Predikat Jogja Sebagai City of Craft Terhalang Nomenklatur Danais

Predikat Jogja Sebagai City of Craft Terhalang Nomenklatur Danais. MOJOK.CO

Ketua Asmindo Komda DIY, Timbul Raharjo menyampaikan tentang predikat city of craft di sela Regional Launching Iffina 2023 di JEC, Jumat (19/05/2023) malam. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

MOJOK.COIndustri mebel dan furnitur di Yogyakarta merupakan yang terbesar di Indonesia. Pelaku usaha di sektor mebel dan furniture mulai tingkat mikro hingga perusahaan besar ada di kota ini. Sayangnya, dana keistimewaan (danais) tidak bisa untuk mendukung pengembangan sektor ini secara lebih luas.

Meski terjadi krisis di tingkat global, potensi industri furnitur dan kerajinan di Indonesia, termasuk di DIY masih berkembang. Kontribusi industri furnitur sejauh ini sudah mencapai 1,3 persen di sektor nonmigas. Bahkan, ekspor furnitur memberikan share sekitar US$2,5 miliar (sekitar Rp38,7 triliun), sedangkan kerajinan sebesar US$1 miliar (sekitar Rp15,5 triliun).

Namun, potensi ini tampaknya belum menarik Pemerintah Daerah (pemda) DIY untuk mengkembangkan lebih jauh. Padahal bila menggarapnya dengan serius, maka Yogyakarta menambah panjang predikatnya, yakni sebagai City of Craft atau Kota Kerajinan.

“Tapi pada kenyataannya kegiatan industri mebel dan furniture di Jogja hanya sporadis. Ini yang membuat kita tidak maju-maju dan predikat city of craft tak akan bisa terwujud,” ujar Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Komda DIY, Timbul Raharjo di sela Regional Launching Iffina 2023 di JEC, Jumat (19/05/2023) malam.

Tak bisa manfaatkan danais untuk pemasaran furnitur

Menurut Rektor ISI Yogyakarta tersebut, kebutuhan pemasaran produk secara luas pelaku industri mebel dan furnitur, terutama pelaku UMKM yang melalui dana keistimewaan (danais) tak bisa dipenuhi Pemda DIY. Perbedaan nomenklatur satu dinas satu dengan instansi lainnya membuat pemanfaatan danais untuk pengembangan industri mebel dan furniture sekadar wacana.

Padahal bisa saja program industri mebel dan furniture masuk dalam program Dinas Kebudayaan DIY, Dinas Perindustrian dan Perdagangan DIY maupun ke Dinas Koperasi dan UKM DIY. Namun, karena perbedaan nomenklaturnya, berbagai kegiatan di sektor tersebut seringkali mendapat penolakan instansi pemerintah.

“Ekosistem [mebel dan furniture] padahal ada. Contohnya, UMKM harusnya bisa dikover untuk pembuatan promosi melalui danais tapi terbentur nomenklatur sehingga kegiatan-kegiatannya hanya sporadis,” tandasnya.

Perlu keberpihakan pemda

Karenanya Timbul berharap keberpihakan Pemda pada pelaku usaha mebel dan furnitur mulai dari level kecil hingga pelaku usaha di tingkat internasional perlu ditingkatkan. Kerjasama semua stakeholder dengan bantuan Pemda melalui danais setiap tahunnya bisa mengembangkan potensi industri mebel dan furnitur di DIY.

Bila peran Pemda optimal maka ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri mebel dan furnitur akibat penurunan permintaan dari pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa akibat krisis global yang tengah mengemuka saat ini tidak akan terjadi. Ekspansi pasar pun bisa tetap berlangsung.

Apalagi kreativitas dan kualitas para pelaku usaha di industri mebel dan furnitur DIY dalam pengembangan desain tak perlu diragukan. Dari banyak pameran di tingkat internasional yang pernah ia ikuti, lanjut Timbul, produk mebel dan furnitur dari DIY selalu jadi incaran pasar internasional.

“Kalau kita punya desain bagus bergainingnya tinggi, tinggal bagaimana kita menyelesaikan simpul [masalah] seperti pemasaran, itu yang penting,” imbuhnya.

Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Bukan Gratifikasi, Ini Alasan Kejati DIY Tahan Lurah Caturtunggal di Kasus Mafia Tanah

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version