Cerita dari Orang-orang yang Kena Covid-19 Lebih dari Sekali

Cerita dari Orang-orang yang Kena Covid-19 Lebih dari Sekali

Empat orang penyintas bercerita bagaimana mereka bisa kena covid-19 dan melaluinya dengan tabah. Bukan hanya sekali virus itu mampir ke tubuh mereka, ada yang dua kali bahkan tiga kali. Dari yang merasa seperti sakaw, hilang kesadaran, hingga merasa kualat karena sempat tak percaya ada Covid-19.

3 kali kena covid, rasanya seperti kena santet

Hati yang gembira adalah obat. Bagi Lidia Nofiani (30), kalimat itu bukan sekadar kalimat. Tiga kali kena Covid-19, membuatnya harus menjaga kejiwaannya agar tetap waras. 

“Pas kena pertama, itu awalnya demam, langsung terkapar, soale panas tinggi, linu-linu, pusing banget. Awale tak pikir keno santet Mas, rasane meh podo,” kata Lidia yang mengakhiri chatnya dengan emotikon tertawa.

 Saya mengenal Lidia cukup lama. Sejak ia aktif di komunitas dan festival film di Yogya. Baru beberapa tahun ini ia merantau ke Jakarta. Bersama kawan-kawannya ia mendirikan usaha di bidang talent management dan public relations. Head of Talent PositiVibe Entertainmet, itu jabatannya saat ini. 

“Paling itu memang santet yang dikirim ke kamu Lid,” balas saya dalam chat WA.

“Udah tak cek mas, bukan,” kata perempuan yang juga dikenal sebagai tarot reader ini masih dengan emotikon tertawa.

Lidia menceritakan, Covid-19 pertama menghajar tubuhnya sekitar bulan Mei 2020 atau masa-masa lockdown pertama di Jakarta. Awalnya ia sempat pindah ke apartemen teman, kemudian 3 hari demam, indera penciuman dan perasa juga hilang yang membuatnya tidak enak makan. Setelah dicek ia reaktif. Hanya dia yang positif, sementara temannya tidak. Seminggu kemudian kondisinya membaik.

Saat kena Covid-19 yang kedua, Lidia tidak tahu dia kenanya di mana. Tahu-tahu ia merasakan pusing, tapi nggak pakai demam. “Iseng aku swab to Mas, ternyata reaktif, jadinya gak berani keluar-keluar,” kata Lidia. Serangan kedua, terjadi sekitar akhir tahun 2020.

Serangan ketiga diterima Lidia pertengahan tahun ini. Ia mengungkapkan sempat membuat event. Ada pembicara yang datang ke lokasi acara mepet dengan saat live. Padahal panitia sudah menyiapkan fasilitas untuk swab. Karena datang mendadak itulah, tamu itu tidak sempat swab.

“Tiga hari kemudian narasumber itu memberi kabar kalau positif,” kata Lidia. Kabar itu membuat panik tim serta dirinya. Apalagi beberapa hari setelah acara, ia merasa badannya nggak enak. Lidia kemudian melakukan tes beberapa hari kemudian. “Saat PCR, aku dinyatakan positif dengan CT 13,9, artinya jumlah virusnya banyaaak,” katanya. 

Tiga kali kena Covid-19, gejala yang dirasakan Lidia berbeda-beda. Serangan ketiga ini mirip dengan yang pertama, pusing, demam, pilek, tapi nggak kehilangan kemampuan penciuman dan rasa. “Tapi nggak doyan makan, jreeeeng,” katanya.

Lidia sendiri tipe orang yang sangat taat prokes saat bekerja. “Taat poool. Aku ki tukang semprot je di lokasi acara. Paling banter kalau urusan marah-marah, terutama kalau ada yang maskernya nggak dipakai. Kadang bagian peralatan tuh yang rodo susah dikandani nek syutingan,” katanya.

Meski sudah tiga kali kena covid, masih saja ada teman Lidia yang nggak percaya. “Bener po kamu diendorse covid. Itu beneran dibayarin gitu?” kata Lidia menirukan omongan temannya. 

Temannya itu percaya kalau ada orang-orang yang disuruh pura-pura kena Covid-19. “Ada juga yang bilang covid itu tak lebih pengalihan isu pada kondisi negara saat ini,” kata Lidia.

Saat mendapat serangan ketiga, Lidia aktif cerita di media sosialnya. Iseng ia pernah membuat polling di Instagram. Hasilnya, ada orang-orang yang nggak percaya Covid-19,  mereka juga tidak mau vaksin.

Saat mendapat serangan pertama dan kedua, Lidia tidak bercerita di medsos. Itu karena ia tidak ketemu banyak orang. Ia hanya memberi informasi ke orang-orang yang berpapasan atau ketemu dengannya.

“Tapi pas kena covid sampai 3 kali, wah jadi mikir jangan-jangan memang ada orang-orang yang beneran nggak percaya kalau covid itu ada sehingga pada sembarangan. Makanya akhirnya saya memilih untuk cerita. Siapa tahu ada yang ga percaya, jadi percaya,” katanya.

Lidia menambahkan, kalau ada yang percaya dengan teori konspirasi, ia mempersilahkan. Namun, virus Covid-19 itu sudah ada di sekitar orang-orang, jangan abai untuk prokes. “Kalau nggak ya nanti ngrasain Corona kayak saya. Ga enak loh, kayak orang sakaw,” kata Lidia terbahak.

Melewatkan cuci darah karena Covid-19

Hartoyo (paling kanan) bersama teman-temannya dalam kegiatan ecoprint sebelum pandemi. Dok. Listi Ndoroputri/Mojok.co

Agustinus Hartoyo (42), mengingat kejadian pada Februari 2021 saat ia merasakan tenggorokannya panas. Saat itu ia masih bisa beraktivitas untuk berjualan makanan kecil ke sekolah-sekolah. Namun, saat batuknya keluar darah, ia langsung ke UGD rumah sakit. Setelah diswab, ia dinyatakan kena Covid-19. 

Selanjutnya ia menghabiskan 9 hari isolasi di rumah sakit. “Saat itu pokoknya gimana caranya hati itu dibuat senang meski sendirian. Mulai dari nonton televisi, mainan HP, makan, prinsipnya hatinya harus senang dan tenang karena imunnya akan meningkat,” katanya.

Serangan pertama dari Covid-19 relaltif bisa dilalui oleh Hartoyo dengan ringan. Tidak ada gejala yang terlalu berat yang ia rasakan. 

Baru saat kena Covid-19 yang kedua yang terjadi Juli 2021, ia mengalami situasi yang lebih berat.  Awalnya Hartoyo akan melakukan cuci darah, kegiatan rutin yang ia lakukan seminggu dua kali. Sebelum melakukan cuci darah, seperti biasa perawat terlebih dulu melakukan screening. Saat memegang kulit Hartoyo, perawat merasakan badan Hartoyo hangat. Sesuai prosedur,  perawat tidak berani melanjutkan proses cuci darah.

Hartoyo lantas dibawa menggunakan kursi roda ke UGD untuk melakukan tes swab. Dari situ diketahui kalau ia kena Covid-19 dan harus melakukan isolasi. “Saat itu hari Kamis saya harusnya cuci darah, tapi karena positif, nggak bisa, hari Senin, jadwal berikutnya juga saya lewatkan,” kata Hartoyo. 

Bagi penderita gagal ginjal seperti dirinya bukan perkara  mudah melewatkan jadwal cuci darah. “Karena terlambat cuci darah, napasnya jadi susah, kayak orang renang yang nggak bisa, gelagepan,” kata Hartoyo. 

Situasinya makin sulit karena pasokan oksigen saat itu terbatas. “Pernah pas sedang sesak napas jam 3 pagi, untungnya pas ada, setelah itu habis lagi. Kata perawat, pasokan oksigen memang sedang sedikit,” katanya.

Hartoyo yang selalu berupaya berpikir positif, sempat kalut. Pengalamannya selama 12 tahun sebagai penderita gagal ginjal membantunya untuk tetap tenang dan jangan sampai stres. “Selama 9 hari isolasi mandiri, ibaratnya saya bertarung dengan diri sendiri,” katanya.

Pulang ke rumah, kondisi Hartoyo belum sepenuhnya sembuh. Ia tidak sanggup lagi jualan karena masih merasakan kaki linu, pegel, nyeri. Digunakan untuk jalan kaki saja nggak lancar. Ia beberapa kali mencoba jualan, namun kondisinya nggak memungkinkan. Ia juga takut nanti malah kena Covid-19 untuk ketiga kalinya. Paling ditakutinya kalau sampai menularkan ke bapak ibunya. 

Hartoyo tinggal bersama bapaknya yang seorang pengayuh becak dan ibunya yang bekerja di konveksi yang tinggal di Kampung Gebal Kulon, RT 9, RW 15, Canan, Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. “Harapan saya, bisa hidup berdamai dengan Covid-19,  yang belum vaksin segera vaksin, biar sehat semua. Teman-teman pasien gagal ginjal, tetap semangat dan hepi ya,” kata Hartoyo berpesan. 

Merasa kualat karena sempat tak percaya covid-19

Dian Ayu Kurnia Dewi (36), karyawan bank di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah menjadi penyintas Covid-19 dua kali. Awalnya Nia, tak percaya kalau Covid-19 ada. “Saya sempat menganggap covid nggak ada,” katanya saat dihubungi Mojok.co, Jumat (27/8).

Nia dan suaminya, penyintas Covid-19 lebih dari sekali. Foto Dok. Nia/Mojok.co

Saat kena serangan pertama, Desember 2020 ia pun masih menganggap bahwa Covid-19 tak lebih seperti flu biasa. Saat itu ada salah satu karyawan di tempatnya kerja dinyatakan positif, sehingga dilakukan pelacakan ke karyawan lain. Sesuai dengan prosedur, meski tidak merasakan gejala apa-apa ia melakukan isoman di rumah serta melaporkan ke RT/RW tempatnya tinggal. 

“Merasa tidak ada gejala apa-apa ya saya mikirnya kena Covid-19 itu seperti flu saja. Prokes saya juga nggak ketat. Suami saya yang prokesnya ketat, disiplin, kalau saya, cuci tangan saja males,” kata perempuan yang akrab dipanggil Nia ini tertawa. 

Saat kena untuk kedua kalinya, Nia baru meyakini, Covid-19 memang ada. Nia dan suaminya saat itu sudah vaksin dua kali karena termasuk pekerja yang mendapat prioritas untuk mendapatkan vaksin.  “Saat itu yang kena suami saya dulu, dia protes ke dokter kenapa sudah vaksin tapi tetap kena. Dokter bilang, sudah vaksin tidak menjamin seseorang tidak kena. Vaksin memperingan efeknya saja,” katanya.

Saat itu, Nia masih belum terkena. Ia dan suaminya pisah ranjang, namun menggunakan kamar mandi yang sama. Beberapa hari kemudian, Nia mengalami gejala yang juga dialami suaminya, ditambah tenggorokan sakit, dan ia kehilangan indra perasa dan penciuman. “Saat itu saya baru percaya covid, gejala ringan saja rasanya ampuuun… bagaimana kalau yang berat,” kata Nia. 

Selama sekitar 10 hari, Nia kehilangan indera perasa dan penciuman. Rasanya tersiksa, karena makan makanan seenak apapun, rasanya hambar. Selama isoman, Nia dan suaminya berkonsultasi dengan dokter secara online dan banyak minum obat dan vitamin. 

Satu hal yang dipelajari oleh Nia adalah pentingnya kesehatan mental saat  melakukan isoman. Selama isoman ia sengaja tidak memberi tahu tetangganya. Ia berkaca dari pengalaman saat kena pertama kali. Justru perlakuan beberapa tetangga membuatnya down. Maka ketika kena Covid-19 yang kedua dan tetangga bertanya kenapa terus di rumah ia lantang menjawab, “Sedang WFH!! Bodo amat, daripada dipaido,” katanya tertawa. 

Selama isoman, Nia memang hanya di rumah saja. Untuk menjaga mentalnya, ia berjemur sambil banyak foto selfie, dengerin musik, masak, dan nonton TV. “Yang penting hepi, kalau banyak pikiran malah nggak sehat-sehat, sekarang saya sangat percaya Covid-19 itu ada dan nggak enak kalau kena,” katanya.

Kabut otak yang menyerang praktisi komunikasi

Benedicta R Kirana (39)  atau biasa disapa Bene ketika dihubungi Mojok, tengah dalam proses masa pemulihan setelah kena Covid-19 yang kedua pada akhir April lalu. Ia mengalami brain fog atau kabut otak, sebuah kondisi dimana seseorang sulit untuk berkonsentrasi atau fokus pada sesuatu. 

Benedicta R Kirana. Dok Lulu Lutfi Labibi.

Serangan pertama sendiri dialami Bene di awal Maret 2020. Saat semua masih bingung, bahkan WHO juga masih bingung. Kesiapan pemerintah Indonesia juga masih kurang saat itu. Tes PCR saat itu masih terpusat di UI dan harus melewati prosedur yang berbelit.  

 “Saat itu aku merasa terpapar di lift apartemen, karena tempat itu yang bisa diakses orang segedung. Saat itu juga nggak maskeran karena belum ada anjuran untuk itu,” kata perempuan Jogja yang kini menetap di Jakarta.  

Bene mengalami gejala fatigue atau kelelahan yang parah, lesu dan kurang tenaga dan ciri-ciri Covid-19. “Waktu itu ingin PCR, tapi ternyata sangat sulit, bahkan rumah sakit tidak bisa merekomendasikan, harus dari Puskesmas dan kecamatan. Jadi akhirnya nggak jadi, aku pasrah saja di rumah. Badan makin ambyaar,” kata Bene. 

Bene kemudian izin ke kantornya untuk istirahat dan mencoba mengobati diri sendiri berdasarkan gejala. Ia memutuskan untuk isoman di apartemen, memenuhi kebutuhannya sendiri, ia juga tak keluar, takut menularkan ke orang lain, ia berusaha mengobati diri sendiri. “Pasrah saja saat itu, ngesot aja di kamar. Gejalanya sangat khas, fatigue yang parah, batuk, tenggorokan sakit tanpa pilek, sesak,  gatel-gatel, mual, mencret, dan di hari ke-10 mulai anosmia,” kata Bene.

Anosmia ini cukup menyiksa Bene karena berlangsung selama 5 minggu, aku sempat panik. Lidahku sampai putih semua, susah mengecap dan hidup tidak bisa membaui apapun. “Aku self diagnosa, tapi sebenarnya aku dipantau dokter, dia pakde suamiku dari Perancis. Setiap hari ngecek aku, gejala kayak apa, dan sebagainya. Diminta minum obat ini, obat itu. Obat-obat basic seperti paracetamol, obat diare. Untungnya obat-obat itu ada di apartemenku,” ujar Bene.

Selama isoman itu, Bene sendiri. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan logistiknya bisa tercukupi. Kalau butuh makan ia tinggal pesan Gojek, diantar di bagian penerima tamu, kemudian diantar sampai depan pintu kamarnya. Karena izin istirahat tiga hari, hari-hari berikutnya Bene sudah disambi bekerja semampunya supaya ia punya  rutinitas. Intinya karena harus berada di dalam apartemen selama 5 minggu, kalau nggak ada rutinitas seperti di dalam penjara.  “Nganti kewer-kewer lah 5 minggu itu.” kata Bene. 

Bene kembali kena Covid-19 pada Mei 2021. Kali ini meski sudah memiliki persiapan yang lebih, tetap saja, ia tumbang. Selama 2 minggu lebih ia cuma gulung-gulung di kasur. Ia terbiasa sendiri, sudah biasa, nggak komunikasi dengan orang juga nggak masalah. Komunikasi sehari-hari untuk maintaining logistik keperluanku, makana, minuman, obat-obatan terpenuhi. 

Serangan yang kedua, lebih berat dari yang pertama. Di hari kesepuluh setelah dinyatakan positif, di malam hari ia mulai tidak sadar diri. Bene tidak tahu ia siapa, sedang ada dimana. Ia juga lemas, tidak bisa makan karena nggak bisa nyiapin makanan sendiri, nggak bisa pesen makanan. Pernah aku bingung satu jam bingung nggak tahu dimana, terus tak tinggal tidur, aku bangun, baru sadar aku siapa. 

Saat akan membeli obat di Tokopedia, membaca deskripsi saja nggak bisa. “Bisa baca tapi nggak paham maksud dari tulisan itu. Udah, saat itu mau booking rumah sakit, tapi saat itu  untungnya ada teman yang membantu, menerjemahkan isi otakku. Dia memasok logistiku sehari-hari,” katanya. 

Jika serangan pertama yang cukup berat adalah anosmianya, maka saat kena Covid-19 yang kedua,  Bene juga mengalami yang disebut brain fog atau kabut otak. Bahkan setelah dinyatakan sehat, kabut otak itu masih mempengaruhi caranya berpikir. Sebagai praktisi komunikasi ia mengalami kekacauan dalam kognitifnya. 

“Nggak kebayang saat itu, Mas, orang komunikasi yang hubungannya dengan strategi komunikasi, nyusun kalimat saja nggak bisa. Aku sempat frustasi, ini kan modalku untuk pemasukan sehari-hari,” kata Bene. Ia akhirnya datang ke dokter untuk bertanya, berapa lama ia akan mengalami itu. 

Oleh dokter, Bene mendapat penjelasan, fungsi kognitifnya akan kembali dalam tiga bulan, tapi bisa lebih cepat kalau rutin olahraga dan sering berada di udara terbuka. “Saat itu juga aku pulang ke Jogja, jalan kaki di sawah, olahraga,” katanya. 

Selama dua tahun masa pandemi, Bene belum bertemu dengan suaminya yang orang Perancis karena tidak bisa masuk ke Indonesia. Dia sampai bingung dengan cara aku menyusun kalimat dan cara aku berkomunikasi nggak terstruktur dan se-efesien dulu. “Baru dia ngeh, kalau sakitku parah karena aku nyusun kalimatnya ambyar,” kata Bene.

Ia dan suaminya sebenarnya cukup enteng menghadapi situasi seperti sekarang. Ia dan suami percaya bahwa Covid-19 itu seperti arisan, yang bisa mengenai siapa saja. Pada waktunya semua orang akan dapat giliran. “Jadi waktu aku kasih kabar ke suamiku, dia menyemangatiku dengan caranya. Dia keplok-keplok dan bilang, selamat ya menang arisan!!,” katanya tertawa. 

Saat kembali ke Yogya itu, Bene menyadari ada gap informasi yang sangat jauh, antara masyarakat di kota dan di desa. Ia beruntung, termasuk orang yang punya privilege terhadap akses informasi sungguh mudah. Bisa memilih mana informasi yang berasal dari sumber terpercaya dan mana informasi yang cuma hoax saja. Serta bisa menggunakan informasi itu untuk bertindak antisipatif terhadap semua hal buruk yang mungkin terjadi. Bene terbiasa melakukan perencanaan yang baik dan terstruktur.

Kondisi tersebut berbeda dengan kampungnya. Akses terhadap informasi tidak semuda itu. Tetangga depan rumahnya bahkan tidak punya televisi dan handphone. “Ketika mereka tiba-tiba sakit, batuk, dua minggu nggak bisa ngapa-ngapa dan tetap ngarit, yang aku garis bawahi adalah, kita semua bisa terbantu kalau punya akses informasi,” kata Bene. 

Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah harus menyediakan informasi itu secara merata dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat. “Cara-cara yang minim jargon, yang mudah dimengerti dan disesuaikan dengan daerah masing-masing sehingga masyarakat bisa menyerapnya dengan mudah,” katanya. 

Sebelum menutup obrolan, selain kangen dengan bandnya, Bene menceritakan satu kisah ambyarnya saat kena Covid-19 yang kedua. “Eh tak critani, saking ambyare uripku. Pernah, jam tiga pagi itu aku pingin teh anget. Mikirnya itu sampai tiga jam. Kepingin jam 3 isuk, menyat nggawe jam 6. Padahal pawone mung 3 meter seko tempatku. Sedih, kalau ingat aku kehilangan kemampuan kognitif, rasane pingin koprol!” ujar vokalis Airport Radio ini tertawa. 

 

 

Exit mobile version