Grebeg Syawal Tanpa Rayahan Gunungan, Sultan Bagikan Rengginang 

grebeg syawal rengginang

Para abdi dalem Keraton Yogyakarta mengikuti prosesi Grebeg Syawal di Keraton Yogyakarta. (Yvesta Ayu/Mojok.co)

MOJOK.CO – Garebeg (grebeg) Syawal Keraton Yogyakarta tahun ini tanpa gunungan yang diperebutkan masyarakat umum. Sebagai gantinya gunungan rengginan (rengginang) dibagikan kepada kerabat dan abdi dalem. Gunungan juga dibawa Masjid Gedhe, Pura Pakualaman dan Kepatihan Yogyakarta. 

Keraton Yogyakarta menyiapkan tujuh gunungan yang disiapkan dalam acara bernama Numplak Wajik seperti Gunungan Kakung, Gunungan Gepak, Gunungan Estridan Gunungan Pawuhan. 

Gunungan yang berisi uba rampe rengginang ini seringkali jadi rebutan warga yang ngalap berkah. Namun, seiring pandemi COVID-19 yang melanda dua tahun terakhir, Keraton Yogyakarta meniadakan gunungan dan menyederhanakan prosesi garebeg sebagai ungkapan rasa syukur dan sedekah dari raja kepada kerabat dan rakyatnya.

Alih-alih diperebutkan warga, uba rampe hanya dibagikan ke abdi dalem di lingkungan Keraton Yogyakarta sebagai wujud rasa syukur Sultan atas hadirnya Hari Raya Idul Fitri. Penyederhanaan prosesi garebeg juga kembali dilakukan pada peringatan Idul Fitri 1 Syawal 1443 Hijriyah, Selasa (03/05/2022). Keraton hanya membagikan 2.700 uba rampe rengginang bagi abdi dalem.

“Kita memberikan uba rampe rengginang sebagai bagian dari prosesi garebeg seperti tahun lalu hanya untuk abdi dalem,” papar Mantu Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, KPH Purbodiningrat di Keraton Yogyakarta.

Purbodiningrat menjelaskan, meski berupa uba rampe rengginang, pareden gunungan kecil tersebut sudah menjadi simbolisasi gunungan grebeg dari keraton. Sehingga upaya melestarikan tradisi grebeg tetap bisa dilaksanakan walaupun di masa pandemi.

Keraton sengaja meniadakan prosesi rayahan gunungan untuk mengantisipasi kerumunan masyarakat. Sebab meski tren kasus COVID-19 di DIY mulai melandai, potensi penularan virus masih bisa terjadi.

“Walapun tidak ada rayahan, esensinya tetap sama karena dulu sebetulnya gunungan [grebeg] tidak untuk diperebutkan, tapi diserahkan kepada kerabat dan abdi dalem. Namun perkembangan jaman, akhirnya diperebutkan [masyarakat],” jelasnya.

Ubarampe, lanjut Purbodiningrat dibuat dari beras ketan yang dikeringkan selama beberapa hari dan dirangkai dengan bambu di Bangsal Srimanganti, Keraton Yogyakarta. Setelah rangkaian selesai disiapkan, gerabah tempat ubarampe diletakkan dibusanani atau diberikan kain penutup bermotif bangun tulak.

“Uba rampe disiapkan dalam beberapa hari sebelum dibagikan,” jelasnya.

Secara terpisah, Sekda DIY, Baskara Aji mewakili Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menerima uba rampe rengginang dari Keraton untuk Kepatihan di Pendapa Wiyata Praja, Kompleks Kepatihan. Ubarampe gunungan diserahkan Utusan Dalem Keraton yakni KRT Widyacandra Ismayaningrat dan KRT Wiraguna.

Penerimaan pareden gunungan tersebut menjadi satu pertanda yang menggambarkan tentang kebersatuan antara Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Daerah (DIY) dan masyarakat. Melalui pareden tersebut, semua pihak bekerjasama membangun, memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat DIY.

“Sehingga masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota dapat melengkapi satu sama lain,” jelasnya.

Paniradya Pati Kaistimewan Aris Eko Nugroho, menambahkan pembagian ubarampe gunungan adalah bagian dari keistimewaan Yogyakarta. Dalam Undang-undang Keistimewaan (UUK) Nomor 13 Tahun 2012 tercatat ada 5 unsur keistimewaan salah satunya melembagakan peran Kasultanan Yogyakarta.

“Pembagian pareden pada ASN di Kepatihan, harapannya bisa berlangsung terus menerus karena ini perlu kita pelihara dan kembangkan. Jangan sampai anak muda lupa sejarah, ini bagian dari warna keistimewaan,” paparnya.

Ditiadakan dua tahun, ngebekten kembali digelar

Selain Grebeg Syawal, Idul Fitri 1443 H menjadi momen keraton untuk kembali menggelar prosesi ngabekten atau tradisi sungkeman di keraton. Ngabekten kali ini sangat istimewa karena selama dua tahun terakhir ditiadakan akibat COVID-19.

Namun, prosesi ngabekten tetap saja dibatasi tahun ini untuk mengantisipasi penularan virus. Tidak ada sungkem secara langsung kepada Ngarsa Dalem (Sri Sultan HB X) karena puteri, kerabat dan tamu harus berjarak sekitar satu meter dari Sultan.

“Sebelum ngabekten, semuanya harus dites antigen dulu,” ujar Purbodiningrat.

Ngabekten kali ini juga digelar dalam dua tahap selama dua hari. Ngabekten Kakung diikuti 80 orang yang terdiri dari bupati dan walikota dan para wakilnya termasuk para kanjeng pada Selasa (03/05/2022). Sedangkan Ngabekten Putri dilaksanakan Rabu (04/05) dari pagi hingga siang hari.

Kegiatan juga diikuti para Penghageng, Wakil Penghageng, Carik (Sekretaris), dan Hartakan (bendahara). Selain itu masing-masing tepas serta beberapa perwakilan Sentana (kerabat) Kakung.

“Untuk Ngabekten Kakung digelar pada Selasa ini setelah pembagian ubarampe gunungan hingga sore hari,” ujarnya.

Ada yang berbeda dalam ngabekten tahun ini dari beberapa tahun  sebelumnya. Kalau dalam kondisi biasa, tata cara ngabekten yang dilakukan di keraton dilakukan dengan ngaras jengku (mencium lutut Ngarsa Dalem-red) sebagai bentuk tanda bakti dan penghormatan.

Prosesi ini tidak diikuti kerabat dalem yang berusia lebih tua dari Ngarsa Dalem, termasuk KGPAA Pakualam X. Sungkem pangabekten hanya dilakukan dengan Sembah Karna, atau mengangkat kedua telapak tangan segaris lurus dengan daun telinga.

“Namun karena kondisi pandemi, prosesi ngabekten kali ini dilakukan dengan lampah dodok dan menghaturkan sembah kepada Ngarsa Dalem,” jelasnya.

 

Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA  Rayakan Lebaran, Jokowi Ajak Prabowo Makan Opor Sambil Ngobrol Santai dan kabar terbaru lainnya di KILAS.

Exit mobile version