Perppu Baru Bisa Dipakai Membubarkan Pemuda Pancasila

ormas mojok

ormas mojok

Berkebalikan dari Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, diteken Mei lalu, yang mendapat sentimen positif, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan disambut sebaliknya. Perppu yang diteken Presiden Jokowi 10 Juli kemarin dianggap kontradiktif dengan semangat demokrasi. Berikut dua status netizen menanggapi perppu baru tersebut.

Ngomong-ngomong, menanggapi tuduhan perppu ini ditujukan untuk membubarkan HTI, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan, aturan baru ini tidak menyasar organisasi tertentu. Yang menarik, aturan baru yang muncul di perppu ini, yakni di Pasal 59 ayat 1 poin a, dinyatakan bahwa ormas dilarang “menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan”.

Perkara penggunaan lambang lembaga pemerintahan, lambang negara Garuda Pancasila adalah yang paling banyak digunakan. Anda bisa menemukan lambang ini di lambang Setkab, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Nah, lambang Garuda Pancasila, persisnya detail dari Garuda Pancasila, sebenarnya sudah dipakai sebagai lambang oleh sebuah ormas. Anda pasti bisa menyebutkan salah satunya. Yak, betul! Pemuda Pancasila.

Masalahnya, kalau PP mau dibubarkan karena melanggar Pasal 59 tersebut, nyatanya 2013 lalu MK sudah menyatakan bahwa lambang negara (yang dalam hal ini dipakai oleh lembaga pemerintahan juga) bebas digunakan oleh warga negara.

Mohammad Samsul Arifin: APA & SIAPA BENAR yang kita takutkan saudara-saudara?

Perppu 2/2017 akhirnya diumumkan. Dua hari setelah diteken Presiden Joko Widodo. Isinya maju, maju sekali. Sekarang, pemerintah tidak perlu pengadilan lagi untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Ini “potong kompas” terhadap UU 17/2013 yang mensyaratkan adanya sekian tahapan untuk membubarkan ormas.

Sekarang, demi keadaan genting—setidaknya begitu menurut nalar pemerintah—tahapan itu diringkas. Tatkala ormas itu dianggap melawan atau melanggar dan apalagi ingin merobohkan Pancasila, langsung bisa dikirim “Peringatan tertulis”.

Jika dalam 7 hari, ormas tadi masih tidak mematuhi “Peringatan tertulis”, sanksi berikutnya menunggu:

  1. Penghentian kegiatan.
  2. Kalau sudah kelewatan, pemerintah lewat Kementerian Hukum & HAM bisa mencabut surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Tamat.

Kini tak ada lagi hak bagi ormas tadi membela diri. Bila UU 17/2013, ormas tertuduh bisa membela diri di Pengadilan, sekarang dia harus menerima nasib: Diadili Kementerian terkait, bisa Kementerian Dalam Negeri, bisa juga Kementerian Hukum & HAM. Kementerian bertindak sebagai penuntut/pendakwa dan hakim sekaligus.

Ukuran dan takaran telah melanggar Pancasila & UUD 1945 sepenuhnya di tangan pemerintah.

Selamat tinggal asas praduga tak bersalah. Ormas tertuduh langsung dianggap bersalah saat Surat Peringatan Tertulis disiapkan, ditulis dan dilayangkan pada ormas tadi.

**

Kita, jadi bertanya: Adakah ini zaman reformasi dan demokrasi yang diperjuangkan seluruh pihak tahun 1998 silam?

Inikah negara kuat yang dikehendaki para pengusul, pendukung, dan penyusun Perppu?

Beginikah cara afdol untuk melindungi ideologi negara?

**

DPR selaku legislator punya kewenangan agar negara ini tidak terjatuh ke otoritarianisme: TOLAK Perppu 2/2017.

Parpol pendukung pemerintah, kalau mau mustinya bergabung dengan arus sejarah ini: demokrasi harus bergerak maju. Dan itu mensyaratkan hukum memberi ruang kepada para tertuduh–dari ormas atau perorangan–untuk membela diri di muka pengadilan.

Negeri ini sudah kenyang dengan otoritarianisme yang bikin penguasa berlaku semau gue.

 

Azis Anwar Fahcrudin: Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membubarkan ormas “anti-Pancasila”. Tentu saja sasaran utamanya HTI. Alasannya: biar proses pembubaran lebih cepat, karena prosedur yang digariskan UU Ormas 17/2013 terlalu rumit dan lama untuk diikuti sementara kondisinya, menurut Pemerintah, sudah genting.

Saya tidak suka HTI. Tapi analogi Jubir HTI Ismail Yusanto mengandung poin menarik: ibarat main bola, pemerintah kesulitan membuat gol, maka dibuatlah aturan baru untuk melebarkan gawang.

Dhandy Dwi Laksono: Investasi, infrastruktur, utang luar negeri, pasal makar, dan Perppu Ormas. Dari 6 presiden sebelumnya, siapa yang paling mendekati kombinasi ini?

Exit mobile version