Tokoh Perempuan Indonesia Inspiratif Selain Kartini

tokoh perempuan di Indonesia selain kartini. MOJOK.CO

Ilustrasi Rohana Kudus, salah satu tokoh perempuan di Indonesia selain Kartini.(Mojok.co)

MOJOK.CO Selain Kartini, banyak tokoh perempuan hebat yang dimiliki Indonesia. Mereka berkontribusi terhadap perkembangan perempuan di Tanah Air dengan caranya masing-masing.

Indonesia tidak pernah kekurangan tokoh perempuan hebat. Dari generasi ke generasi selalu ada sosok perempuan yang menginspirasi pada kaum perempuan di zamannya. Berikut beberapa sosok tokoh perempuan hebat di Indonesia yang pernah Mojok bahas di kanal YouTube Jasmerah.

Rohana Kudus

Rohana Kudus adalah jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Ia juga perempuan pertama yang memimpin sebuah surat kabar khusus perempuan. Bersama Ratna Juwita Zubaidah, perempuan berdarah Minang itu  mendirikan surat kabar khusus perempuan bernama Soenting Melajoe. 

Sebelum Soenting Melajoe memang pernah ada surat kabar khusus perempuan yang beredar di Hindia Belanda, namanya Poetri Hindia. Rohana Kudus sempat beberapa kali menjadi penulis di surat kabar itu. Namun, Poetri Hindia dipimpin oleh seorang laki-laki bernama Tirto Adhi Soerjo. 

Kehadiran “Soenting Melajoe” membuat kaum perempuan tidak ketinggalan perubahan dinamika masyarakat Minang di abad 20-an. Pada saat itu memang terjadi modernisasi, perubahan birokrasi, kemajuan pendidikan, serta kemajuan pers yang cukup pesat di sana. 

Selain memimpin surat kabar, perempuan kelahiran 20 Desember 1884 itu memiliki kepedulian yang besar terhadap pendidikan, khususnya pendidikan perempuan. Ia mendirikan perkumpulan bernama Kerajinan Amai Setia. Perkumpulan itu kemudian terus berkembang hingga akhirnya menjadi sekolah. Di sana kaum perempuan mendapat pelatihan kerajinan tangan, keterampilan rumah tangga, dan baca tulis bahasa Arab dan bahasa Latin. 

Ibu Ruswo

Ibu Ruswo berkontribusi besar pada saat perang gerilya. Walau tidak berjuang dengan mengangkat senjata, perempuan yang bernama asli Kusna itu menjadi kurir rahasia, menginisiasi dapur umum, hingga memasok logistik bagi pejuang. 

Saat Jepang masuk ke Indonesia, Ibu Ruswo bergabung dalam Badan Pembantu Prajurit atau Badan Pembantu Pembelaan (BPP) cabang Yogyakarta. Bersama suaminya, Ibu Ruswo aktif menjadi kurir penyampai pesan lisan maupun tertulis. Ia mengambil risiko keluar masuk kota yang saat itu dijaga prajurit Belanda.

Ibu Ruswo juga mengkoordinir logistik dapur umum hingga pendistribusiannya. Pada waktu itu para perempuan memasak secara bertahap dan tersebar, menyesuaikan dengan bahan dan peralatan yang ada. Setelah siap, seluruh hasil masakan di bawa ke tempat gerilyawan atau menyerahkan ke satu keluarga yang bertugas mendistribusikannya. Hasil masakan bisa juga dikumpulkan di dapur umum yang dipimpin langsung oleh Ibu Ruswo. 

Berkat jasa para relawan yang dikoordinir Bu Ruswo, logistik prajurit yang berperang di Kotabaru, Magelang, Ambarawa hingga Semarang terpenuhi. Ia mendapat piagam penghargaan dari Panglima Divisi III yang memberikan padanya saat upacara resmi Apel Besar di Magelang pada 25 Mei 1947. Lalu pada 1958, Ibu Ruswo dianugerahi Bintang Gerilya oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Maria Ulfah

Maria Ulfah adalah tokoh perempuan yang menjadi menteri perempuan pertama dalam sejarah Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Sosial saat Kabinet Sjahrir pada 12 Maret 1946 hingga 26 Juni 1947. Dalam perjalanan politiknya, perempuan kelahiran Serang 18 Agustus 1911 itu banyak memperjuangkan kesetaraan, terutama terkait hak pilih bagi perempuan. 

Setelah menyelesaikan studinya di Jurusan Hukum Universitas Leiden, Maria Ulfah pulang ke Tanah Air. Ia menemui banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan, khususnya di daerah asalnya Serang. Salah satu yang menjadi perhatian adalah perempuan tidak memiliki hak untuk memilih.

Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda memang memberikan hak perempuan untuk dipilih saja. Tentu saja ia tidak puas dengan keputusan itu karena kesempatan perempuan menjabat menjadi sangat kecil.   

Oleh karena kegigihannya, pemilihan anggota Gemeenteraad alias Dewan Kota Praja pada 1942 boleh diikuti oleh perempuan Indonesia sebagai pemilih. Sayangnya pemilihan ini tidak pernah terjadi karena pada Maret 1942 Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang. 

Selain memperjuangkan hak pilih perempuan, Maria Ulfa bergabung dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di organisasi itu ia berhasil memasukkan poin penting yakni “Kesetaraan warga negara di dalam hukum tanpa pengecualian”. Pasal 27 UUD 1945 itu menjamin semua warga negara, tidak terkecuali perempuan, memiliki kedudukan yang sama di depan umum. 

Siti Rukiah

Tokoh perempuan berikutnya adalah Siti Rukiah adalah sastrawan perempuan yang aktif pada masa kemerdekaan. Ia adalah penulis syair, cerpen, prosa, cerita anak, dan novel. Ia disejajarkan dengan sastrawan laki-laki pada zamannya, seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. 

Sayangnya, sejarah literasi Indonesia tidak pernah menybut kiprah kepenulisan Siti Rukiah yang gemilang di zaman kemerdekaan. Kedekatannya dengan aktivis dan seniman kiri menyeretnya masuk ke Lekra, sebuah organisasi seni di bawah bendera Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Tidak diketahui secara pasti kapan perempuan kelahiran 25 April 1927 itu masuk Lekra. Yang jelas, namanya tercatat dalam anggota pimpinan pusat Lekra pada 1959 dan menjadi delegasi Lekra dalam himpunan sastrawan Jerman di Jerman Timur. 

Hilangnya Siti Rukiah dalam sejarah sastra Indonesia begitu disayangkan. Padahal karyanya bisa menjadi gambaran kompleksitas “wong cilik” pada masa revolusi, seperti kumpulan cerpen dan puisi berjudul “Tandus”. Ia juga menyoroti Revolusi Kemerdekaan hanya mengubah status negara menjadi merdeka, tetapi tidak dengan posisi perempuan. Pada saat itu, perempuan Indonesia tetap subordinat dan inferior. 

Penulis: Kenia Intan
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA 5 Tokoh Perempuan yang Bisa Mengubah Peta Politik 2024 dan tulisan menarik lainnya di kanal Pemilu.

 

Exit mobile version