Tiga Alasan Jangan Beli Smartphone Hanya Karena Harga dan Spesifikasinya

Tiga Alasan Jangan Beli Smartphone Hanya Karena Harga dan Spesifikasinya

MOJOK.COHarga dan spesifikasi selalu menjadi senjata utama saat ingin membeli ponsel baru, tapi ketiga alasan ini perlu dipertimbangkan baik-baik sebelum menyesal kemudian.

Dua hal yang seringkali menjadi pertimbangan saat membeli smartphone adalah soal harga dan spesifikasinya. Kalau tiba-tiba muncul smartphone keluaran terbaru, pastilah banyak di antara kita yang membandingkannya dengan smartphone yang lebih dulu rilis pada rentang harga yang setara.

Katakanlah smartphone terbaru dengan spesifikasi Snapdragon 425 Octacore 1,4 GHz, RAM 3 GB, dan memori internal 32 GB dibanderol seharga Rp 1.799.000. Sementara itu, dengan harga yang sama, kamu bisa mendapatkan smartphone lain dengan dapur pacu Snapdragon 450 Octacore 1,8 GHz beserta RAM dan memori internal yang nilainya sama dari merek sebelah. Kita akan dengan cepat mengulik harga dan spesifikasi tersebut, lalu dengan entengnya bikin hestek #mending-mendingan, bukan?

Ya, kita semua tahu, ponsel yang ramah di ongkos alias budget phone bukan cuma milik Xiaomi saja. Ada banyak merek yang melakukan penetrasi di pasar smartphone murah dengan spesifikasi yang cukup mewah. Setiap kali muncul smartphone baru, banyak pengulas gawai yang menyebutnya sebagai Xiaomi-killer. Sebutan ini lahir karena si ‘beras kecil’ itu memang dikenal sebagai pionir budget phone.

Kini produksi smartphone semacam itu semakin banyak ditiru oleh banyak merek. Belum lama ini kita melihat betapa luar biasanya hype Asus Zenfone Max Pro M1. Tak lama kemudian Asus juga merilis Zenfone Live L1 yang masuk sebagai budget phone dari pabrikan asal Taiwan itu.

Merek lain seperti Advan merilis Advan i6 yang diklaim sebagai budget phone dengan fitur yang kaya dengan cuma sejutaan saja. Pelan tapi pasti, ada Infinix yang secara konsisten merilis seri Hot untuk bertarung di kelas budget phone. Huawei punya Y5 Prime, dan ‘anaknya’, Honor punya 7A. Di luar beberapa merek itu, tentu masih ada banyak lagi yang lainnya.

Lantas, mengapa pertimbangan membeli smartphone sebaiknya tidak hanya dilihat dari perbandingan harga dan spesifikasi yang ditawarkan saja?

Pertama, soal pengalaman pengguna. Pengalaman pengguna (user experience/UX) dalam menggunakan smartphone menjadi faktor yang penting. Pengalaman pengguna menjadi tujuan akhir dari sebuah desain yang dirancang oleh para produsen smartphone karena akan menentukan seberapa nyaman para pengguna awam bisa merasa nyaman saat menggunakan ponsel tersebut.

Desain yang sedemikian rupa itu pastilah sudah melewati serangkaian riset mendalam yang subjeknya adalah pengguna smartphone itu sendiri. Sehingga desain tersebut sudah benar-benar disesuaikan dengan kenyamanan pengguna dalam menggunakan smartphone.

Sang desainer UX pasti punya alasan, misalnya, mengapa sebuah sensor sidik jari diletakkan di bagian belakang, diposisikan di tengah, dan sedikit ke atas. Begitu juga dengan tombol dan fungsi lainnya yang peletakkannya seolah-olah terlihat mainstream di banyak smartphone.

Tapi jangan salah, inovasi di bidang UX ini juga tergantung pada kebiasaan manusia ya. Bisa jadi, suatu saat nanti letak sensor sidik jari tak lagi di belakang tetapi justru di bagian atas atau samping. Ya, kali saja kalau diletakkan di belakang sensornya jadi mudah kotor atau malah mencederai bentuk fisik smartphone.

Kenyamanan ini mestinya dipertimbangkan dengan baik, karena smartphone cakep dengan spesifikasi gahar dan berharga murah boleh jadi tidak nyaman saat digunakan. Buat apa cakep kalau enggak bikin nyaman, ya ‘kan? Mending putus! #eh…

Kedua, soal layanan purnajual. Layanan purnajual menjadi faktor lain yang sebaiknya dipilih ketika membeli sebuah smartphone. Karena apa? Manusia itu diberi perasaan bosan, iri hati, dan cemburu yang lumayan besar, sehingga punya potensi rasa ketidaksetiakawanan yang tinggi. Termasuk tidak setia kepada smartphone, atau malah sebaliknya.

Terbukti bahwa smartphone yang baru dirilis sering menjadi ‘racun’ bagi sebagian orang sehingga mereka rela menjual smartphone lamanya demi mendapatkan yang baru. Kalaupun ada smartphone yang memiliki layanan purnajual yang baik, maka harga jual kembalinya bisa cukup tinggi. Jadi kalau kamu bukan tipe yang setia, ya sebaiknya pertimbangkan betul soal ini.

Sayangnya, produsen smartphone yang memiliki layanan purnajual yang baik selalu menjual smartphone-nya dengan harga yang tidak murah. Soal ini, mau tak mau memang Samsung yang mesti dijadikan contoh. Kenapa? Ya karena pabrikan asal Korea ini masih stabil di pasaran, toko offline-nya banyak, serta tempat servisnya pun melimpah.

Kalau beli smartphone dengan bekal murah dan spesifikasi bagus saja, jangan kebanyakan mengeluh. Berpuas dirilah dengan garansi distributor yang banyak iklannya itu. Atau kamu mengeluh di Twitter dan bakal dinyinyiri banyak akun lalu masuk @InfoTwitWor dengan caption “Beli murah aja banyak maunya, dasar #OKB.”, dsb.

Ketiga, inovasi dari si produsen smartphone. Di tengah desain yang rata-rata mirip dari produsen smartphone, selalu ada pionir yang memulainya. Apple sering disebut pionir untuk urusan inovasi, baik dari sisi desain, fitur, maupun strategi membangun brand value.

Contohnya desain body iPhone 7 yang sampai sekarang masih banyak ditiru oleh produsen smartphone lain. Dan yang kini cukup mencolok adalah penggunaan poni yang pada awalnya dipopulerkan oleh iPhone X.

Banyak yang menyebut kalau harga smartphone rilisan Apple termasuk overpriced. Meski sebutan itu tak sepenuhnya salah, tapi ada alasan logis mengapa Apple berbuat demikian.

Pertama karena pasar Apple sudah stabil selama bertahun-tahun dibanding perusahaan smartphone raksasa lainnya. Berdasarkan laporan Counterpoint untuk kuartal I tahun 2018, Apple berada di posisi kedua dengan angka 14,5 %, sementara Samsung memimpin di angka 21,7 %. Kedua adalah soal biaya riset dan pengembangan Apple pada 2017 yang telah menghabiskan USD 10 miliar, masih di bawah Samsung yang menghabiskan USD 12,7 miliar.

Inovasi yang membuat smartphone produksi Apple sering diimitasi, selalu diawali dari riset yang menghabiskan dana miliaran dolar. Mahalnya biaya itu kemudian dibebankan kepada pembeli smartphone.

Pola Apple ini ya jangan serta merta disamakan dengan pabrikan yang hanya bisa mencontek terinspirasi desain yang sudah ada, sehingga bisa melepas smartphone-nya dengan harga yang jauh lebih rendah. Mereka sih tinggal enak-enak mencontoh desain yang sudah ada dengan dalih ada sedikit perbedaan.

Ketiga hal itulah yang membuat harga dan spesifikasi selalu tidak bisa dijadikan tolok ukur dari bagus-tidaknya sebuah smartphone. Ketiga-tiganya seharusnya menjadi pertimbangan tambahan ketika kamu memilih smartphone. Kalau dijadikan tag kampanye, bolehlah tiga hal itu diringkas menjadi NYAMAIN (nyaman, aman, inovatif). Ehehe~

Tapi kalau budget-nya pas-pasan, lalu ngidam smartphone dengan spesifikasi yang mumpuni, ya apa boleh buat. Sayangnya, smartphone yang demikian pun dijual lewat jalur flash sale dengan ketersediaan barang yang terbatas, dan akhirnya jadi barang gaib.

Barang keliatan dijual, tapi kok nggak bisa dipesan. Barang sudah dipesan lama, tapi kok nggak datang-datang? Hadeeeh…

Exit mobile version