MOJOK.CO – Sejumlah pengusaha Pertashop mengaku mengalami penurunan pendapatan. Mimpi mitra Pertamina ini untuk mendistribusikan ke desa-desa terganjal karena harga BBM yang dirasa tidak terjangkau masyarakat.
Satya Prapanca, seorang pengusaha Pertashop yang memiliki gerai di Desa Natah, Nglipar, Gunungkidul mengaku mengalami penurunan omzet sejak pertengahan 2022 silam. Kenaikan harga Pertamax, jenis BBM yang didistribusikan Pertashop, membuat daya beli masyarakat turun.
Saat harga Pertamax masih di angka Rp9 ribu dan Pertalite Rp7.650, Pertashop masih banyak jadi pilihan. Namun saat terjadi lonjakan harga Pertamax menjadi Rp14.500 per liter dan Pertalite Rp10.000 per liter, terjadi penurunan minat ke Pertashop yang cukup signifikan.
Ia menilai, jarak harga antara BBM bersubsidi dengan non subsidi yang jauh membuat pengguna memilih beralih ke Pertalite. Meski harus mengantre panjang di SPBU.
“Kemudian ketika Pertamax agak turun ke Rp13.900 lalu turun lagi ke Rp12.800 perilaku konsumen kok tetap sama. Lihatnya sudah semakin ke yang murah yakni Pertalite,” jelasnya saat dihubungi Mojok beberapa waktu lalu.
Hal serupa juga dialami Pulung Nur Indrawan (55), pemilik Pertashop di Jalan Purwomartani, Kalasan, Sleman. Belakangan, penjualan Pertamax di tempatnya menurun drastis.
Pertashop milik Pulung, kini maksimal penjualan rata-rata per hari di angka 500 liter. Setelah dipotong berbagai keperluan operasional, ia berujar hanya mengantongi sekitar Rp1-2 juta per bulan.
“Padahal, target awal bisa balik modal sekitar empat tahun. Modal untuk bermitra Pertashop Gold yang diambil Pulung sebesar Rp250 juta. Belum pengeluaran untuk lahan dan beberapa hal lainnya.
Mimpi Pertashop untuk mendistribusikan BBM ke desa
Program kemitraan Pertashop digulirkan Pertamina dengan semangat One Village One Outlet. Mendekatkan penjual resmi BBM dari Pertamina dengan masyarakat di desa-desa. Saat awal berjalan, Menteri BUMN Erick Thohir menargetkan ada 10 ribu Pertashop di seluruh Indonesia.
Namun, Satya menilai, di desa dengan kondisi demografi yang mayoritas masyarakat menengah ke bawah belum mampu untuk menjangkau BBM jenis Pertamax. Hal ini yang menurutnya memberatkan para pengusaha.
“Demografi desa, termasuk tempat saya membuka usaha ini, didominasi petani, buruh kasar, dan bekerja serabutan. Daya beli mereka masih berat untuk Pertamax,” papar Satya.
Di Gunungkidul, menurut Satya ada 57 gerai Pertashop. Namun sebagian besar mengalami kondisi surut. Bahkan, ada dua gerai yang menurutnya sudah tutup.
Ia berharap pihak terkait bisa menemukan solusi agar Pertashop tetap bisa berjalan sesuai mimpinya untuk mendekatkan BBM ke masyarakat.
Reporter: Hammam Izzudin
Editor: Purnawan Setyo Adi