Dijamin Bunting dan Bagaimana Kambing Kaligesing Berharga Ratusan Juta Rupiah

Faisal dengan cempe atau anak kambing kaligesing

Sejarah kemunculan kambing Peranakan Ettawa (PE) atau Kambing Ras Kaligesing berawal dari keinginan bangsa Belanda untuk mencukupi gizinya di Nusantara. Tapi ini konon, karena memang belum ditemukan catatan resmi yang menjabarkan tentang jelas kapan hari, tanggal, tahun, jam, apalagi alasan kambing indukan Ettawa asli datang ke Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Faktanya, kini tidak ada lagi indukan Ettawa asli di Kaligesing, adanya hanya cerita yang dituturkan para pewaris dari tokoh-tokoh yang diyakini punya andil besar melahirkan PE atau Kambing Kaligesing.

Berbicara tentang Kambing Kaligesing selalu menarik perhatian saya. Nama Kaligesing demikian tidak asing, pernah saya dengar ketika masih tinggal di kota asal, Banyumas, sekira dua windu lalu. Kala itu, nama Kambing PE Kaligesing demikian tenar, sampai-sampai peternak di daerah asal saya, berlomba membudidayakannya secara intensif.

Mengapa? Sebab kambing ras ini adalah ternak kelas kontes, ada lombanya dan berjenjang dari lokal sampai tingkat nasional. Apabila sering menang, harga jual bakal melonjak drastis, bahkan ada yang ditawarkan seharga mobil mewah, satu miliar rupiah! Wow.

Bagaimana dengan peternaknya? Kalau sempat, ‘kolo-kolo’ jalan-jalanlah ke Kaligesing, Purworejo, daerah berhawa sejuk di lereng perbukitan Menoreh.  Mendeteksi juragan kambing sangat mudah, jika ada rumah bagus ‘magrong-magrong’ dengan beberapa mobil terparkir, bisa dipastikan di sebelah atau belakangnya berdiri beberapa deret kandang panggung berisi belasan hingga puluhan Kambing Kaligesing.

Kisah para juragan muda pelestari Kambing Kaligesing, adalah cerita bolak-balik saya 32 km Pulang Pergi (PP) Purworejo – Kaligesing, tiga kali dalam seminggu ini. Bagi saya wajar saja, sebab yang akan ditemui ini adalah orang sibuk, belum tentu ada di rumah saban hari. Bisa juga mereka ada di Kaligesing, tapi tidak di rumah, melainkan sedang keluar berbisnis kambing. Atau pergi mencari rumput, sebuah ritual wajib yang tidak bisa diganggu gugat, apalagi oleh orang sekelas saya.

Maka, sekali menempuh perjalanan, saya baru bisa ketemu satu narasumber, besoknya lagi, dan lusanya juga ketemu lainnya lagi.

Diawali pertemuan saya dengan Faisal Hidayat (31), pria yang juga menjabat Kepala Desa Tlogobulu, Kecamatan Kaligesing tentunya.  Dari Pak Kades ini, saya mendapat kontak peternak sukses Sukiswanto (41) pemilik Andjangsifa Farm, Dusun Pendem Desa Pandanrejo, yang saya temui pada perjalanan hari ketiga.

Perkawinan jadi kunci kambing berkualitas

“Silakan Pak, ke sini saja, saya hari ini di rumah. Paling nanti ngawasi orang kerja (membuka lahan-red) di dekat rumah,” petikan percakapan Whatsapp yang saya terima dari Sukiswanto. Waktu menunjukkan pukul 15.00, sudah cukup sore, apalagi sedang puasa. Sore adalah waktu krusial untuk karena hari itu saya janji mengantar istri mencari kudapan untuk berbuka.

Tapi, menyiakan kesempatan bertemu Sukiswanto, rasanya eman-eman. Tidak mudah membuat janji bertemu dengan orang sukses seperti dia. “Gas,” kataku. Perjalanan 32 km PP hari ketiga dimulai. Kali ini lebih cepat, tidak sampai dua puluh menit untuk sampai di Andjangsifa Farm RT 01 RW 01 Dusun Pendem Desa Pandanrejo.

Pria yang akan dipanggil Sukis ini termasuk sosok yang sukses jadi pebisnis Kambing Kaligesing. Cabang bisnisnya mulai breeding atau pembibitan, pembesaran, pengadaan bibit dan indukan, hingga jasa perkawinan. Eh! Perkawinan kambing Bray, bukan wedding organizer manusia!

Ada beberapa sisi menarik dari proses perkawinan kambing itu, perkawinan indukan yang baik akan menghasilkan keturunan yang bagus kualitasnya. Prinsip yang juga dipegang betul oleh Sukis.

Maka syarat indukan dalam hal ini pejantan berkualitas bagus, adalah yang masih keturunan kambing jawara kontes. Anak Kambing Kaligesing, pasti mewarisi sekitar tujuh puluh persen sifat genetika ayahnya. Teori itu amat sangat dipahami peternak Kambing Kaligesing. Namun, kadang kerap diabaikan ketika mereka dihadapkan dengan permintaan pasar yang tinggi dan dalam tempo tertentu atau cepat, misalnya ketika mengikuti lelang proyek pengadaan barang dari pemerintah.

“Ketika butuhnya cepat, apalagi tidak ada spek harus keturunannya siapa, ya kadang asal dikawinkan. Kadang bisa juga pejantannya super, tapi hal itu sulit dilacak asal-usulnya,” kata Sukis.

Atau peternak kerap juga tidak memiliki akses indukan pejantan tangguh berkualitas super yang hanya dimiliki segelintir peternak kaya saja. Para peternak borju itu mengawinkan pejantan dengan betina milik sendiri, sehingga hanya dialah satu-satunya pemilik kambing super.  “Dulu yang terjadi begitu, banyak yang tidak bisa mengakses pejantan bagus, jadi pengaruh ke keturunannya,” ucapnya.

Sukis menyadari jika sikap abai dan ego itu diteruskan, kualitas kambing yang ada di Kaligesing akan semakin menurun. Tidak ada jalan lain, pemurnian keturunan harus dilakukan. “Dengan begitu, Kambing Kaligesing kualitas terbaik akan selalu ada. Niatan saya menyiapkan pejantan untuk dikawinkan dengan betina milik siapapun, adalah demi pelestarian,” tegasnya.

Selain itu, Sukis melihat ada peluang bagus di balik kawin kambing. Ia pun mulai merunut trah atau silsilah kambing. Sukis mulai membeli kambing turunan jawara. Bermodal hasil bisnis jual beli kambing, pelan-pelan pejantanan turunan jawara dikuasai.

Mahar, sekali kawin bisa Rp 5 juta

Deretan pertama kambing jawara yang dimiliki Sukis, adalah pejantan bernama Labas dan Mandala, sekira tahun 2012.  “Dulu saya punya Labas dan Mandala anak keturunan Samurai, Labas beberapa kali juara, apalagi Samurai kambing milik peternak Desa Plipir Purworejo, pada masanya tidak terkalahkan dalam kontes manapun. Keturunan Samurai ini banyak yang cari,” tuturnya.

Sukis mempersilakan peternak mana pun mengawinkan betinanya dengan Labas dan Anak Samurai. Akhirnya, turunan kambing super menyebar ke berbagai daerah di Indonesia dan beberapa menjadi juara kontes. Seperti Lamuseto keturunan Labas, kambing milik Suyanto peternak Dusun Klepu Pandanrejo, yang juara nasional di sejumlah kontes. Ada lagi Mr Bejo, cucu Labas, yang dimiliki juragan dari Mojokerto, kabarnya nilai jualnya ditaksir Rp 1 miliar.

“Labasnya sudah tidak ada, sekarang anak turunannya berjaya. Itulah kambing kalau dikawinkan dengan indukan yang jelas, hasilnya turunan berkualitas super,” tegasnya.

Guna meneruskan regenerasi, Sukis kembali dituntut mencari pengganti. Perburuan itu menemukan hasil ketika ia membeli cempe berumur delapan bulan yang dinamai Gondhes. Sukis kesengsem setelah mengetahui kakek Gondhes adalah Ranuwijaya, kambing super jawara kontes milik peternak Blitar Jawa Timur.

Gondhes, kambing jantan dari Kaligesing yang sekali kawin dengannya maharnya sampai Rp 5 juta rupiah. Foto oleh Sarwa Sembada/Mojok.co
Gondhes, kambing jantan dari Kaligesing yang sekali kawin dengannya maharnya sampai Rp 5 juta rupiah. Foto oleh Sarwa Sembada/Mojok.co

Kemudian memahari cempe jantan bernama Ferguso yang anak langsung dari Pasung Naga, kambing juara milik peternak Jepara, pesisir utara Jawa Tengah. Lalu meminang Buyut Supergres milik juragan asal Lumajang Jawa Timur dan menurunkan Cucu Samurai. “Empat bibitan itu saya pelihara dengan benar, seoptimal mungkin hingga mereka bisa menjadi juara. Gondhes misalnya, saya sapih terus sampai usianya 27 bulan,” ujarnya.

Hasilnya, Gondhes dan Ferguso menjadi langganan juara satu kontes Kambing Kaligesing. Gondhes tujuh kali juara kontes, sedangkan Ferguso empat kali. “Sudah jelas leluhur dan kualitasnya, maka banyak yang pengin minta dikawini, khususnya sama si Gondhes. Peternak ingin memelihara keturunan dari Gondhes,” ucapnya.

Keberadaan kambing jawara di farm itu, membuat peternak berbagai wilayah Indonesia datang membawa indukan betina, berharap setetes mani salah satu dari empat jagoan itu. Tentu, ada tarif yang harus dibayarkan untuk mendapat layanan dari Gondhes, Ferguso, atau dua pejantan temannya itu.

Biaya termahal tentunya untuk mendapat pelayanan prima si Gondhes dan Ferguso, maharnya Rp 5 juta. Lalu, berturut-turut Cucu Samurai Rp 3 juta, lalu paling buncit Buyut Supergres Rp 2 juta. “Biaya itu tidak melulu untuk kawin saja, tapi termasuk penitipan, pakan, dan perawatan. Sebab kambing betina akan opname di farm kami maksimal dua bulan, dan dikembalikan setelah bunting,” tuturnya.

Artinya, Sukis member garansi kambing betina yang dititipkan pasti bunting. Untuk membuntingkannya, tidak mesti sekali kawin langsung jadi. Bisa sampai berkali-kali dan tentunya sesuai dengan masa birahi pejantan dan pasangannya. “Pokoknya sampai bunting, kalau tidak ya terus di sini. Lebih baik terus di sini, daripada diburu-buru minta dikembalikan, ternyata gagal bunting,” ungkapnya.

Sebenarnya, kata Sukis, nominal yang dipatok adalah harga yang murah. Meski belum pernah menurunkan kambing juara kontes, tapi keturunan para pejantan jawara itu banyak yang laku terjual dengan harga fantastis.

Turunannya Gondhes misalnya, yang dilahirkan dari rahim betina milik peternak Kabupaten Cianjur Jawa Barat. “Lahirlah dua cempe betina, nah baru umur sebulan, seekornya laku terjual Rp 30 juta. Atau cempenya Ferguso sekarang di Jawa Timur, kabarnya sepasang laku Rp 36 juta, coba bayangkan,” katanya tegas mengajak saya untuk ikut membayangkan. Menggiurkan memang, modal cuma berapa, begitu brojol sudah banyak yang antre untuk meminangnya, selangit pula harganya.

Tapi kembali lagi soal misi, Sukis menegaskan kepada saya jika tujuannya mengawinkan kambing secara terbuka, adalah demi melestarikan ras unggul Kambing Kaligesing. Jika suatu saat Gondhes dan tiga kawannya laku terjual atau mati, masih ada peluang untuk mendapatkan Gondhes-Gondhes baru lewat anak turunannya yang tersebar di berbagai daerah Indonesia.

“Jadi tidak perlu khawatir lagi Kambing Kaligesing kualitas super akan musnah, biarpun Gondhes dijual, saya tidak perlu pusing kalau ingin mencetak Gondhes baru. Untuk informasi saja Mas, Gondhes sudah ditawar Rp 250 juta, tapi saya masih emoh, silakan bawa kalau maharnya Rp 400 juta,” tandas Sukis serius.

Awal mula adanya Kambing Kaligesing

Hari kedua, saya bertemu dengan Sutono (57) atau Pak Tono, seorang kawan lama, peternak kawakan di Dusun Somoroto Desa Tlogoguwo. Pak Tono didampingi Antonius Wahyu (26), anak bungsunya.

Ini catatan perjalanan hari kedua. Saya memacu sepeda motor menuju rumah Sutono, di Dusun Somoroto. Tanpa membuat janji, asal berangkat saja. Sutono adalah sosok yang sudah lama saya kenal, sejak tahun 2009, kali pertama saya menjejakkan kaki mengadu nasib di kota ini.

Sutono adalah tujuan saya karena adanya sosok mendiang Tarsisius Wartono, almarhum ayah beliau, yang mewariskan cerita tentang asal mula munculnya Kambing Kaligesing. Saya pun pernah menggali kisah itu dari Kakek Wartono ketika beliau masih hidup, tahun 2016 silam. Saya ingin mendengar ulang, apakah cerita itu berubah atau tidak.

Dua puluh menit perjalanan dari Kota Purworejo, menapaki jalan menanjak dan penuh kelokan tajam, sampai juga di kediaman Pak Tono. “Sepi..aduh pada ke mana,” saya bergumam sembari melihat sekeliling rumah. Saya putari sekeliling rumah Pak Tono, ke kandang kambing, kolam renang, sampai ke kandang ayam miliknya yang jaraknya lumayan dari kediamannya, tidak ketemu.

Pasrah, saya putuskan menunggu di pendopo tempat Pak Tono biasa mengisi materi pelatihan budidaya kambing. Sepeda motornya terparkir di halaman, saya yakin Pak Tono ada di dekat rumahnya.

Benar saja, setengah jam menunggu, Pak Tono pulang bersama anaknya Antonius Wahyu, keduanya dari kandang kambing yang satunya lagi, yang saya belum tahu di mana letaknya.

“Wah, sudah lama sekali Mas njenengan ndak main ke rumah. Piye kabare, sehat to?,” kata Pak Tono. “Poso Mas?,” canda Wahyu.  “Poso lah, ojo mbok gaweke kopi lo Yu,” kataku dan Wahyu tertawa saja mendengarnya.

Obrolan serius sejarah perkambingan itu saya awali dengan pertanyaan saya, “Kelingan almarhum Mbah Wartono mbiyen pernah ngendika soal kambing Pak?”.

Pak Tono menceritakan, adanya Kambing Kaligesing tak bisa lepas dari peran almarhum bapaknya. Tarsisius Wartono kelahiran tahun 1921, dan kata Sutono, sudah jadi peternak tulen sejak berusia belasan tahun. “Tapi dulunya ya adanya kambing lokal, paling Jawa Randu atau Kacang,” tuturnya.

Sutono tidak bisa merinci kapan tahunnya, tapi dipastikan sebelum Indonesia merdeka dan sebelum zaman Jepang, mendiang sang ayah sudah jadi peternak kambing. “Dulu bapak cerita, Belanda mendatangkan empat pejantan Kambing Etawa sepertinya jenis Jamnapari, pokoknya ingat saya dari India. Karena bapak dikenal sebagai peternak ulung, kambing itu dititipkan kepada beliau,” terangnya.

Kesempatan itu, kata Sutono, tidak disia-siakan almarhum. Mendiang coba mengawinkan kambing yang ukurannya beda jauh dengan ternak lokal itu. Lawan kawinnya ya hanya kambing lokal. “Kala itu adanya Jawa Randu dan Kacang. Dicoba dengan Kacang gagal karena ukuran tubuhnya terlalu kecil, dengan Jawa Randu yang lebih besar, baru berhasil,” lanjutnya.

Keturunan yang dihasilkan itu berukuran besar mengikuti genetika bapaknya. Namun, penuturan Pak Tono, Wartono tidak puas begitu saja. Ia coba silangkan lagi anakan yang disebut peternak bernama Kambing Bligon itu dengan pejantan indukan. Tapi bukan bapak kandung dari anakan tersebut. “Bapak cerita, jika kambing dikawinkan sedarah, atau dengan ayah kandungnya, akan merusak keturunan,” katanya.

Alhasil, dengan persilangan itu, lahirlah Kambing PE. Ukurannya besar, kepala bulat, kuping panjang, mampu menghasilkan susu dalam jumlah banyak, berbeda jauh dengan kambing lokalan yang ada pada waktu itu. Kambing PE diminati, termasuk dari para Belanda yang mendatangkan empat pejantan itu. Tarsisius Wartono pun tenar.

“Bapak cerita kalau dia pernah diajak Belanda keliling Jawa untuk mengenalkan dan mengajari budidaya Kambing PE. Dia yakin, Belanda punya niat jika sampai sukses, hasilnya baik daging maupun susu, pasti akan dibawa ke luar, untuk kepentingan asing,” terangnya.

Namun, kata Sutono, ayahnya tetap mengajarkan budidaya karena meyakini rencana Kolonial Belanda itu bakal sulit terwujud karena peternak Indonesia bakal semakin pintar. “Maka dengan semangat, bapak mengajarkan ilmu budidaya itu kepada peternak yang ditemui, Tapi ternyata peternak itu tidak bisa mengembangkan, kata bapak karena mereka masih mencoba kawinkan Kambing Etawa atau PE, dengan Kacang,” ungkapnya.

Akhirnya Kambing PE hanya berkembang pesat di Kecamatan Kaligesing dan sekitarnya, termasuk Yogyakarta. Kambing itu pun semakin bernilai setelah Indonesia merdeka.

Antonius Wahyu menambahkan, persebaran Kambing PE tidak hanya di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tapi merambah ke berbagai wilayah Indonesia. Populasi semakin bertambah, pun dengan peternak yang mejatuhkan minat untuk memelihara kambing berukuran super ini.

Seiring perkembangan itu, para peternak Kambing PE pun mulai berkomunikasi, mereka menginginkan adanya kegiatan untuk memamerkan hasil budidaya. Kemudian muncul istilah Pesta Patok, yakni sebuah momen ketika puluhan kambing dibawa ke tanah lapang, dan dibiarkan terikat pada patok kayu. Siapa pun bebas melihat, mengagumi, bertanya tentang budidaya, sampai melakukan kesepakatan bisnis dalam gelaran itu.

Hingga puncaknya adalah gelaran Pesta Patok tingkat nasional, sekaligus dilombakan, dan menjadi Kontes Kambing PE pertama di Indonesia.  Kontes itu, kata Wahyu, digelar di Payakumbuh Sumatera Barat, pada tahun 1984. “Gaung kontes itu terdengar pemerintah pusat, hingga Presiden Suharto memanggil almarhum kakek ke Istana Merdeka dan menerima penghargaan. Sayangnya foto kenang-kenangan saat berjabat tangan dengan Pak Harto sekarang hilang,” tuturnya.

Sejak itulah, kontes rutin digelar setiap tahun. Menjadi ajang pembuktian bagi peternak kambing mana pun di Indonesia.

Pemerintah, kata Wahyu, juga memberikan perhatian tinggi pada Kambing PE. Bahkan melakukan pengusulan, penelitian, dan menetapkan Kambing PE Kaligesing adalah ternak khas, merupakan satu galur dari rumpun dari PE, yang punya keunggulan khusus dalam adaptasi, daya produksi, dan reproduksi.  “Sekarang tidak ada lagi nama Kambing PE Kaligesing, sekarang namanya Kambing Kaligesing,” tegasnya.

Lurah Wedhus dan anak-anak muda yang memilih kambing

Membaca judul ini, jangan bayangkan kambing berukuran besar yang jadi rajanya kambing-kambing. Bukan juga sosok manusia yang memiliki kemampuan linuwih hingga bisa menghipnotis wedhus-wedhus di sekitarnya, lalu menasbihkan diri menjadi pemimpin mereka.

Lurah Wedhus adalah sebutan saya melihat kiprah Faisal Hidayat, peternak Kambing Kaligesing yang sukses menapaki jabatan politik sebagai Lurah Desa Tlogobulu. Perantaranya adalah wedhus-wedhus peliharaannya.

Sukis dan Gondhes, Kambing Kaligesing miliknya yang dilepas kalau ada yang sanggup membayar Rp 400 juta. Foto oleh Sarwo Sembada/Mojok.co

Awalnya obrolan kami di Kantor Desa Tlogobulu hanya seputar pandemi yang menghebohkan desa itu. Hingga kemudian saya iseng bertanya tentang latar belakang ekonomi Mas Faisal ini. “Yo Wedhus,” jawaban singkat padat jelas, tapi tidak begitu mengherankan bagi saya.

Mengingat budidaya kambing memang menjadi penyokong utama perekonomian masyarakat Kecamatan Kaligesing. “Terusin ceritanya Om Lurah,” saya melanjutkan.

Faisal mengatakan, kisahnya menggeluti budidaya kambing ketika awal-awal kuliah dulu. Ketika itu dosennya memberi kesempatan Faisal untuk magang kerja di Provinsi Riau. Bahkan, ada peluang Faisal bisa diangkat sebagai guru di provinsi kaya sumber minyak bumi  itu.

Keinginan itu disampaikan kepada ibunya. Tapi, Faisal mendapat penolakan. Sang Ibu tidak mengizinkannya dan meminta Faisal tetap di Purworejo menjaga keluarga. “Saya sudah tidak punya bapak, beliau meninggal saat saya kelas lima SD, usia sekitar sebelas tahun. Ibu tidak ingin saya pergi jauh-jauh, jadi diminta untuk tetap tinggal di Purworejo, disuruh ngopeni keluarga,” kata alumni Program Studi (Prodi) PGSD Pendidikan Jasmani (Penjas) Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.

Faisal yang sejak kecil sudah ditempa untuk bisa hidup mandiri, malah justru termotivasi. Ia putar otak, lalu pilihannya jatuh ke bisnis pembesaran Kambing Kaligesing. “Ya kambing ini ikon Kaligesing, mengapa tidak dikembangkan, selain itu kambing kan ternak kecil, lebih mudah diuangkan jika pemiliknya perlu untuk mencukupi kebutuhan, tidak seperti sapi. Maka, saya lihat ini prospeknya bagus,” ungkapnya, seraya menjelaskan, bisnis itu diawalinya dengan membeli kambing dua ekor, senilai Rp 1 juta.

Kambing itu dibesarkannya. Faisal ini peternak yang bertanggungjawab. Setiap hari ia merumput. Bahkan aktivitasnya kuliah di Yogyakarta, sama sekali tidak membuat kambingnya di rumah kelaparan.

“Saya kuliahnya nglaju, seminggu empat hari berangkat ke Kampus Karangmalang. Kalau pas kuliah, sangu-nya arit dan baju lapangan, yang saya simpan di bawah jok motor,” katanya.

Selesai kuliah, ia ganti kostum dan mencari rumput sepanjang jalan pulang menuju Kaligesing. Faisal tidak punya malu. Jika melihat ada pohon nangka yang terlalu rindang dan sekiranya mengganggu pemiliknya, pasti akan di-tembung. “Pak, itu sepertinya dahan nangkanya sudah terlalu rimbun, boleh saya pangkas, sekalian minta untuk pakan kambing di rumah? Itu kalimat wajib saya saat merayu pemilik pohon nangka, di sepanjang jalan mulai Karangmalang sampai (Kecamatan) Minggir Sleman,” tuturnya.

Pernah ia nembung daun nangka milik warga elit di kawasan Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Faisal malah sekalian dimintai tolong membersihkan talang rumah itu, tapi pulangnya mendapat sangu beberapa puluh ribu rupiah.

“Saya juga pernah membantu menebang pohon nangka di halaman kampus UNY. Saat itu, memang sedang dipangkas, langsung saya bantu dan diupah daun. Berkat itu juga saya mendapat order kambing dari dosen saya, kalau tidak salah beliau namanya Pak Hamid,” terangnya.

Sang dosen, katanya, bertanya-tanya tentang Kambing Kaligesing. Kemudian membeli kambing 27 ekor kepada Faisal. Tapi, Pak Dosen mensyaratkan kambing dibawa ke rumahnya di Jalan Parangtritis Bantul dengan motor, tidak boleh pakai mobil. Sekali bawa juga tiga ekor, tidak boleh kurang atau lebih.

Faisal menurut, ia bolak-balik ke rumah dosennya dengan motor, mengangkut tiga kambing. “Sampai ke rumahnya, beliau telepon seseorang, lalu orang itu datang dan membawa kambingnya. Ternyata niat Pak Hamid sangat mulia, ingin berbagi rezeki dengan orang lain dengan menggaduhkan atau menitipkan Kambing Kaligesing,” paparnya.

Bisnis kambing menyokong kehidupan Faisal muda. Ia tidak lagi kesulitan membiayai kuliahnya. Bahkan bisa membeli tanah dan kendaraan, hanya dari hasil membesarkan kambing.

Selesai kuliah tahun 2010, Faisal diterima menjadi guru bantu di SDN Tlogobulu. Selama tujuh tahun ia mengajar di sekolah itu, selama itu pula bisnis kambing tetap menjadi tumpuan hidupnya. “Alhamdulillah bisa berkembang pesat, sekali putaran pembesaran saya biasanya pelihara 30 – 45 ekor. Kambing dibesarkan lima bulan, kemudian dijual, hasilnya perekor ada keuntungan minimal Rp 500 ribu,” ucapnya.

Faisal menjabarkan hitungannya, mengapa bisnis pembesaran kambing cukup menggiurkan. Seekor cempe ia beli antara Rp 1,5 juta – Rp 2 juta. Kemudian setelah lima bulan, kambing-kambing itu laku antara Rp 2 juta – Rp 2,5 juta perekor.  Jika dihitung, total pendapatan Faisal dalam lima bulan Rp 15 juta, atau dibagi lima, sebulannya Rp 3 juta. “Lumayan kan mas,” katanya.

Faisal kumpulkan pundi-pundi itu hingga menggunung dan mencukupi seluruh kebutuhan keluarga. Bahkan, ia memutuskan untuk magang jadi Lurah Tlogobulu pada tahun 2018, bermodal rupiah hasil bisnis kambing. “Saya ada modal dikit, tapi tak tambahi dengan menjual sembilan Kambing Kaligesing, enam pejantan dan tiga betina. Hasilnya sangat lumayan, tapi jangan minta saya sebut nominal mas,” tuturnya.

Sudah bukan rahasia lagi jika magang lurah itu merupakan aktivitas fisik dan mental berbiaya tinggi. Jangan kira hidup di desa, ketika proses politik seperti itu, njuk sang jago tidak keluar biaya apa-apa. Sudah tentu nominal besar dikeluarkan, terutama untuk menjamu siapa pun yang datang ke posko pemenangan.

Singkat cerita, Faisal berhasil merebut hati rakyat dan terpilih menjadi kepala desa. Bisnis Kambing Kaligesing pun tidak ia tanggalkan. Bahkan, kesempatan menjadi lurah, dimanfaatkan untuk mengajak generasi muda Tlogobulu agar menjadi pebisnis kambing ulung.

Meski sama-sama di Kaligesing, tapi ada perbedaan pola pikir budidaya kambing antara warga Tlogobulu, dengan desa-desa sentra Kambing Kaligesing seperti Tlogoguwo, Pandanrejo, atau Kaligono. Sebagian warga Tlogobulu terutama generasi tua, kata Pak Lurah, menganggap beternak kambing itu aktivitas samben alias sambilan.

Tidak digeluti secara serius. Imbasnya, kadang peternak asal mengawinkan kambing tanpa memperhatikan indukan, sehingga kualitas keturunannya kurang bagus. Muaranya, harga jual pun ikut rendah, tidak bisa maksimal seperti kambing ternakan farm besar model Andjangsifa Pandanrejo. Atau, perawatannya kurang maksimal hingga bobotnya tidak sesuai harapan.

Akibatnya, harga jual tidak sesuai keinginan. “Maka seringkali warga kaget, kenapa kok kambing saya harga jualnya bisa mahal, tidak seperti punya mereka. Saya sampaikan, itu karena kawin dengan indukan bagus dan perawatan optimal,” terangnya.

Pelan-pelan pola pikir itu diubah. Peternak yang belum terbiasa dengan mengawinkan indukan dengan memperhatikan silsilah pejantan dan betina, mulai diajak untuk menerapkan budidaya secara benar. Setidaknya, meski punyanya Kambing Kaligesing kualitas biasa, perawatan pun wajib dilakukan dengan baik dan benar, sehingga hasilnya tetap optimal. “Pakan tidak cukup dengan hijauan saja, perlu diberi komboran atau bekatul yang dilarutkan dengan air. Minimal pagi komboran, sorenya daun hijau maka bobot kambing bisa optimal,” ucapnya.

Sekarang ini, kata Faisal, ada dua warga yang serius menggeluti usaha pembesaran Kambing Kaligesing, dan semuanya berusia di bawah 40 tahun. Kalau bicara yang sedang merintis, Faisal menjelaskan ada lebih dari dua puluh orang. Mereka semuanya adalah generasi milenial, rata-rata berumur di bawah 30 tahun.

“Mereka baru punya beberapa ekor, tapi kami melihatnya sudah sangat bagus. Mereka mau merintis, mau melestarikan Kambing Kaligesing saja, harus kita apresiasi lebih,” tegasnya.

Budidaya Kambing Kaligesing pula yang membuat para pemuda enggan merantau. Mereka memilih tetap tinggal, menggerakan perekonomian dari desa, dengan kambing sebagai tumpuannya. Faisal mengklaim tidak sampai lima persen warga Tlogobulu yang pergi merantau.

Pun demikian dengan Faisal, sang Lurah Wedhus, jika dulu nekat pergi merantau, belum tentu nasibnya semoncer sekarang.  “Sekarang alhamdulillah bisa punya apa-apa. Ini hampir semua kambing saya dijual, untuk beli armada truk dan penggilingan beras, saya ingin mencoba mengembangkan sayap di usaha yang baru, tapi tentu jangan sampai meninggalkan Kambing Kaligesing,” tandas Faisal penuh keyakinan.

BACA JUGA Faizin dan Lahirnya Dombat di Dieng dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version