Pemaknaan Oleh-oleh Khas yang Semakin Rancu

Dulu pernah dolan ke Klaten ngisi pelatihan nulis. Pas mau pulang pengin mampir beli oleh-oleh. Saya iseng nanya sama kawan yang asli sana, “Sing khas seko Klaten ki kiro-kiro opo yo, Mas?”

Jawabane nggatheli

“Korupsi.”

Begitulah status Facebook yang ditulis oleh Agus Mulyadi, redaktur kesayangan kita, beberapa waktu yang lalu.

Status yang ditulis oleh Agus Mulyadi di atas boleh jadi sangatlah sederhana, tapi agaknya ia cukup kontekstual untuk membedah betapa arti oleh-oleh khas yang semakin hari semakin membingungkan.

Ya, kita semua paham betul, di Indonesia oleh-oleh menjadi komoditi yang cukup menggiurkan. Maklum, di sini kebiasaan meminta dan membawakan oleh-oleh memang sudah seperti tak terpisahkan dari keseharian.

Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat banyak pebisnis terjun di dunia peroleh-olehan di berbagai daerah.

Sayang, banyak pebisnis oleh-oleh baru yang gagap dengan kultur daerah tempat ia berbisnis. Hasilnya, tercipta produk oleh-oleh yang diklaim sebagai oleh-oleh khas, tapi sejatinya blas tidak menampakkan kekhasannya. Asal laku dijual untuk para wisatawan yang sedang berkunjung, habis perkara.

Ia menjadi produk yang tak dibangun dari proses laku panjang yang menemani perjalanan suatu daerah untuk menjadi besar dan dikenal, melainkan dibangun melalui proses pemetaan bisnis yang instan.

Kemunculan aneka produk kue pastri besutan para artis, seperti Malang Strudel, Jogja Scrummy, Cirebon Kelana, Medan Napoleon, Surabaya Snowcake, dan sebangsanya yang langsung mendaku sebagai oleh-oleh khas daerah tempat mereka membuka gerai bisa dilihat sebagai bukti yang paling nyata.

Oleh-oleh khas bukan lagi menjadi produk historis-sosial-kultural suatu daerah, tapi lebih kepada produk-produk komoditi yang lebih mementingkan sisi finansial ketimbang emosional.

Pemaknaan oleh-oleh khas pun menjadi semakin rancu. Ia bukan lagi sesuatu yang khas dari satu daerah, melainkan sesuatu yang sekadar bisa dibeli di satu daerah.

Maka pada akhirnya, jangan heran jika ada yang bilang oleh-oleh khas dari Jakarta adalah duit. Dan oleh-olah khas dari Klaten adalah Aqua. Sebab, oleh-oleh memanglah fana adanya.

Hanya bunda Rita Sugiarto yang mampu mengartikan oleh-oleh dalam pengertian yang paling tulus lewat syair lagunya:

Aku tidak minta oleh oleh emas permata dan juga uang.
Tapi yang kuharap engkau pulang tetap membawa kesetiaan.

oleh oleh khas

Exit mobile version