Curahan Hati Mahasiswa Jogja yang Tak Kuat Bayar UKT, Gagal Banding dan Pilih Bekerja

Ketika orang tua tak sanggup dan kampus sulit meringankan.

Ilustrasi Curahan Hati Mahasiswa yang Tak Kuat Bayar UKT. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Uang Kuliah Tunggal (UKT) jadi momok tersendiri bagi sebagian mahasiswa dan keluarganya. Bukan perkara mudah untuk mengumpulkan uang kuliah ketika kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan. Meminta keringanan biaya kepada kampus juga tidak semudah yang digembar-gemborkan.

Mojok mendengarkan dan menuliskan curahan hati dua orang mahasiswa di Jogja yang berjuang untuk bisa membayar UKT.

***

Di tengah kebuntuan membayar UKT, aku kadang menangis sendirian. Tengah malam saat tak ada teman atau seorang pun yang menyaksikan. Tidak ada orang lain yang bisa aku andalkan. Bahkan kedua orang tua. 

Masalah keluarga

Dulu begitu lulus SMA, aku sempat menunda kuliah setahun demi bisa masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Dengan harapan aku bisa mendapatkan biaya kuliah yang ringan ketimbang berkuliah di kampus swasta. Ternyata hal itu tidak semudah yang dibayangkan.

Sejak masih SMP, orang tuaku memang mengalami kendala finansial berat. Usaha mereka bangkrut. Sengkarut urusan keuangan ini juga yang akhirnya membuat mereka berpisah. Peliknya, kedua orang tuaku pergi. Di rumahku yang terletak di sebuah kabupaten di Jawa Tengah, hanya ada kakekku. 

Sebut saja namaku Lia (23). Kepada dia yang mewawancarai, aku memberi saran agar asal kota dan detail identitasku, sesedikit mungkin ditampilkan. Bukan apa-apa, aku tak ingin terlalu banyak orang di sekitarku mengetahui persoalan yang aku alami.

Baik, aku lanjutkan cerita. Dulu di tengah frustasi, ibuku memilih untuk tinggal bersama suaminya di kota lain. Ia membawa adik lelakiku bersamanya. Sedangkan bapakku, menghilang tanpa kabar entah ke mana untuk waktu yang lama. Sebenarnya aku masih intens berkomunikasi dengan ibu untuk waktu yang lama. Bahkan sering aku datang ke kota tempat ia tinggal.

Hal itu masih berjalan baik sampai suatu ketika, ayahku tiba-tiba kembali ke rumah. Aku merasa begitu bahagia melihatnya kembali. Terlepas dari apa yang telah terjadi dan rasa kehilangan yang aku rasakan untuk waktu yang lama.

Rasa gembira itu membuat aku memberi kabar ke ibu lewat telepon. Namun, respons yang muncul tak pernah aku perkirakan sebelumnya. Respons yang membuatku hatiku begitu terhentak.

“Kalau kamu ketemu bapak, mau bareng bapak, nggak usah kontak lagi dengan ibu,” ujarnya. Kalimat yang masih aku ingat sampai sekarang. Telepon terputus. Kontaknya tak bisa bisa aku hubungi lagi.

Sejak saat itu, aku terputus hubungan dengan ibuku. Sempat aku menyambangi kediamannya, tapi ia dan keluarga barunya ternyata sudah pindah.

Menunda kuliah

Selanjutnya, untuk hidup aku mengandalkan penghasilan bapak yang tidak menentu. Bekerja serabutan sampai menjadi ojek online di sebuah kabupaten kecil yang tentu hasilnya tidak seberapa.

Pada saat lulus SMA 2017, melihat kondisi keuangan keluarga yang tidak memungkinkan, aku memantapkan diri ingin masuk ke kampus negeri. Meski dana terbatas aku mencoba berbagai jalur. Menjajal peruntungan juga di beberapa skema beasiswa. 

Namun, ternyata keberuntungan belum memihak kepadaku. Semua upaya yang aku coba tidak membuahkan hasil. Aku pun memutuskan untuk menunda kuliah setahun.

Puluhan mahasiswa UNY berunjuk rasa menuntut perbaikan sistem pembayaran UKT Yvest Ayu MOJOK.CO
Puluhan mahasiswa UNY melakukan unjuk rasa menuntut perbaikan sistem pembayaran UKT (Yvest Ayu/Mojok.co)

Untuk mengisi waktu luang aku coba mengikuti kursus desain grafis di Balai Latihan Kerja (BLK). Berharap ada beberapa kemampuan yang bisa aku kuasai untuk menunjang pekerjaan suatu saat nanti.

Akhirnya waktu ketika pendaftaran perguruan tinggi kembali dibuka pun tiba. Seperti tahun sebelumnya, beragam jalur mulai dari SBMPTN sampai ujian mandiri di kampus-kampus negeri coba aku jalani. 

Aku gagal di seleksi bersama. Namun beruntung, bisa diterima lewat ujian mandiri di UIN Sunan Kalijaga. Tapi rasa syukur ini lantas berubah menjadi tantangan yang perlu aku hadapi nyaris seorang diri.

Saat mengisi kelengkapan berkas, aku mencantumkan penghasilan orang tuaku berada di kisaran Rp1 juta sampai Rp2 juta. Itu sesuai kondisi sesungguhnya. Bahkan kalau bisa dibilang, bapakku terkadang tak punya uang sebanyak itu. Penghasilan kecilnya juga digunakan untuk menambal utang-utang yang ia miliki di masa lalu.

Saat hasil UKT keluar, ternyata jauh dari yang aku harapkan. Aku mendapat UKT golongan 3 yakni Rp4 juta per semester. Jumlah yang cukup banyak untukku dan bapak. Di tenggat waktu yang cukup terbatas, bapak akhirnya mencari pinjaman untuk menambal kebutuhan awalku berkuliah. Satu hal yang membuatku merasa beruntung, UIN tidak menerapkan uang pangkal bagi mahasiswa baru jalur mandiri.

UKT hampir membuatku menyerah

Pada dua semester awal berkuliah, aku tinggal di kontrakan bersama sejumlah teman. Mengontrak rumah buatku lumayan meringankan biaya. Mereka hanya membebankan kepadaku uang listrik setiap bulannya. Aku menempati sebuah kamar berdua dengan temanku.

Meski hidup berbareng, aku tak banyak menceritakan beban pikiran pada mereka. Bagiku, menjalani hari nyaris tanpa uang di dompet dan rekening adalah hal yang biasa. 

Ketika mereka mengajakku pergi, aku kerap menolak. “Aku lagi pengin di kontrakan saja,” atau “Lagi mager,” jadi beberapa dalih yang aku lontarkan. Padahal aku tak punya uang.

Barangkali, mereka paham bahwa aku sedang tak punya uang. Selain itu mereka mungkin ingin mentraktirku saat keluar. Tapi aku tidak ingin bergantung pada hal itu. Aku tak ingin teman-temanku melihatku sebagai sosok tak berdaya. Untuk menahan lapar saja aku bisa apalagi sekadar menahan keinginan untuk keluar dan bersenang-senang.

Selain itu aku juga nyaris tidak punya peralatan dasar penunjang kebutuhan kuliah. Tidak ada laptop untuk mengerjakan tugas. Sehingga aku perlu meminjam milik teman setiap ada kebutuhan.

Begitu pula kendaraan. Enam semester berkuliah aku tak punya motor. Untuk berangkat kuliah, aku kadang mengandalkan boncengan teman yang searah. Terkadang menggunakan transportasi umum. Dan sesekali menggunakan ojek online yang lumayan mahal ketika keadaan begitu mendesak.

Kekhawatiran yang sulit aku bendung adalah saat masa pembayaran UKT telah datang. Bapak, sering menjanjikan akan mengirimkan uang. Namun, sampai detik-detik menjelang akhir tenggat pembayaran, kiriman belum datang.

Berat rasanya, untuk mengatakan kondisi ini, kemungkinan untuk berhenti kuliah pada teman-teman terdekat. Tapi akhirnya mereka pun mengetahui situasiku yang sudah di titik nadir. Bantuan dari mereka sempat menjadi penyambung nafasku untuk berkuliah.

Gagal banding UKT

Sejak awal berkuliah aku sudah coba beberapa kali melakukan banding untuk mendapatkan keringanan UKT. Seluruh kelengkapan berkas telah kupenuhi. Skema yang ditetapkan kampus telah kujalani. Namun selalu saja gagal.

Tentu aku merasakan kekecewaan. Transparansi proses seleksi bagi penerima keringanan UKT bagiku tidak jelas. Aku tidak mengetahui bagaimana prosesnya dan pertimbangan apa yang dijadikan landasan.

Akhirnya aku mulai bekerja untuk pendapatan sendiri. Semester empat aku mulai bekerja di sebuah usaha kecil-kecilan. Sebuah usaha kuliner di pinggir jalan dengan kontainer. Bekerja paruh waktu lima jam sehari.

Penghasilannya memang tidak seberapa. Sebulan aku mengantongi sekitar Rp900 ribu saja. Namun setidaknya bisa untuk menutup kebutuhan makan dan biaya kuliah. Sebab kiriman uang dari bapak semakin tak menentu setiap bulan. Pekerjaan ini aku lakoni di semester empat dan lima perkuliahan. Pada 2020 pandemi melanda, usaha itu pun tutup. 

Aku akhirnya bekerja sebagai customer service di sebuah rintisan jenama busana muslim. Bekerja paruh waktu dengan pendapatan tak jauh berbeda dengan pekerjaanku sebelumnya. Aku merasa beruntung, lantaran masih bisa mendapat pekerjaan di tengah pandemi.

Di sela pekerjaan itu, upayaku untuk mengajukan penurunan UKT tetap berlanjut. Aku merasa kecewa terus menerus gagal urusan ini. Hingga akhirnya aku berinisiatif untuk menyampaikan kendalaku ke dekan fakultas secara langsung.

Ternyata langkah ini membuahkan hasil. Dekan mengarahkanku untuk mendatangi bagian keuangan dengan membawa rekomendasi darinya. Berkas banding yang sebelumnya sudah diajukan aku kirimkan ulang.

Cuti dan bekerja jadi solusi

Pada semester lima, akhirnya aku berhasil mendapat keringanan UKT permanen. Awalnya Rp4 juta per semester menjadi Rp2 juta per semester. Rasanya, seperti beban berat di pundakku longsor separuhnya.

Iya baru separuh, lantaran di saat bersamaan, aku sulit berkomunikasi dengan bapak. Ia juga terdampak pandemi dan memutuskan pergi dari rumah ke luar kota untuk mencari pekerjaan. Berbulan-bulan ia sulit dihubungi. 

Ilustrasi mahasiswa sering kali sulit mengurus keringanan UKT. (Mojok.Co)

Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari pekerjaan purna waktu untuk memenuhi semua kebutuhan hidupku sendiri. Pada awal 2021 aku berhasil mendapatkannya. Meski kuliah harus menjadi kompromi. Aku memutuskan mengambil cuti satu semester.

Pekerjaan itu, membuatku bisa menabung untuk membeli laptop. Mencicil untuk membeli motor bekas. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang mobilitasku. Cuti satu semester, memberiku napas. 

Sampai aku melakukan wawancara ini, aku masih berjuang untuk menyelesaikan kuliah. Kuliah sembari bekerja penuh waktu tentu tidak mudah. Namun, ini satu-satunya jalan aku bisa bertahan. 

Aku percaya, di luar sana banyak mahasiswa yang punya kondisi serupa. Berjuang lebih keras dari kebanyakan mahasiswa, untuk sekadar membayar biaya kuliah dan bertahan hidup lebih lama.

Usaha yang terdampak pandemi

Seperti Lia*, banyak mahasiswa lain yang mengalami kesulitan membayar UKT. Doni* (20) misalnya, mahasiswa UNY asal Boyolali ini bercerita kalau orang tuanya sampai menjual sapi supaya ia bisa masuk kuliah.

Ia masuk kuliah pada 2020, bertepatan dengan situasi pandemi. Kedua orang tuanya cukup terdampak situasi pandemi. Bapaknya merupakan pedagang angkringan dan sang ibu menjadi buruh pabrik.

“Dulu saat pandemi, dagangannya bapak sepi. Sisa banyak setiap hari. Sedangkan ibu, banyak mendapat potongan gaji. Padahal gaji ibu saja hanya UMR Boyolali,” paparnya.

Mimpi kedua orang tua untuk menjadikan anaknya sarjana, membuat sapi yang jadi tabungan keluarga dijual. Menurut Doni, sapi yang masih berumur satu tahun itu dijual seharga sekitar Rp10 juta.

Doni lolos seleksi UNY lewat jalur mandiri. Di awal masuk selain harus bayar UKT sebesar Rp4,2 juta per semester, jalur mandiri juga dikenakan semacam uang pangkal.

“Jadi dulu dengan uang pangkal itu, total bayar awal Rp4,7 juta,” paparnya.

Keringanan yang tidak ringan

Sebenarnya, Doni masuk bertepatan dengan berlakunya mekanisme keringanan biaya kuliah akibat penurunan kondisi ekonomi akibat pandemi. Ada potongan biaya sebesar 50 persen bagi yang mengalami kendala ekonomi. Namun, pengumuman potongan baru muncul setelah tenggat pembayaran UKT.

“Dan saat itu tidak ada mekanisme pengembalian uang yang sudah dibayarkan dengan jelas. Sehingga orang tua tetap bayar full,” paparnya saat dihubungi Mojok, Minggu (5/2).

Peliknya kondisi ekonomi, membuat Doni berinisiatif untuk bekerja saat proses pembelajaran masih berlangsung secara daring. Ia berjualan es tebu di pinggiran jalan Boyolali. Hal itu ia lakoni demi memenuhi kebutuhan pribadi dan perkuliahan di luar UKT.

Saat menginjak semester kedua, ia berhasil mendapat keringanan potongan UKT sebesar Rp500 ribu. Namun, itu hanya bertahan sampai ia semester empat. Setelah itu biaya UKT kembali normal.

Pembelajaran yang mulai luring ditambah sejumlah praktikum, membuat Doni harus ke Jogja. Sampai saat ini, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliah dengan uang terbatas, ia mengaku sedang berpikir untuk mencari pekerjaan.

“Tapi masih menyesuaikan karena baru luring dan perkuliahan padat,” ujarnya.

Biaya kuliah yang semakin mahal

UKT merupakan sistem pembayaran PTN yang mulai berlaku sejak 2013. Sistem ini, memungkinkan mahasiswa dengan latar belakang ekonomi kurang mampu untuk mendapatkan biaya kuliah yang murah. Besaran UKT terkecil per semester berkisar di angka Rp500 ribu.

Namun, masih banyak mahasiswa seperti Lia dan Doni yang merasa tidak mendapatkan besaran UKT yang sesuai dengan kemampuan ekonominya. 

Keterbatasan ekonomi, jadi salah satu penghambat mahasiswa menjalankan studinya dengan lancar. Seperti halnya Lia yang sempat mengambil cuti karena perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan. Dampak terburuk dari kondisi ini, bisa menjadi keputusan berhenti dari kuliah.

Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek pada Statistik Pendidikan Tinggi 2020 mencatat, total ada 8.483.213 mahasiswa terdaftar di Indonesia pada 2019. Dari jumlah tersebut ada 602.208 atau sebesar tujuh persen putus kuliah. Mahasiswa putus kuliah dapat terjadi karena kampus mengeluarkan, putus sekolah, dan mengundurkan diri.

Pada data itu, angka putus kuliah tertinggi memang terjadi di perguruan tinggi swasta (PTS), kemudian PTN, perguruan tinggi kedinasan (PTK), dan perguruan tinggi akademi (PTA).

Selain itu, dari tahun ke tahun, biaya pendidikan di Indonesia mengalami laju peningkatan yang cukup signifikan. Hasil laporan dari Harian Kompas 2022 lalu, menunjukkan rata-rata peningkatan gaji masyarakat Indonesia tidak mampu mengimbangi laju peningkatan biaya pendidikan yang ada.

Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa, biaya kuliah masih tergolong berat bagi sebagian mahasiswa. Banyak di antara mereka yang berjuang lebih keras dari yang lain demi mendapat gelar sarjana.

*) Nama narasumber kami samarkan sesuai permintaan yang bersangkutan.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Cara Kuliah di Fakultas Kedokteran tapi UKT Cuma 1,3 Juta per Bulan dan liputan menarik lainnya di rubrik Liputan.

 

Exit mobile version