Blusukan ke Pasar, Mencari Sajen dan Jajan Pasar yang Disukai Lelembut

Sajen, bagian dari ritual

Sajen atau sesajen, nggak bisa dilepaskan dari tradisi di Jawa. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Sajen atau sesajen merupakan piranti umum untuk menjalani proses ritual. Mulai dari upacara adat yang bersifat komunal, hingga ritual dalam cakupan rumah tangga atau pribadi.

Mojok blusukan menelusuri dan mengenali barang-barang sajen mulai dari pasar hingga penerapannya di rumah. Setiap barang yang dijadikan sajen, mempunyai kisah dan filosofi tersendiri.

***

Bau wangi menyan menguar di udara. Asapnya menyamarkan ragam sajen yang telah ditata di meja. Tumpeng gurih dan berbagai ubo rampe lain yang biasa digunakan sebagai prasyarat upacara tradisi wetonan tersaji.

Siang itu, Jumat (16/9) di Ndalem Kaneman Keraton Yogyakarta, seorang abdi dalem menceritakan bahwa bentuk tumpeng yang berbentuk segitiga mengerucut ke atas adalah bentuk relasi manusia dengan tuhannya.

“Pada dasarnya, sajen adalah upaya relasi manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama,” ujar ND Artyandari, seorang abdi dalem sekaligus perias manten yang tinggal di kompleks Ndalem Kaneman.

Ndalem Kaneman yang dibangun pada awal abad ke-20 ini menjadi titik akhir agenda Tur Wicara Ragam Keindahan Sesajen Tanah Mataram di rangkaian Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022. Titik akhir ini sebagai representasi hilir proses perjalanan sajen.

Pasar Beringharjo, pusat ragam sajen dijual

Mulanya, perjalanan menelusuri praktik yang lekat dengan kebudayaan Jawa ini dimulai dari Pasar Beringharjo. Sekitar pukul delapan pagi, dua puluhan peserta tur dipandu oleh seorang pemandu Heritage Trail sekaligus anggota Komunitas Kita Muda, Mbak Iduk.

Pemilihan Pasar Beringharjo sebagai titik awal lantaran di tempat inilah, beragam bahan baku sajen tersedia. Selain itu, tempat ini juga punya sejarah historis panjang sebagai salah satu bagian dari konsep catur gatra tunggal.

“Dalam tata pembangunan Kota Yogyakarta dikenal konsep catur gatra tunggal yang artinya empat elemen yang menyatu,” paparnya.

Empat elemen tadi yakni keraton sebagai pusat pemerintahan. Lalu Pasar Beringharjo sebagai pusat perekonomian. Alun-alun sebagai ruang publik bagi masyarakat. Serta masjid sebagai tempat ibadah bagi para penganut agama.

Kawasan dalam empat elemen tadi juga banyak dikelilingi oleh pohon beringin yang dipercaya sebagai simbol kemakmuran. Pasar Beringharjo sendiri penamaannya berkaitan erat dengan keberadaan pohon beringin di sekitarnya.

Mbak Iduk bercerita, kalau dulu Beringharjo diawali dengan sebelas los pedagang saja. Hingga lambat laun menjadi tempat mencari rezeki ratusan orang. Beragam komoditas dijual di pasar ini. Mulai sandang hingga pangan. Namun, yang kami cari adalah sesuatu yang berhubungan dengan sesaji.

Masuklah kami ke dalam. Melalui pintu masuk sisi barat. Menyapa setiap pedagang yang kami lewati. Setiap melewati bagian tertentu, pemandu akan menceritakan sisi historis atau hal menarik yang mungkin tidak kami sadari.

Hingga akhirnya tiba di salah satu kios milik Bu Eko yang menjual berbagai bahan jamu tradisional dan rempah. Selain ragam jenis bunga, rempah juga dikenal sebagai salah satu bahan untuk ritual. Rempah diolah sebagai ramuan yang dikonsumsi untuk ritual tertentu.

“Sesaji ada yang dimasak dulu kemudian diminum. Jahe, kencur, dan lainnya itu contoh bahan ramuan itu,” jelas Iduk.

“Bukan musyrik. Tentu ini punya filosofi dan tujuan baik,” lanjutnya tertawa.

Filosofi bunga dalam tradisi

Menurut Iduk, riwayat turun temurun mengenai filosofi di balik ramuan sesaji ini banyak yang terekam dalam cerita lisan. Mengingat budaya tutur mengakar kuat di Indonesia. Sehingga kebanyakan, khasiat dan cerita di baliknya diwariskan lewat cerita antar-generasi.

Mbah Mardi (81), penjual bunga yang menjelaskan tentang berbagai filosofi bunga dalam sajen. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Usai melihat kios bumbu dan rempah, kami melanjutkan perjalanan. Keluar dari gedung pasar dan menuju deretan pedagang kaki lima pinggiran jalan selatan bangunan. Di sana banyak terdapat penjual bunga.

Para peserta berhenti di lapak bunga milik Mbah Mardi (81). Perempuan paruh baya asal Klaten ini sudah sekitar 40 tahun menjadi penjual bunga di emperan Pasar Beringharjo.

Bunga-bunga yang ia jual kebanyakan digunakan untuk pelengkap ritual. Mulai dari pemakaman, mantenan, hingga berbagai ritual lain yang umum dilakukan masyarakat.

“Ada yang buat sembahyang dan ada juga yang digunakan untuk di rumah sebagai pusaka,” terangnya.

Salah satu pelanggan tetapnya yakni Hamzah Sulaeman. Sosok tersebut merupakan pemilik Hamzah Batik yang salah satu cabangnya terletak di seberang Pasar Beringharjo. Hamzah juga merupakan generasi kedua keluarga Grup Mirota, salah satu grup bisnis yang cukup ternama di Jogja.

“Pak Hamzah itu sangat merawat tradisi. Sering membeli bunga di sini untuk diletakkan di toko-tokonya,” tutur Mbah Mardi.

Bunga memang salah satu elemen yang paling sering ditemukan dalam sepaket sajian ritual. Setiap jenis bunga punya filosofinya sendiri. Filosofi tersebut berpengaruh pada penggunaannya dalam ritual.

Mbah Mardi menjelaskan beberapa filosofi bunga. Misalnya mawar yang berasal dari kata mawarno-warno atau berwarna-warni. Melambangkan kehidupan yang penuh warna. Ada suka dan ada duka. Selain itu juga ada kenanga yang artinya keno ngene keno ngono yang filosofinya mendapat rintangan dalam hidup adalah hal yang lumrah.

Selain itu ada sepaket bunga tujuh rupa yang terdiri melati, kantil, mawar merah, mawar putih, sedap malam, kenanga, hingga melati gambir. Bunga tujuh rupa digunakan dalam ritual beragam tradisi kebudayaan.

Namun, dalam filosofi Jawa, angka tujuh atau pitu kerap diasosiasikan dengan pitulungan atau pertolongan. Sehingga tak heran banyak hal serba tujuh dalam budaya Jawa.

Jajan pasar yang disukai lelembut

Dari Pasar Beringharjo, tur berlanjut ke arah selatan. Berjalan melewati Titik Nol Kilometer, Alun-alun Utara, menuju Pasar Ngasem. Pasar ini dibangun sekitar tahun 1908 dan awalnya dikenal banyak menjual unggas dan burung.

“Burung itu dikenal sebagai lima elemen pria sukses. Kelimanya itu rumah, istri, kuda, keris, dan burung,” ujar Mbak Iduk, tertawa.

Sekitar tahun 2010, pasar ini kemudian beralih wajah menjadi pasar tradisional biasa. Sedangkan lapak-lapak tersebut dipindah ke Pasar Pasty yang terletak di Jalan Bantul.

Di Pasar Ngasem, kami mencari jajan yang juga menjadi salah satu elemen penting dalam sajen. Pemandu mengarahkan peserta menuju kios jajan pasar milik Agus Prasetyo. Di sana, terdapat beragam jenis jajanan tradisional.

Meski ada banyak sekali pilihan, sang pemilik lapak menjelaskan kalau untuk keperluan sesaji biasanya hanya dipilih tujuh rupa. Seperti soal bunga, tujuh jenis jajan ini juga merepresentasikan harapan untuk mendapat pertolongan.

“Tujuh sebagai simbol pitulungan (pertolongan) dari Yang Maha Kuasa pada hambanya. Semua jenis jajannya harus yang manis,” ujarnya.

Agus Prasetyo, pemilik kios jajan tradisional, termasuk yang disukai lelembut. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Jajan yang dipilih beragam. Mulai dari serabi, lapis, celorot, tiwul, dadar gulung, kipo, putu wayang, hingga nagasari. Semua itu memiliki cita rasa manis yang dominan. Agus juga menjelaskan beberapa filosofi di balik jajan tersebut.

“Kipo itu makanan dari Kotagede yang dahulu, kalau bukan Raja kemungkinan tidak bisa menikmatinya. Kalau kue lapis itu berwarna-warni, ya seperti hidup ini. Lalu celorot dari tepung beras dan gula, itu ya filosofinya agar hidup bercahaya,” jelasnya.

Ia lanjut bercerita kalau jajanan manis ini disukai lelembut. Sehingga biasanya, jajan yang sudah disajikan dalam ritual, jika dimakan akan berbeda rasanya.

“Biasanya kalau jajan sajen dimakan, yang awalnya manis jadi hambar. Nah itu konon karena saripatinya sudah dimakan makhluk halus,” jelasnya terbahak.

Untuk hal yang satu ini, tentu ada penjelasan ilmiahnya. Ada faktor tertentu yang membuat makanan yang sudah didiamkan untuk sajian akan terasa hambar jika dimakan.

Filosofi di balik sajen

Dari Pasar Ngasem, kami berjalan ke arah barat menuju Dalem Kaneman. Bangunan yang terletak di Kelurahan Kadipaten ini memiliki luas bangunan 5595 m² dan luas tanah 10.885 m². Awalnya bangunan ini ditempati oleh KRT. Wiraguna (Putra P. Mangkubumi/HB VI) pada tahun 1904 sewaktu menjabat sebagai Patih Kadipaten Anom.

Setelah menelusuri perjalanan sajen dari mulai pencarian bahannya, di Dalem Kaneman kami belajar tentang filosofinya. Dipandu oleh ND Artyandari yang merupakan abdi dalem yang tinggal di kompleks tersebut.

Artyandari menjelaskan bahwa di masa lalu, masyarakat menandai setiap tahapan dalam kehidupannya lewat sebuah upacara tradisi. Di dalamnya ada pengharapan dan doa agar yang baik selalu menyertai dalam kehidupan.

“Ada upacara tradisional besar atau ageng yang sifatnya sekali seumur hidup. Ada juga acara tradisi yang bersifat berulang, pendinengan, seperti pengetan (peringatan) hari lahir,” terangnya yang mengenakan pakaian adat Jawa lengkap ini.

Dalam upacara tradisi besar, sajen, ritual, dan busana merupakan tiga aspek integral yang tak bisa terpisahkan. Lain hal dengan upacara kecil yang berulang, seperti peringatan hari lahir, yang hanya meliputi sajen dan upacara berdoa sederhana.

Di sebuah meja, tersaji tumpeng dan segala pelengkapnya yang biasa digunakan untuk upacara wetonan. Tumpeng yang digunakan adalah tumpeng gurih. Setiap elemen di sajen itu punya filosofi tersendiri.

Bayam misalnya, itu memiliki sifat dingin dan segar setelah direbus, hal itu melambangkan ketentraman. Lalu kecambah melambangkan semrambah atau kini bisa dipahami sebagai kapasitas intelektual yang bisa menyikapi situasi dan menempatkan diri.

Ada pula kacang panjang yang dibiarkan memanjang tanpa dipotong. Dibentuk melingkari tumpengnya. Hal ini punya harapan agar yang berulang tahun usianya panjang selayaknya kacang yang tak dipotong tadi.

ND Artyandari menjelaskan tentang filosofi sajen. (Hammam Izzuddin/Mojok.co)

Selain itu tersajid juga pisang raja dan pulut. Pisang raja punya filosofi dan harapan agar yang berulang tahun punya sifat dan kebijaksanaan layaknya raja. Lain halnya dengan pisang pulut, rasanya memang sepat, namun itu kaya filosofi.

“Sepat tapi sangat dibutuhkan. Harapannya semoga yang ulang tahun, luput dari mara bahaya, dan mampu menyerap sepatnya kehidupan,” terangnya.

Menyan sebagai media konsentrasi

Masih banyak elemen sajen lain, yang masing-masing punya filosofi tersendiri. Mulai dari jajan pasar, jenang, hingga buah-buahan.

Di tengah penjelasan, asap bakar kemenyan menyebar di sekitar. Artyandari juga bercerita bahwa keberadaannya adalah penambah konsentrasi bagi para pelaku ritual. Menyan, dalam beragam tradisi dan kebudayaan, memang digunakan sebagai wewangian yang mendukung suasana berdoa.

“Menyan itu media konsentrasi, bukan ngundang demit,” ujarnya tertawa ringan.

Selain itu dalam upacara-upacara sederhana di rumah warga, keberadaan menyan juga punya fungsi sosial. Bau wanginya yang menyebar ke sekitar menjadi penanda bagi tetangga. Supaya saling menghargai dan menjaga keharmonisan.

Perempuan itu, dengan tutur lembutnya kemudian berujar bahwa sajen adalah pungkasan. Pengingat bahwa manusia bukanlah makhluk tunggal di semesta ini.

Bahwa sajen itu media. Doa bukan saja sesuatu yang terucap, tapi perlu kesungguhan, sajen mengingatkan tentang apa yang harus dilakukan,” jelasnya.

Rangkaian pertama dari tiga sesi Tur Wicara dalam FKY 2022 ini memang ingin mengangkat sajen sebagai laku spiritual Jawa yang erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Ignasius Kendal, tim riset dari FKY 2022 menjelaskan bahwa Tur Wicara ini bukan semata-mata memperkarakan sisi adiluhung dari praktik sajen. Akan tetapi, mengajak semua kalangan untuk bersama menemui dan mengenali praktik itu secara reflektif. Hal itu dilakukan dengan menjelajahi proses praktik yang dilakukan oleh orang biasa seperti pedagang pasar hingga ibu rumah tangga.

“Itulah misi festival ini. Menengok dan mengangkat praktik subjek-subjek orang biasa di segenap lanskap kebudayaan Yogyakarta,” ujar Kendal.

Reporter: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Malam di Makam Sewu: Kisah Panembahan Bodho dan Nama Pemberian Sunan Kalijaga

Exit mobile version