah. Setidaknya hal ini cukup sering dikeluhkan di base Twitter dan banyak akun lain. Banyak yang mengeluhkan pengalaman kerja yang melelahkan dan membosankan.

Banyak juga komentar nyinyir yang menyebut generasi muda sekarang manja dan suka mengeluh. Mojok kemudian menemui tiga orang fresh graduate yang masing-masing bekerja di bidang yang berbeda.

***

Delapan bulan lalu, Rani* (22) mengikuti wisuda di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Statusnya sebagai mahasiswa, resmi lepas seiring dengan berpindahnya tali toga dari sebelah kiri ke kanan. Agustus 2022, ia memasuki babak baru dalam kehidupannya sebagai fresh graduate. Saat itu ia sudah membayangkan bahwa dunia kerja tidak akan sesantai saat kuliah. Namun, ia luput membayangkan bahwa dunia kerja begitu melelahkan seperti yang ia rasakan saat ini.

Peralihan dunia kuliah ke dunia kerja

Rani adalah perantau asal Jawa Timur. Sejak lulus kuliah, ia ingin segera dapat pekerjaan agar boleh tinggal di kos, setelah sebelumnya menginap bersama seorang saudara di Yogyakarta.

Maka dari itu, ia memasukkan lamaran ke banyak tempat kerja yang membuka lowongan karyawan. Ia juga dapat tawaran dari sebuah LSM di Yogya. Tapi setelah mempertimbangkan besaran gaji, ia memutuskan bekerja di sebuah perusahaan teknologi pertanian dengan posisi konten spesialis. Gajinya Rp2,3 juta sebulan.

Tak menunggu lama, kehidupan Rani segera mengalami banyak perubahan. Masa peralihan ke dunia kerja menjadi masa yang berat bagi Rani. Apalagi, posisi kerjanya tak sesuai dengan bidang yang ia pelajari selama kuliah. Akibatnya, waktunya habis untuk bekerja dan mempelajari hal-hal yang ia butuhkan untuk menunjang pekerjaannya.

“Karena kerjaku beda dari jurusan kuliah, jadinya kaget karena kerja sambil belajar lagi. Jadi siangnya kerja, malemnya belajar tentang job desk-ku,” ucap Rani, saat saya wawancarai di sebuah kedai kopi di Sorowajan, pertengahan April lalu.

Akibatnya ia menjadi mudah lelah, stres, dan tak punya waktu untuk melakukan hal lain yang tak terkait dengan pekerjaannya. Bahkan, untuk menikmati akhir pekan dengan teman-temannya saja ia tak sempat.

Namun, ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan bidang studi saat kuliah bukan satu-satunya penyebab Rani merasa stres. Kepada saya, ia blak-blakan menceritakan banyak hal pengalamannya sebaga fresh graduate yang kerja.

Setelah lulus kuliah, memasuki dunia kerja adalah tantangan berikutnya bagi seorang fresh graduate. MOJOK.CO
Setelah lulus kuliah, memasuki dunia kerja adalah tantangan berikutnya bagi seorang fresh graduate. (Ilustrasi Photo by Pang Yuhao on Unsplash)

Fresh graduate yang dimanfaatkan senior 

Saat masih kuliah, bagi Rani, membantu dan bekerjasama mengerjakan tugas adalah hal yang biasa. Begitu juga yang Rani rasakan saat mengikuti organisasi di masa kuliah. Ia kerap mengerjakan tugas individu bersama teman-temannya. Namun, dalam dunia kerja, atau di tempat kerja Rani, hal semacam ini menjadi berbeda.

“Kalo di kerjaan, kamu bantu [orang lain] gitu kamu tertindas. Membantu dengan sukarela pekerjaan orang lain, kamu akan menjadi kacung seterusnya,” ucapnya.

Pengalaman dimanfaatkan oleh rekan kerja sudah pernah Rani alami. Gara-gara terlalu akrab dengan seorang rekan kerja dari departemen yang berbeda, Rani pernah disuruh membantu pekerjaan-pekerjaan rekannya. “Itu aku sempet kena tegur ketua timku gara-gara ngerjain hal lain itu. Terlalu akrab sama temen kerja tidak baik”, katanya.

Sering mengerjakan sesuatu di luar job desk

Usia perusahaan tempat Rani bekerja sudah lebih dari lima tahun. Namun, menurut Rani jumlah karyawannya masih terlalu sedikit. Hal ini membuatnya kerap kali diminta mengerjakan sesuatu yang tak sesuai dengan job desk-nya, padahal porsi kerjanya tidak sedikit. Ia bertanggung jawab atas seluruh konten perusahaan di enam media: website, 3 akun Instagram, Tiktok, YouTube, Google Bussines, dan Linkedin.

“Aku content specialist, jadi aku ngurusin semua konten media sosial, semua konten digital asset, dan konten-konten yang untuk marketing kit,” ucap Rani.

“Tapi sering juga disuruh riset pasar, syuting, pameran, ini-itu lah. Itu sebenernya bukan kerjaanku tapi aku disuruh ngerjain dengan alasan nggak ada orang lain.”

Yang membuat Rani semakin kesal, permintaan mengerjakan tugas lain ini kerap datang secara tiba-tiba. Akibatnya, pekerjaan-pekerjaan yang sudah Rani rencanakan pada hari itu seringkali terganggu.

Bekerja sampai larut malam

Dengan bekerja sesuai job desk saja, Rani sering merasa kehabisan energi. Penambahan beban kerja ini membuat kondisi kesehatan mental dan emosional Rani semakin rentan. Sampai-sampai ia melakukan konseling ke psikolog dan tubuhnya beberapa kali drop karena kelelahan.

Rani tidak sendiri. Di Purwokerto ada Tyas* (23), seorang fresh graduate yang bekerja sebagai petugas sensus Badan Pusat Statistik (BPS). Ia bekerja sebagai petugas sensus lapangan dan lanjut bagian input data.

Tyas pertama kali mendaftar sebagai petugas sensus saat baru saja menyelesaikan sidang skripsi di salah satu kampus negeri di Yogyakarta pada Oktober 2022. Sebelum itu, sembari mengerjakan skripsi, ia pernah bekerja sebagai penulis konten di dua media online dan ikut proyek penelitian bersama dosen.

Pekerjaannya sebagai penulis konten sebenarnya tidak bertahan lama. Namun, karena merasa tak betah dengan beban kerja tinggi dan bayaran yang tak masuk akal, Tyas merasa waktu berjalan begitu lambat.

Dalam satu hari, ia dibebankan menulis minimal 10 artikel. Nahasnya dalam dua bulan, akumulasi pendapatannya tak lebih dari Rp200 ribu.

Maka ketika ia dengar BPS membuka lowongan petugas sensus dengan gaji Rp3,9 juta perbulan, tanpa pikir panjang Tyas langsung mendaftarkan diri. Bagi Tyas, angka itu cukup tinggi, karena hampir mencapai dua kali lipat UMR Purwokerto, tempat ia tinggal.

“Ya gimana, ya, fresh graduate. Mana di Purwokerto UMR-nya kecil,” katanya, menyebut alasan mendaftar jadi petugas sensus.

Fresh graduate dengan gaji besar, tuntutan juga besar

Belakangan Tyas menyadari bahwa gaji yang “besar” ternyata sejalan dengan beban kerja yang mengikuti. Sebagai petugas sensus lapangan, Tyas ditugaskan mewawancarai 240 orang dalam sebulan. Artinya jika dihitung kasar tanpa hari libur, setidaknya ia harus mewawancarai 8 orang per hari.

Bagi seorang fresh graduate, gaji besar biasanya diiringi dengan tuntutan kerja yang besar juga. (Ilustrasi Photo by Harati Project on Unsplash)

“Pertanyaan yang diajukan banyak, kolom kertas yang diisi jadi harus banyak. Belum lagi kalo hujan atau pas orangnya nggak di rumah. Ribet!” keluh Tyas. Aturan dari pusat yang sering berubah-ubah, ditambah sikap warga yang menjadi narasumber yang bermacam-macam, juga menjadi tantangan tersendiri.

Untuk mengejar target, Tyas mengaku kerap keliling untuk wawancara penduduk sampai malam hari. Selepas keliling melakukan wawancara, ia biasa melakukan rekapitulasi hingga pukul 1-2 dini hari.

“Tiap hari kayak gitu,” lanjut Tyas. “Aku jadi jarang banget main yang kayak keluar ke mana gitu. Hampir nggak pernah malah. Target-target kayak gitu bikin tertekan.”

Lingkungan tidak ramah perempuan

Lingkungan kerja yang bisa memberikan rasa aman adalah impian semua orang. Begitu juga yang impian para narasumber saya. Namun, bagi Rani dan Tyas, rupanya impian itu masih berada di angan-angan.

Di kantor Rani, tak sedikit rekan kerja yang sering melontarkan candaan yang bersifat seksis. Seksis menurut Rani berupa candaan yang mengobjektifikasi tubuh perempuan. Sialnya, kata Rani, candaan-candaan semacam itu tak hanya terjadi satu atau dua kali. Semuanya terasa semakin memuakkan karena orang-orang di sana menganggapnya sebagai hal wajar.

Sebagai pekerja baru yang tak punya kuasa, Rani tak bisa berbuat banyak. Ia khawatir jika ia melakukan teguran, relasi mereka akan memburuk dan buntutnya mempersulit pekerjaan yang membutuhkan kerjasama.

“Kalau aku marah, terus dia ikut marah, berantemlah kita. Nanti terus tidak jadi kerja. Jadi yaudah kubawa bercanda aja, masuk kuping kanan keluar kuping kiri aja,” ucap Rani. 

“Aku belajar memposisikan diri, mikir gimana cara merespon orang ini biar nggak mempengaruhi kerjaan, karena kerjaannya juga nggak mungkin diabaikan, kan?”

Tyas juga punya cerita senada. Saat bekerja di kantor, banyak rekannya sering melontarkan candaan cabul. Hal ini membuat Tyas merasa tidak nyaman. Namun, sama seperti Rani, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Diprotes orang tua murid

Kisah yang berbeda datang dari Vera, lulusan salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Jika Rani mulai bekerja setelah lulus kuliah dan Tyas setelah sidang skripsi, Vera sudah bekerja paruh waktu sejak semester dua.

Sejak kuliah semester dua, perempuan asal Bantul ini sudah mulai bekerja sebagai pengajar privat bahasa Inggris. Selain karena senang mengajar, ia kebetulan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Fleksibilitas waktu kerja membuatnya yakin mengambil pekerjaan ini.

Saat ini, Vera mengajar empat murid SD secara privat dan satu kelas ekstrakurikuler bahasa Inggris di sebuah SMP. Di samping itu, ia juga membuat overlay teks untuk sebuah media online.

Kepada saya, Vera mengaku menikmati pekerjaannya saat ini. Namun, meski bekerja karena hobi, bukan berarti pekerjaannya mulus begitu saja. Mengajar banyak anak dengan berbagai karakter yang berbeda kerap menguras energi Vera. Belum lagi, sebagai pengajar privat, ia kenyang dapat protes dan komplain dari orang tua muridnya.

Saat si murid tak dapat nilai bagus atau kalah bersaing dengan teman sekelasnya, tak jarang orang tua murid melakukan komplain ke Vera. Padahal, kata Vera, ia sudah berusaha mengajar dengan maksimal.

“Tekanan mentalnya itu kerasa banget sebenernya. Kita sebagai guru itu pasti akan diprotes wali murid, apalagi jenjang SD. Sifat orang tua beragam, kemarin aku habis diprotes wali murid privatku karena nilai anaknya turun,” ucap Vera.

Tuntutan tinggi di dunia kerjam membuat fresh graduate menghabiskan uangnya untuk refreshing. (Ilustrasi Mojok.co)

Jika sudah tertekan dan merasa stres, Vera biasanya akan mencari cara meredakan stresnya. Selama ini, yang sering ia lakukan adalah tidur dan jajan, atau pergi ke kedai kopi. Selain itu, ia juga biasa melampiaskan emosi dengan menulis di blog pribadi.

Apa yang fresh graudate lakukan saat stres?

Tekanan kerja yang tinggi membuat fresh graduate ini merasakan stres. Mereka punya cara tersendiri untuk mengurangi rasa stresnya.

Sama seperti Vera, saat merasa stres, Tyas biasanya tidur lebih awal. Tidur adalah cara meredakan stres yang paling efisien, karena tinggal merebahkan badan di kasur empuk dan tak perlu keluar uang. Selain itu, Tyas juga biasa menonton video-video lucu melalui ponsel.

Tyas tak bisa healing dengan berlibur dan bepergian ke tempat wisata. Pada hari Minggu, ia masih harus mengurusi kegiatan posyandu di desanya. Selain tak ingin kelelahan karena Seninnya harus kerja lagi, uang gaji Tyas sering kali habis begitu saja.

Ia juga mengeluhkan gaji yang sering kali terlambat. Apa lagi, tiga bulan terakhir, gaji ayahnya belum cair dan ia merelakan gajinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Ia juga memberikan uang saku untuk adiknya yang sedang berada di pesantren.

“Jadi ya gajiku bener-bener lewat doang,” kata Tyas.

Persoalan gaji yang sering terlambat dan langsung habis juga Rani alami. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, ia merasa perlu menyisihkan sebagian gajinya untuk sang adik yang juga berada di pesantren. Jika masih ada sedikit sisa lagi, ia akan mengirimkan uang itu ke Bibi di Jawa Timur yang sejak lama merawat ia dan adiknya.

“Aku dulu kan tinggal di rumah Bibiku dan ia merawat saya, jadi kalau ada sisa aku ngasih ke dia. Kan dia masih membiayai adikku juga, jadi ya semacam balas budi, lah. Meskipun itu tidak rutin setiap bulan ya, karena tidak selalu punya uang juga.”

Gara-gara gaji yang sering telat dan iklim kerja yang melelahkan itu, Rani pernah sampai sakit-sakitan karena tak punya uang untuk makan, dan stres sampai-sampai butuh konseling. Namun, karena tak punya cukup uang untuk pergi ke psikolog, ia melakukan konseling via aplikasi, yang menurut pengalamannya tak terlalu membantu seperti saat ia melakukan konseling ke psikolog langsung.

Seberat-beratnya orang kerja, lebih berat orang nggak kerja

Hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa stres yang berlebih adalah dengan bernyanyi-nyanyi sendiri di kamar. “Kalau kamu tanya tetangga kosku, paling dia akan bilang aku seperti orang gila [gara-gara sering menyanyi dengan suara keras],” ucapnya.

Selain itu, cara lain yang ia lakukan adalah dengan jalan-jalan sendiri. Ia senang mondar-mandir di kawasan sekitaran Malioboro.

“Parkir di Abu Bakar Ali terus jalan ke Malioboro sampai Tugu, terus balik lagi. Itu asik, liatin pocong di Malioboro, terus jalan, jalan, jalan. Kamu akan menemukan orang yang tidur di emperan, atau mulungin sampah, terus jalan lagi kamu akan nemuin orang pacaran yang kayak bahagia sekali. Terus jalan lagi nemuin, ah gitu banyak. Sukak aku liatin orang-orang itu,” ucap Rani, sambil menerawang.

“Terus kadang ada live music, yaudah aku nyanyi aja joget aja, bodo amat nggak ada yang kenal.”

Sementara itu, ia tetap berharap iklim kerja di kantornya dapat membaik. Ia ingin beban kerjanya sebagai fresh graduate sesuai dengan gaji, tanpa ada pekerjaan tambahan yang tak sesuai dengan job desknya. Selain itu, ia juga ingin tak ada candaan cabul dari rekan kerjanya.

Sembari berharap, saat ini Rani mengaku sedang mempersiapkan diri dengan mempelajari banyak hal. Setelah wawancara, Rani tampak mengotak-atik laptop di depannya. Ketika saya tanya apakah dia sedang sibuk, dia menjawab santai: “Lagi bikin CV baru, pengen resign.”

***

Rani, Vera, dan Tyas setidaknya masih bisa bersyukur meski beban berat dalam bekerja. Karena ada istilah, seberat-beratnya orang kerja, lebih berat orang nggak kerja.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,43 juta jiwa pada Agustus 2022. Lulusan perguruan tinggi atau sarjana yang menganggur menduduki peringkat kedua dengan 673,49 ribu orang atau 7,99 persen. Sedang, pengangguran tertinggi paling banyak lulusan SMK sebanyak 1,66 juta jiwa. 

Reporter: M Hasbi Kamil
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Cerita Mahasiswa Rantau yang Nggak Mudik Lebaran: Ongkos Mahal, Jatah Libur Tak Banyak  dan tulisan menarik lainnya di kanal Liputan.

Exit mobile version