Akibat Terlalu Sayang Sama Samyang

mojok-samyang-babi

mojok-samyang-babi

Negeri ini memang hobinya heboh untuk hal-hal yang dibolak-balik secara sesat. Besar dikecil-kecilkan, kecil ditiup-tiup biar besar. Soal yang terakhir ini, ambil contoh perihal seorang ibu yang bahkan belum pernah sekali pun kedapatan naik motor metik.

Gara-gara ibu bernama Miryam tersebut, selangkah lagi maling-maling akan dapat dengan bebas menuangkan hasrat memperkaya diri, calon suami sejenis Asworo bisa bebas membunuh calon istri, lelaki setampan Anwar bisa bebas memperkosa keponakan istri untuk kemudian dibantu keluar penjara sama istrinya yang bernama Ade Irma Suryani, hingga penjahat kerah putih bebas otak-atik uang rakyat karena KPK dan Polri mau dibekukan anggarannya. Ngomong-ngomong, itu anggaran apa ASI perah?

Kalau urusan satu orang saja bisa bikin maling se-Indonesia bahagia karena aspirasinya didengar dan bahkan disampaikan secara cerdas, di sisi sebelah ada persoalan yang pemahamannya kurang lebih sama, sesederhana cuci tangan sesudah makan tapi justru pembahasannya menjadi mandi besar sesudah ngemil. Urusannya terkait asing aseng dan menistakan makanan penolong anak kos yang bernama mi instan. Perkara itu bernama Samyang.

Badan POM—yang kalian bilang sebagai BEPEPOM. Ya, BE-PE-POM itu—telah mengeluarkan rilis untuk menarik beberapa produk makanan instan asal Korea Selatan, salah satunya menyangkut makanan kesukaan anak bangsa yang begitu ngehits, si Samyang itu. Tidak butuh waktu lama, komentar muncul bergulung kayak ombak.

Namanya juga ombak, walau begitu keras menghantam batu, pasir, maupun paha-paha yang bertebaran di pantai, pada akhirnya pecah dengan kosong. Dan memang sekosong itulah isi komentar-komentar yang berseliweran dan dikeluarkan oleh para kaum-mendadak-pakar yang begitu mudah ditemukan di era Reformasi.

Pada akhirnya pembahasan Samyang tidak jauh beda dengan teroris, tidak jauh melipir dari penistaan agama. Maka dari itu, sebagai kalangan pemakan babi yang sekaligus pernah jadi auditor halal internal, hati saya tergerak untuk mendapat honor dari Mojok memberi sedikit inspirasi batin menyoal Samyang ini.

Perkara Samyang yang lagi heboh ini sudah jelas dalam rilis yang dikeluarkan regulator, yakni ada empat produk makanan instan yang diimpor sebuah perusahaan yang terdiri dari Samyang, Nongshim, dan Ottogi yang setelah diuji dinyatakan positif DNA babi, namun dalam pelabelannya tidak ada keterangan “mengandung babi”. Asli, Kak, semuanya pada dasarnya sesederhana itu.

Penandaan yang dimaksud Badan POM, seharusnya di kemasan produk ada tulisan “mengandung babi” ditulis dengan huruf merah plus ada gambar babi. Jadi, yang ditarik itu begitu dicek positif DNA babi, kalau mau beredar lagi harus mencantumkan kandungan babi dalam komposisi dan kemudian menambahkan tulisan tersebut.

Sangat mudah, bukan?

Komentar mengenai Samyang ini begitu istimewa karena ada dua kubu yang silih berganti melontarkan mantra pengawuran masing-masing. Masyarakat lantas terbelah begitu nyata menjadi tiga, yakni sebagian pro-babi, separo anti-babi, sisanya pro-Jeng Ana dengan istilah medisnya yang warbyasa itu. Aduh, pemilihan presiden tiga tahun silam saja sudah bikin negeri terbagi dua, sekarang babi pun ikut-ikutan memecah belah bangsa.

Kalangan pro-babi dengan segenap aksiomanya bahkan mempertanyakan apakah Badan POM melayani seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia atau hanya golongan tertentu? Perkara Samyang berlari ke arah isu pluralisme, saudara-saudari! Seolah-olah penarikan Samyang yang mengandung babi adalah penistaan terhadap sekian puluh juta masyarakat Indonesia yang diperkenankan makan babi. Fitnah pun bermunculan bahwa ada kompetitor besar yang bermain di balik penarikan produk Korea Selatan tersebut dan berujung pada, “Wani piro?

Kalau mau iseng, cek sajalah di Badan POM itu produk dengan kata kunci babi, akan bertebaran produk kornet daging babi, pangsit isi daging babi, hingga dendeng babi. Nggak ada itu namanya menarik segala hal yang berhubungan dengan babi hingga kemudian kalangan pemakan babi tidak diperkenankan mencicipi olahan babi sama sekali hingga pada akhirnya merusak keberagaman bangsa.

Asli, ini sama kayak situ lihat gadis cantik di lampu merah dan situ langsung berfantasi begitu liar bahwa gadis itu nanti akan menua bersama situ dan menjadi nenek dari cucu-cucu situ. Jauh, Kak, jauh.

Kalangan anti-babi juga muncul dengan sepenuh mati mempertanyakan bagaimana mungkin pemerintah bisa kecolongan kemasukan produk haram semacam itu. Padahal tidak secuil regulasi pun di Indonesia yang melarang impor makanan haram, sejauh ketentuan dipenuhi dengan paripurna.

Kisah kemudian beranjak pada konspirasi asing aseng untuk memasukkan barang-barang haram dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Semuanya adalah ulah kolaboratif zionis, komunis, sepilis, kapitalis, hingga gambar alis. Sebahagiamu ajalah.

Saya kadang bingung kenapa produk Samyang dari satu importir saja tetiba jadi pembahasan berlarut-larut dan berlari-lari dari konspirasi asing aseng hingga gangguan terhadap pluralisme bangsa ini. Begitu laparkah kita untuk ribut sampai harus memperkarakan Samyang yang bahkan harganya tidak terjangkau kantong anak kos itu?

Perkara halal memang sesuatu yang harus digarap dengan begitu hati-hati karena kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang sangat agamis. Menyoal produk halal lebih sensitif sehingga tidak akan pernah dalam urusan produk halal akan muncul pernyataan keras, “halalin aku, Mz!”

Maka, jangan heran isu kandungan babi dalam makanan—dan juga obat-obatan—masih menjadi isu yang bahkan lebih laten dari Komunisme. Keberadaan kandungan babi dalam penyedap makanan hingga vaksin silih berganti muncul, terlebih pada zaman ketika jejak digital menjadi begitu kejam untuk diungkit sekali-kali. Keberadaan babi juga menjadi diskusi yang tiada kunjung berakhir sebagaimana kepedihan masyarakat jomblo Indonesia atas tunangannya Raisa dengan pria mature seperti Hamish.

Bagaimanapun, konsumsi makanan yang halal wajib hukumnya bagi kaum muslim. Maka dari itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam hal ini Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI), memiliki aturan tersendiri yang dikenal dengan HAS 23000:1.

Disebutkan dengan begitu jelas dalam salah satu isi dari bab “Bahan” bahwa yang dimaksud sebagai bahan adalah bukan dari babi dan tidak mengandung bahan dari babi dan turunannya. Fix ya, anak babi juga nggak boleh karena dia masih keturunan babi.

Hingga kini, sertifikasi halal masih dikeluarkan oleh LPPOM MUI dan pencantumannya pada kemasan menjadi urusan Badan POM setelah sebelumnya memastikan bahwa suatu produk yang akan dipasang label halalnya telah benar-benar memiliki sertifikat halal dari LPPOM MUI. Sifatnya juga masih sukarela alias nggak ngurus juga boleh kok. Nantinya memang akan ada lembaga khusus yang mengurusi produk halal semacam ini seperti diamanatkan undang-undang.

Tapi itu kan nanti. Mamak-Mamak pun kalau menyuruh anaknya mandi nggak akan peduli dengan kata nanti.

Tiada perlulah kita tersesat karena cinta dan sayang sama Samyang untuk kemudian malah berantem menggunakan argumen-argumen sempit hingga fitnah-fitnah ciamik yang digoreng sedemikian rupa.

Sesudah ribut karena presiden, ribut karena gubernur, kini kita ramai-ramai tentang makanan impor yang bahkan kelas kebutuhannya jauh di bawah kedelai. Hasrat ribut dan ngamuk kita memang sudah sedemikian akut, seakut orang yang komen “apakah membela islam itu dengan cara demo????” di share-share-an berita soal parodi Aksi Bela Islan.

Demi Tuhaaan!

Exit mobile version