Anak yang Bercita-cita Membuat Wangi Bau Sampah TPST Piyungan

Anak yang Bercita-cita Membuat Wangi Bau Sampah TPST Piyungan

Anak yang Bercita-cita Membuat Wangi Bau Sampah TPST Piyungan

Musim hujan sudah tidak bisa ditebak lagi kapan munculnya. Namun, ada satu musim yang tetap di Bantul. Mau hujan atau tidak, ada bau sampah ketika melintasi kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan. 

****

Anak-anak yang bermain Free Fire di dekat gunungan sampah

Motor saya melewati Jalan Bawuran, dari arah Wonolelo. Di balik Puncak Sosok, ada segunung sampah dan rongsok. Di pertigaan arah masuk menuju TPST Piyungan, saya melihat banyak spanduk bertebaran. Tulisannya berisikan perlawanan. Mulai dari “Lahan sisi barat untuk bernapas kami!”, “Aspirasi kami dengarkan!”, “Tolak penggusuran sampai mati”, bahkan sampai “Usut tuntas mafia tanah.”

Dari sekian banyak spanduk, perhatian saya tertuju kepada satu tulisan, yakni “Bapak Gubernur selamatkan anak cucu kami.” Beberapa pertanyaan berkelindan di pikiran saya. Setidaknya ada beberapa terma yang runtut dan bisa menjadi satu garis lurus dari spanduk-spanduk tersebut, yakni lahan sisi barat, aspirasi, penggusuran, mafia tanah, dan anak-anak.

Di sebuah tanah kosong yang menghadap langsung ke persawahan, saya bersua dengan beberapa anak-anak yang tengah ngaso melihat matahari perlahan tenggelam di makan malam. Ada enam anak sore itu.

Saya hampiri, berkenalan, dan kami pun perlahan akrab lantaran ngobrolin gim dan hiruk-pikuk para YouTuber kesukaan mereka. Pertanyaan template macam “Mas, main Epep (Free Fire, red), nggak?” menjadi tajuk utama, tak bisa dimungkiri. Hampir setengah jam obrolan kami bermuara perihal gim dan budaya pop. Yah, seperti kata handai taulan dunia per-gim-an sekalian; bagimu gim-mu, bagiku ya gim-ku.

Truk pembawa sampah hilir mudik melewati kami. Debu-debu beterbangan khas daerah industri bilangan Piyungan. Pabrik, memang menjadi bangunan wajib, kanan-kiri selalu ada cerobong-cerobong raksasa bak menyangga langit. Cerobong yang akan membawamu ingat kembali kepada sebuah zaman di mana revolusi industri Inggris bergeliat hebat. Di mana jumlah populasi kupu-kupu Biston Betularia yang bersayap hitam menyalip yang bersayap putih.

Tapi tidak mungkin, kan, anak-anak di sekitar sini bernasib sama seperti kupu-kupu Biston Betularia bersayap putih hanya karena ingin bertahan hidup? Nahasnya, memang begitulah cara mereka untuk bertahan. Jika kupu-kupu Biston Betularia bertahan dari asap pabrik, anak-anak ini bertahan dari bau sampah yang konsumsinya bisa lebih sering ketimbang mereka menghirup udara segar yang masih tersisa di bumi.

Selain mereka hidup bersama bau yang tak sedap, hidup mereka juga penuh dengan perlawanan. Rizky, yang tertua di antara mereka, tahu bahwa demonstrasi dua bulan silam dikarenakan konflik tanah di area Barat. “Katanya mau dibangun tempat pengelolaan sampah dan orangtua kami menuntut masalah lingkungan,” kata siswa kelas 1 SMP ini.

“Kalian ikut demo itu?” tanya saya. Mereka selalu melakukan dua kombinasi yang menurut saya khas anak-anak, yakni tertawa dan malu-malu. Mereka hanya menonton saja. Tidak boleh sama orangtua adalah alasan utama. Mereka hanya melihat dari jauh, katanya untuk gayeng-gayengan.

Dalam sebuah obrolan yang kebanyakan guyon karena saya terus mengatakan bahwa Free Fire adalah gim burik, namun saya sempatkan bertanya apa cita-cita mereka. Semua kompak ingin jadi gamers. Namun, jawaban dari Rizky membuat saya tersenyum simpul. Begini inti dari kata-kata Rizky, “Kalau udah besar mau jadi orang hebat (mungkin maksudnya orang sukses atau cerdas, red) biar bisa terus tinggal di sini dan mengubah tempat kami jadi wangi.”

“Wangi ki rasane piye?” tanya anak-anak lain dengan nada iseng. “Kayak parfum bapak ketika mau Jumatan,” timpal Rizky dan disambut dengan gelak tawa. Ya, saya juga tertawa, namun penuh dengan “Amin” yang keluar dari hati saya yang paling dalam.

Bau sampah, tidak jijik dengan makanan, dan ranking terakhir di sekolah

Bayangkanlah ketika kalian makan ditemani dengan aroma-aroma tak sedap. Saya ingat bagaimana kakak saya merasa jijik kala saya hanya bilang “tahi kuping” ketika ia sedang mengunyah tahu walik. Kali ini kasusnya lebih pelik, saya dan anak-anak tadi makan siomai ditemani aroma sampah yang pating sliwer sembribit bikin bulu hidung saya bergidig ngeri. Nggak ada hantu, nggak ada hawa dingin, bulu kuduk saya meremang.

Mungkin, jika hidung saya bisa ngomong, ia bakalan teriak, “Ampun Gustiiiii, paringono wangiiii!”

Setiap hari truk-truk bermuatan sampah hilir mudik dari dan ke TPST Piyungan. Gusti Aditya/Mojok.co

Blas saya ini bukan tipikal orang yang gampang merasa jijik. Bahkan saya pernah makan mie ayam di samping tahi ayamnya langsung saat KKN. Namun kali ini agak sedikit berbeda. Truk-truk yang lewat membuat saya bingung antara hendak melihat kol rebus—kawan pendamping siomay dalam lautan bumbu kacang—atau melihat isi truk sampah yang penuh dengan sayur busuk yang kebetulan akan bermuara di TPST Piyungan.

Ngunyah siomai, rasanya seperti ngunyah ban motor bekas yang sudah alus permukaannya. Nggak habis-habis, padahal sudah saya kunyah sesuai sunnah Rasul. Aroma bumbu kacang yang harusnya eco nan pekat menggiurkan, rasanya jadi mblenek dan berubah menjadi bau-bauan yang blaasss nggak tegel untuk saya tuliskan. Sedang anak-anak ini mengunyah dengan lahap.

“Nggak pernah jijik. Lha meh piyee?” begitu kata anak berkacamata bernama Liyan, ketika saya tanya apakah kalian nggak merasa jijik makan dengan bau seperti ini. Agaknya pertanyaan saya amat bodoh, lha wong rumah mereka jaraknya lebih dekat dengan TPST Piyungan ketimbang tempat kami saat ngunyah siomai.

Telur yang harusnya jadi bagian favorit saya sebagai penutup, justru membangkitkan imajinasi saya perihal perih zaman ra enak masa penjajahan. Seakan bodo amat, Liyan dan kawan-kawan bahkan sampai ngokop bumbu kacang dan membuat plastik siomai menjadi kempot karena terus menerus mereka disedot.

Nggak pernah saya merasa serekoso ini dalam rangka makan siomai. Biasanya mulus-mulus saja tanpa ada kendala. Saya kunyah, masuk kerongkongan, dan biarlah perut yang memproses sampai jadi feses. Namun, kali ini tentu beda. Ada bau sampah yang berkelindan dan rasanya lebih bikin mual ketimbang bau feses itu sendiri.

Ketika anak-anak itu sudah ngobrol sana-sini, terutama ghibah kawannya yang cupu main Free Fire, saya baru selesai menghabiskan satu plastik siomai seharga tiga ribu rupiah.

Pertanyaan saya beralih kepada dunia pendidikan mereka. Karena pola makan, apa saja yang mereka makan, dan tingkat ketahanan pangan keluarga, biasanya setali dengan hasil prestasi mereka di sekolah. Itulah tujuan saya mentraktir mereka makan siomai, saya ingin melihat apakah mereka lahap dalam kondisi bau seperti ini.

“Bagaimana dengan pelajaran di sekolah? Semua daring, ya? Lancar semuanya?” tanya saya kepada mereka.

Mereka malu-malu dalam menjawab. Setelah saling sikut dan senggol, entah kesepakatan dari mana, salah satu anak yang banyak guyonnya tapi sedikit watonnya berkata, ia rangking terakhir dan yang disalahkan adalah ponselnya. “Free Fire yang disalahke sama Ibuk, Mas. Padahal kan main gim bikin seneng,” katanya dengan polosnya.

“Ha nek mambu, baca buku we memeng. Sekolah di rumah, guru nerangin tapi bau sampah. Asik turu atau main hape,” lanjutnya.

Lahan TPST Piyungan yang tak lagi memadai

Sampah-sampah bak menyambut gelindingan roda motor saya. Entah sampah yang jatuh ketika dibawa oleh truk pengangkut sampah, atau pun sampah yang memang bertebaran di jalan-jalan karena terbawa oleh angin. Makin dekat, bau makin pekat. Seiring berjalannya motor saya, kepala saya tak henti mengangguk sekaligus menyapa satu-satu penduduk. Mereka membalas anggukan saya.

Sampai sejauh motor saya melaju, tidak ada yang berbeda. Manusia-manusia sekitar gunungan sampah ini, sama saja dengan manusia-manusia lain di luar teritori ini. Kebanyakan dari mereka menggunakan masker walau sedang duduk di depan rumah. Apa gunanya? Begitu awalnya saya berpikir. Lha wong di depan rumah kok ya masih saja pakai masker?

Ketika masker saya mlorot barang beberapa detik, saya tak mendapatkan udara segar, melainkan bau sampah yang terus mengintai mengerikan. Masker, di sini, bukan hanya untuk melawan pandemi Covid-19, melainkan melawan bau yang rasanya tidak akan pernah minggat dari lingkungan mereka. Mau bagaimana lagi, lha wong ketika mereka ndangak, maka di situlah letak hilir alur sampah sak Yogyakarta.

Saya bertanya kepada beberapa penduduk di sana perihal spanduk di pertigaan Jalan Bawuran—akses utama untuk masuk menuju TPST Piyungan. Spanduk-spanduk itu baru terpasang sebulan lalu, tepatnya Senin (5/7/2021) sebagai bentuk protes. 

Menurut Sobirin wakil warga di Ngablak, Sitimulyo, Piyungan mengungkapkan ada 180 Kepala Keluarga menolak rencana perluasan TPST ke sisi barat. Alasannya, area tersebut merupakan ruang hijau. “Selain itu, sebagian wilayah itu juga menjadi lokasi sumber mata air bagi warga yang tinggal di perbukitan,” jelasnya.

Demonstrasi ini sudah kesekian kali. Tanggal 18 Desember 2020, masyarakat sekitar TPST Piyungan menutup akses dikarenakan musim hujan dan air lindi mengalir ke mana-mana. Bahkan kemacetan truk pembawa sampah mencapai satu kilometer panjangnya.

Saat itu, pada akhir tahun, pusat kota Jogja memang dipenuhi dengan sampah karena akses masuk menuju Piyungan sempat ditutup oleh warga sekitar. Kurang lebih tiga hari, sudut-sudut Jogja tidak diisi oleh kenangan, melainkan sampah yang menggenang. 

Dari permasalahan ini, warga menuntut beberapa hal. (1) Pengelola diharap membangun sebuah dermaga 200 meter jauhnya dari akses utama. (2) Lampu penerangan jalan enam bulan lamanya tidak berfungsi dan membahayakan warga sekitar. (3) Fogging nyamuk dan lalat. (4) Membangun sistem drainase yang baik. (5) Kebersihan jalan.

Spanduk di kawasan menuju TPST Piyungan. Gusti Aditya/Mojok.co

“Pemerintah tengah menyiapkan penambahan lahan baru untuk TPST Piyungan,” begitu kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) DI Yogyakarta, Hananto Hadi Purnomo, kembali dilansir dari Tempo. Lanjutnya, penambahan lahan baru seluas 6 hektare di sekitar TPST Piyungan melalui skema kerjasama pemerintah dan badan usaha, dan sangat terbuka bagi para investor. Rencana perluasan lahan baru itulah yang kemudian menyulut aksi demonstrasi warga pada awal Juli lalu. 

Menurut laporan Tempo, TPST Piyungan menerima sampah sekitar 600 ton per hari dari total 1.703 ton sampah yang dihasilkan penduduk Yogyakarta setiap harinya. Pada 2042 diperkirakan jumlah sampah akan naik menjadi 2.313 ton per hari, dengan pembuangan ke TPA Piyungan sekitar 905 ton setiap hari.

Ruang bermain yang hilang ketika hujan

Di sekitar TPST Piyungan sendiri kendala pendidikan tentu saja akses. Yakni masalah bau sampah yang menyebabkan goyahnya konsentrasi anak-anak.

Memang, dilansir dari Republika bahwa menghirup sampah secara berlebih itu tergantung tingkat adaptasi masing-masing individu. “Dampak yang mungkin timbul pada saluran napas tergantung dari kondisi dari masing-masing individu, apakah saluran nafasnya sangat sensitif sehingga mudah timbul reaksi yang berlebihan dari saluran napas, serta atau apakah daya tahan tubuhnya lemah, sehingga mudah terserang penyakit saluran napas dan paru.”

Tapi berbicara perihal anak-anak, bau sampah tentu bertaut dengan rasa nyaman dan perkembangan mereka kelak. “Dari lahir udah ngambune sampah, Mas,” kata Rizky. 

“Jadi semuanya kayak biasa saja. Misal makan walau bau sampah, terus ibadah harus khusyu walau bau sampah. Rasanya udah jadi biasa.” katanya.

Ketika saya tanya apakah mereka tahu bahaya dari bau sampah yang terus mereka hirup, mereka justru tertawa dan melanjutkan nggibahi kawannya yang cupu main Free Fire tadi. 

Seketika hati saya berdenyut, air mata hampir leleh begitu saja. Saya lagi-lagi terjebak dalam pertanyaan yang saya ajukan kepada anak-anak ini. Semisal mereka sudah tahu bahaya dan dampak negatif dalam ruang belajar yang penuh dengan bau seperti ini, lantas mereka bisa apa?

Guyon anak-anak di sini, orang-orang sekitar TPST terbilang visioner karena sudah menggunakan masker sebelum Covid-19 datang ke Indonesia. Mereka tak bisa merasakan bagaimana nikmatnya main hujan-hujanan karena takutnya, guguran lava sampah-sampah tadi menggulung tubuh mereka. Bukan hanya berbahaya bagi fisik, namun juga untuk kesehatan. Gatal-gatal adalah penyakit yang kerap singgah di tubuh mereka.

“Kalau hujan-hujanan anak-anak lain kalau sakit pol mentok pilek, kalau kami bisa panu dan kudisan,” kata Rizky. Lelucon yang termasuk gelap bagi saya. 

“Angin pagi yang harusnya seger, bagi kami ya malah lebih cepat membawa bau sampah-sampah itu,” astaga, sepertinya Rizky berbakat menjadi komika.

Dari wajah mereka yang terus bergembira karena bisa ngobrol bersama kawan, saya jadi tahu satu hal, bahwa mereka nggak butuh dikasihani dengan kondisi lingkungan yang bisa dikatakan mengenaskan ini. Yang mereka butuhkan tentu upaya apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah agar kondisi bau seperti ini tidak terus menggerogoti rasa nyaman mereka dalam pemenuhan hak mendapatkan ilmu dan kecerdasan untuk masa depan.

BACA JUGA  Satu Kata yang Jadi Penanda Warung Soto Enak di Yogya  liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version