SMA Negeri di Jogja Paksa Siswi Kenakan Jilbab, ORI Panggil Kepsek

jilbab mojok.co

Pendamping siswi korban pemaksaan penggunaan jilbab, Yuliani menyampaikan paparannya usai mendatangi Kantor ORI Perwakilan DIY, Jumat (29/07/2022).(yvesta ayu/mojok.co)

MOJOK.COPermasalahan di sekolah kembali terjadi. Kali ini salah seorang siswi di SMAN 1 Banguntapan, Bantul dipaksa mengenakan jilbab oleh guru di sekolah tersebut saat mengikuti program Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Siswi 16 tahun tersebut  kini mengalami trauma dan depresi. Dia bahkan sempat mengurung diri di kamar dan tidak mau makan.

Kasus ini berawal dari MPLS bagi peserta didik baru kelas X di SMAN 1 Banguntapan untuk tahun ajaran 2002/2023. Pada awalnya sekolah tidak mempermasalahkan siswi tersebut berseragam seperti biasanya.

Namun pada 19 Juli 2022, guru Bimbingan Konseling (BK) memanggil siswi tersebut. Di ruangan guru BK, tiga guru pun menginterogasinya.

“Kenapa nggak pakai jilbab, dia [siswi] sudah terus terang belum mau. Terus dari situ dia diinterogasi lama [oleh tiga guru] dan merasa dipojokkan,” ujar pendamping korban, Yuliani saat mendatangi Kantor Ombudsman RI (ORI) Perwakilan DIY, Jumat (29/07/2022).

Bahkan salah seorang guru, menurut Yuliani memakaikan jilbab pada siswi tersebut untuk memberi contoh. Merasa ketakutan, siswi pun ijin untuk pergi ke toilet.

Di toilet, siswi tersebut menangis hingga lebih dari satu jam. Guru BK yang mengetahui hal tersebut pun mendatangi toilet dan menemukan siswi yang bersangkutan dalam kondisi lemas.

Mungkin guru BK ketakutan terus dicari di toilet dan ternyata anaknya dalam kondisi sudah lemas. Kemudian dibawa ke UKS dan dipanggilkan orang tuanya,” tandasnya.

Pasca kejadian, lanjut Yuliani, siswi mengurung diri di kamar dan tidak mau makan. Dia bahkan sempat pingsan saat upacara bendera di sekolah.

Yuliani yang diminta untuk melakukan pendampingan pun akhrnya melaporkan kejadian tersebut kepada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (disdikpora) DIY. Namun saat diketemukan dengan Disdikpora, pihak sekolah justru mengkambinghitamkan kondisi siswi tersebut disebabkan persoalan keluarga.

Dalam pertemuan itu sekolah mengklaim tidak melakukan pemaksaan pemakaian jilbab. Namun dari informasi yang didapat, pihak sekolah justru membuat aturan wajib pembelian jilbab di sekolah dan dikenakan para siswinya.

Padahal sesuai Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014, sekolah dilarang jual beli seragam. Permendikbud itu mengatur pengadaan Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah diusahakan sendiri oleh orangtua/wali siswa.

“Jadi kemarin saya sudah dipertemukan pihak sekolah oleh dinas. Saya minta dipertemukan, yang datang dinas dan BK dua orang. Sekolah sempat berdebat bahwa tidak ada pemaksaan. Lalu saya tunjukkan pemaksaannya. Kalau tidak pemaksaan, kalau tidak permasakan Kenapa sekolah membikin hijab yang ada labelnya sekolah. Dari situ jelas pemaksaan,” tandasnya.

Sementara Ketua ORI Perwakilan DIY, Budi Masturi mengungkapkan kejadian tersebut terbongkar saat tim dari ORI melakukan pengecekan ke sejumlah sekolah terkait aduan dari masyarakat. Dalam salah satu aduan disebutkan seorang siswi mengurung diri di kamar mandi sekolah hingga 1 jam lebih karena dipaksa mengenakan jilbab.

“Saat itu ada satu tim yang sedang berada di sekolah itu. Mengklarifikasi soal pungutan. Lalu dicek dan benar ada anak yang memang menangis di toilet sekolah satu jam itu,” jelasnya.

Tim dari Ombudsman yang mencari kejadian tersebut menemukan informasi jika kasus tersebut terjadi akibat pemaksaan penggunaan  busana pakaian identitas keagamaan. Karenanya tim memanggil orang tua dan pendamping ke ORI untuk dipertemukan dengan pihak sekolah dan Disdikpora DIY.

Pemanggilan dilakukan untuk menggali informasi seberapa jauh kepala sekolah (kepsek) mengetahui kejadian tersebut. Selain itu bagaimana kepsek menjalankan tugasnya dalam mengawasi dan mengontrol sikap dan kebijakan dari para guru di sekolahnya.

“Kepala sekolah mengatakan baru tahu dari ORI. Dia tidak mendapatkan laporan dari guru BK,”paparnya.

Kadisdikpora DIY, Didik Wardaya yang mengetahui kasus tersebut pun bertindak cepat dengan melakukan penelusuran. Didik membentuk tim untuk meminta klarifikasi pihak sekolah, termasuk jual beli seragam.

“Kita masih telusuri dan dalami kasus ini, terasuk masalah siswa harus beli seragam atau tidak [di sekolah],” ungkapnya.

Didik menambahkan, sesuai aturan pemerintah, sekolah negeri harus mencerminkan replika kebhinekaan Indonesia. Karenanya sekolah tidak boleh memaksakan pemakaian busana keagamaan pada siswanya.

“Memakai jilbab itu atas kesadaran, jadi kalau memang anak belum ada kemauan memakai jilbab ya tidak boleh dipaksakan karena itu sekolah pemerintah, bukan sekolah berbasis agama,” imbuhnya.

Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA SMP Muhammadiyah Banguntapan Minta Maaf Soal Siswanya Dilarang Ikut UAS

 

Exit mobile version