Alasan Warga Jogja Masih Banyak Minum Air dari Sumur yang Tercemar E Coli

air sumur mojok.co

Ilustrasi sumur (Mojok.co)

MOJOK.COBanyak warga Jogja yang masih mengandalkan sumur sebagai sumber air untuk konsumsi harian. Padahal belum lama ini Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta menyampaikan temuan bahwa hampir semua sumur di wilayahnya tercemar bakteri E coli dan NO3 (nitrat).

Penyebab pencemaran E Coli pada sumur di Jogja salah satunya akibat padatnya permukiman yang membuat jarak antara sumur dengan septic tank terlalu dekat. Selain itu kandungan nitrat juga bisa berasal dari septic tank.

“E coli ini cemaran dari septic tank yang merembes sampai permukaan air sumur, begitu juga nitrat bisa karena septic tank atau sampah,” jelas Kepala UPT Laboraturium Lingkungan DLHM Jogja, Sutomo, Sabtu (29/4) lalu pada media.

UPT Laboraturium Lingkungan DLH Jogja menemukan bahwa warna, rasa, dan bau dari air di Jogja yang merupakan indikator fisika air sumur cukup baik. Namun jika dilakukan pengecekan dengan indikator kimia terdapat kandungan NO3 sedangkan dari indikator mikrobiologi terdapat E Coli yang cukup tinggi.

Sutomo menerangkan, pencemaran itu sudah terjadi hampir di seluruh sumur air di Jogja.  “Hampir semua sumur ada. Ada yang tidak namun jumlahnya sangat sedikit,” papar Sutomo.

Konsumsi air sumur di permukiman padat

Di Jogja, terdapat sejumlah permukiman yang tergolong padat. Salah satunya yakni Kampung Jogoyudan, Gowongan, Jetis. Kampung ini terletak di pinggir Kali Code dan di sisi lainnya berdiri sejumlah hotel.

Ketua RW 9 Kampung Jogoyudan, Suparno, menerangkan terdapat satu sumur menjadi sumber air utama bagi sekitar 30 kepala keluarga di wilayahnya. Termasuk untuk kebutuhan sebuah masjid di kampung tersebut.

“Itu E Coli-nya sebenarnya cukup tinggi. Dulu setiap tiga bulan sekali ada pengecekan tapi akhir-akhir ini jarang,” ujar Suparno pada Selasa (2/5).

Menurutnya, sejak pandemi belum pernah ada lagi pengecekan terkait sumur di wilayah RW 9 tempatnya. Ia berharap ada pengecekan kembali.

Suparno mengaku masih ada sejumlah warga yang memasak air sumur yang untuk kebutuhan minum harian. “Ada yang pakai air mineral galon. Yang memasak air sumur masih sekitar 40 persen,” paparnya.

Menurutnya, faktor ekonomi jadi salah satu alasan mengapa sebagian warga masih memilih merebus air dari sumur ketimbang membeli air mineral galon. Namun, hingga kini Suparno mengaku belum menemukan keluhan warga terkait dampak dari konsumsi air tersebut.

“Sejauh ini juga belum pernah si mas disurvey baik sama pengurus maupun puskesmas terkait dampaknya pada warga,” ujarnya.

Puskesmas Jetis sebagai layanan kesehatan terdekat belum bersedia dimintai keterangan terkait dampak kondisi air sumur terhadap warga. Pihak Puskesmas menyarankan untuk menghubungi pejabat di Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Terkait kondisi air Dinas Kesehatan juga menyarankan untuk berkoordinasi dengan DLH.

Dampak E coli dan Nitrat bagi kesehatan

Melansir dari Klikdokter, bakteri E coli dapat menyakibatkan sejumlah penyakit seperti diare. Pada kasus yang parah, bakteri ini dapat mengakibatkan infeksi usus, infeksi saluran kemih, hingga meningitis.

Namun gejala akiba E coli dapat berbeda-beda pada setiap orang. Gejala paling banyak yakni diare, perut kram, hingga muntah-muntah.

Sementara itu, kandungan nitrat pada air juga mengakibatkan dampak buruh bagi kesehatan. Melansir jurnal Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Ahli Hidrogeologis UGM, Dr Heru Hendrayana menerangkan nitrat yang masuk ke tubuh bisa mengakibatkan penyakit baby blue bagi bayi.

“Efek jangka panjang (20-30 tahun) bagi mereka yang sering minum air mengandung nitrat adalah sesak napas,” katanya.

Cara terbaik untuk menghindari nitrat, menurut Heru adalah menjaga sanitasi lingkungan. Penting bagi masyarakat untuk menghindari minum dari air tanah dangkal kurang dari 15 meter dan sumur yang berdekatan dengan septic tank.

Penulis: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Kasus Covid-19 di DIY Naik Tajam dan tulisan menarik lainnya di kanal Kilas

Exit mobile version