Berorganisasi Itu Nggak Cuma Numpang Nama Doang

berorganisasi mojok.co

Ilustrasi uneg-uneg (Mojok.co)

“Kalian itu harus aktif di organisasi. Lebih hebat lagi kalau bisa jadi pengurus atau pemimpinnya.” kata para dosen dengan semangat. Mereka mewanti-wanti kami yang baru menyibak tirai pembelajaran di kampus untuk dapat mengembangkan diri melalui keberadaan organisasi yang bertebaran di area kampus, mulai dari prodi, fakultas, universitas, maupun organisasi di luar kampus.

Biasanya mereka akan menceritakan pengalaman berorganisasinya. Tujuannya untuk memotivasi kami agar tidak tercetak sebagai mahasiswa kupu-kupu (mahasiswa kuliah-pulang kuliah-pulang) tanpa berpartisipasi dalam banyak kegiatan organisasi. Pastinya ada beragam tanggapan, pro dan kontra, atau mengabaikannya, ikut organisasi paling ujung-ujungnya cuma disuruh jual risol.

Berorganisasi butuh pemikiran yang matang

Menurutku, yang dari sebelumnya bahkan nggak pernah menyentuh dunia organisasi, ikut organisasi itu memerlukan pemikiran yang matang sekaligus niat yang paten. Kenapa? Pertama, organisasi yang terlalu diprioritaskan dari kegiatan akademik bisa merenggut nilai yang tadinya stabil menjadi lebih buruk. Kedua, organisasi bisa jadi membuatmu lelah karena agenda padatnya atau karena orang-orang yang sulit diajak kerja sama.

Ketiga, kamu harus siap mengatur ulang jadwal harian, jadwal bekerja, atau jadwal pulang kampung karena organisasi memang sepadat itu, apalagi ketika kamu memegang jabatan yang penting di sana. Tentu itu menjadi pertimbangan, terutama untuk mereka yang sulit memanajemen waktu. Belum lagi jika kamu kurang bisa mengontrol emosi, sisi temperamenmu akan membuat citra buruk di sana.

Waktu aku masih menjadi seorang maba alias mahasiswa baru, aku nggak terlalu memacu diri untuk menjadi seorang organisatoris. Saat itu, yang aku pikirkan adalah bagaimana aku bisa mencetak nilai bagus dan mempertahankannya karena suasana perkuliahan itu sangat berbeda dari pembelajaran di kelas waktu SMA. Apalagi saat itu angkatanku masih terduduk di situasi Covid sehingga pembelajaraannya full secara online.

Memikirkan itu, aku jadi membayangkan betapa sulitnya mengumpulkan atau berdinamika dengan anggota organisasi dalam situasi itu. Masa untuk senam pagi bersama saja harus berjoget di depan kamera yang terhubung dengan aplikasi Zoom Meeting? Kalau sinyal lagi tidak bagus, rekaman kita bakal beku. Kalau wajah atau gerakan terkondisi sih masih oke, kalau pas jepretan wajah dan gerakan badan yang aneh kan malu-maluin.

Biasanya, mahasiswa itu malas sama organisasi yang tingkat senioritasnya tinggi. Umumnya, organisasi seperti ini memiliki beberapa senior yang menganggap dirinya berkedudukan tinggi atau memang seperti dituakan di sana. Untungnya, saat ini yang seperti itu mulai dihapuskan karena dianggap kurang bermanfaat. Kalau kata beberapa orang, yang seperti itu seperti aturan turun temurun. Biar keren aja, biar mereka segan dan takut sama seniornya. Biar punya sopan santun!

Bagaimana seharusnya berorganisasi

Yah, yang seperti ini (senioritas) bukan berarti benar-benar punah, masih ada kalau mau dicari di seluruh universitas di Indonesia, bahkan peninggalannya pun masih ada. Hanya saja yang ingin dibahas kali ini bukan persoalan senioritas, melainkan lebih subjektif. Bagaimana seharusnya seorang anggota berada dalam suatu organisasi

Beberapa curhatan teman yang sangat organisatoris, merujuk pada keluhan mereka yang akhirnya keteteran oleh tugas dan kewajiban organisasi di sana-sini. Dikejar deadline, rapat ini dan itu, progja yang sebentar lagi dilaksanakan, problem internal yang nggak selesai-selesai, dan sebagainya. Mendengarnya aja capek, apalagi yang merasakan ya? Saat itu, aku cuma berpikir kalau jadi seorang organisatoris itu nggak gampang. Banyak yang mesti dipertaruhkan: waktu, tenaga, emosi, pikiran, uang, bahkan nilai akademik.

Aku acungkan jempol untuk para organisatoris yang bisa pintar membagi waktu sehingga ada keseimbangan antara kuliah dan organisasi. Jadi, sampai saat itu, aku hanya mempertahankan organisasi wajib. Karena aku tidak memiliki latar belakang organisasi yang cukup, aku hanya ikut arus dan mengekor saja. Kalau mau ikut acara ya ikut, kalau malas ya nggak datang. Hehe~

Istilahnya, tipe yang seperti aku adalah anggota organisasi bayangan, yang kalau mengutip lagunya Utopia menjadi “antara ada dan tiada”. Bahkan pernah aku sebagai panitia yang sekadar numpang nama doang di SK, nanti kan dapat sertifikat, pikirku saat itu. Datang cuma kalau disuruh saja, kalau tidak ya nggak bakal berinisiatif datang. Paling-paling ikut-ikut saja kalau ada teman akrab yang mengajak, ikut aja daripada gabut di kosan.

Cara agar anggota bisa aktif

Biasanya, pengurus organisasi selalu punya cara untuk melakukan pendekatan dan mengusahakan agar anggotanya aktif semua, entah dalam grup chat atau kegiatan offline. Cuma, segelintir anggota pasti ada yang ogah-ogahan untuk berkomunikasi dengan koordinator bidangnya. Biasanya ada tuh koordinator yang ngambek gara-gara dicuekin sama semua anggotanya dan biasanya nggak begitu banyak reaksi yang timbul, sekadar imbauan mungkin.

Persoalannya muncul ketika aku kena karmanya. Mungkin kurang tepat dikatakan begitu, tapi itu istilah yang paling mungkin mengingat aku benar-benar sering menjadi anggota bayangan di suatu organisasi. Ternyata menjadi pengurusnya juga sangat sulit. Butuh kesabaran ekstra yang super tebal seperti lipatan bumi. Menghadapi jenis anggota bayangan itu sulitnya minta ampun.

Lantas, aku jadi berpikir bahwa berorganisasi benar-benar perlu dilandasi dengan kemauan dan kebutuhan. Dua ini pasti menjadi alasan sebuah organisasi ramai dan benar-benar aktif. Pertama, anggota mau dengan sukarela mengikuti dan berpartisipasi dalam suatu organisasi. Bagian ini menegaskan bahwa mereka akan bersedia memenuhi kewajiban sebagai anggota, misalnya turut menyukseskan suatu program kerja atau sekadar hadir di seluruh agenda organisasi.

Kedua, menjadikan organisasi sebagai kebutuhan. Bisa jadi untuk mendapatkan relasi, ilmu, meningkatkan skill, pengalaman yang jelas, dan sebagainya. Artinya, anggota berusaha mendapatkan haknya. Jadi, organisasi benar-benar harus menunjukkan manfaat apa yang diperoleh anggota dan bagaimana mereka mendapatkan itu dengan peran si organisasi. Terdengar mudah, tapi sungguh tidak mudah sama sekali.

Belajar memimpin diri sendiri

Kami sering mendapat aneka saran dari berbagai pihak. “Tepat waktu dong! atau bikin program a, program b, bikin acara ini dan itu, jangan ini dan jangan itu”. Tentu, semua dipertimbangkan kembali. Beberapa ide diterima dan dicoba praktiknya, ternyata sama saja! Justru sering dari penyampai ide ini yang paling tidak bersedia hadir untuk idenya sendiri. Menyebalkan memang, tapi mau bagaimana lagi, seolah kehabisan cara menghadapi anggota yang seperti ini.

Pada dasarnya, memupuk dasar berorganisasi dalam pribadi seseorang itu cukup sulit. Mereka harus benar-benar menyadari kehadiran mereka sebagai anggota atau kepentingan mereka ketika bergabung dalam organisasi tersebut. Tidak hanya untuk tenar, memanfaatkan kebijakan sewenang-wenang, biar keren, biar ditakuti, menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri. Berorganisasi artinya guyub, bisa jadi jabatanmu tidak dipertimbangkan di sana sebab ketika berkumpul semua yang hadir adalah rata dan sejajar.

Dengan berorganisasi, kita belajar memimpin diri sendiri untuk mampu bekerja sama dengan kelompok, menyelesaikan persoalan. Tentu sikap seperti yang paling dibutuhkan, yang paling penting, yang paling pemimpin, yang paling hebat, yang paling ditakuti atau berkuasa perlu dihilangkan. Sikap-sikap seperti ini akan menjadi retakan-retakan yang bisa menghancurkan fondasi suatu organisasi.

Suka sebal sama orang yang semaunya sendiri kalau dalam tim, dikit-dikit ngambek, dikasih saran sedikit tersinggung, tapi suaranya paling keras kalau mengkritik. Lagi, pada dasarnya berorganisasi bukan cuma numpang nama di SK atau ngumpet di balik logo/label organisasi yang dijahit di jaket almamater atau seragam, kehadiran kita harus benar-benar bisa dipertimbangkan di dalamnya atau paling tidak, ya, aktiflah dalam mengutarakan pendapat atau datang ke setiap acara. Ada kontribusi, ada kerja, ada sumbangsihnya. Memangnya tidak malu berorganisasi hanya ikut-ikutan saja dan jadi anggota bayangan yang ‘antara ada dan tiada?’

Christina Natalia Setyawati,
Kedaton, Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung,
christ25.wad@gmail.com

BACA JUGA Jangan Sembarangan Tanya Kehamilan Pada Pengantin Baru dan keluh kesah lain dari pembaca Mojok di UNEG-UNEG.

Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg  bisa dikirim di sini

Exit mobile version