Tengah malam, ponsel saya berbunyi. Sebuah pesan WhatsApp dari Bulik saya di Bintaro. Ia mengirimkan tangkapan layar sebuah akun Facebook seseorang yang tidak saya kenal. “Siapa ini, Bulik?”
“Dikirimi teman. Katanya, ini akun anggota ISIS. Pas Bulik lihat identitasnya, kok istrinya tercatat kuliah di kampus yang sama denganmu. Coba cek, istrinya itu temanmu?”
Dengan mata sedikit berat setengah mengantuk, saya periksa akun itu dan data istri pada akunnya. Deg!
Bulik betul. Istrinya itu temanku. Saya mengenalnya dengan baik. Saya telusuri lini masa akunnya. Sepuluh detik pertama, saya mual melihat postingan video korban bom Kampung Melayu yang penuh darah dan potongan tubuh manusia.
Dan saya semakin mual ketika membaca caption-nya:
“Allohuakbar…pukulan telak tepat sasaran. Alhamdulillah, sungguh syukur atas nikmat yang kau berikan kepada orang-orang mukmin ya Rabb, sungguh melegakan hati kami. Tauhid harga mati untuk bom istisyadiyah di halte trans Jakarta 24/5/2017.”
Saya menguatkan mental untuk menelusuri postingan lainnya. Berita-berita tentang serangan ISIS di Kota Mosul, caci maki kepada kelompok-kelompok Islam lain yang baginya mendukung kaum kafir.
Saya penasaran membuka Instagram. Saya ketik nama teman tadi.
Seorang temanmu yang dulu berpenampilan biasa-biasa saja, tiba-tiba menikah tanpa kode atau aba-aba. Penampilannya sekejap berubah, ia membalut tubuhnya dengan kain hitam menjuntai lengkap dengan burka hingga mata kaki. Tengah malam itu kau menemukan postingan bergembira atas kejadian teror di berbagai belahan dunia, termasuk bom Terminal Kampung Melayu Jakarta yang menewaskan sejumlah warga sipil dan polisi. Sialnya, postingan itu lengkap dengan ayat Al-Quran sebagai pembenaran membunuh orang. Ia bilang memerangi thaghut merupakan ajaran Quran dan sunah.
Dalam postingan lain, ia menulis: “Ketika keterasingan makin sesak, hanya satu kalimat yang mampu meredam semuanya. Hasbunallah wa nikmal wakil.”
Lagi-lagi, dalil al-ghuroba. Dalil andalan para jihadis yang berbunyi bahwa Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali pada akhir zaman dalam keadaan asing pula.
Tapi siapakah al-ghuroba itu? Rasulullah SAW menerangkan, merekalah orang-orang saleh yang jumlahnya sedikit di tengah-tengah manusia buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang mendurhakai mereka jumlahnya lebih banyak daripada yang menaati mereka.
Seperti apa logika yang dipakai bahwa pelaku teror yang memusnahkan nyawa sesama termasuk dalam golongan yang dimaksud Rasul? Kau bisa bayangkan betapa keji orang yang bisa membunuh orang asing yang bahkan tidak dikenalinya? Iya, manusia lain! Peradaban apa yang kita harapkan dari jiwa yang tega menghabisi nyawa manusia lain? Apakah jiwa semacam itu mampu mengelus sayang hewan-hewan lucu atau merawat tetumbuhan bisu yang memberinya udara bersih untuk ia hidup?
Dada saya tiba-tiba sesak. Saya tak menyangka bahwa waktu ini akhirnya datang juga. Waktu ketika kau mendapati temanmu dalam kondisi yang sama sekali tidak kau kenali. Teman sendiri yang masih kau ingat cara tertawanya yang ceria, sepatu Converse dan jins belelnya, jilbab kain yang seadanya, tiba-tiba berubah drastis setelah menikah.
Saya mulai curiga, apakah para jihadis yang nuraninya mati ini memang memiliki program menikahi perempuan lugu secara acak hanya untuk dijadikan martir pengantin bom?
Temanku sendiri, yang kuamati pada akun Instagramnya beberapa bulan lalu mulai memosting wajah Abu Bakar al-Baghdadi, penyeru khilafah yang di negaranya sendiri terbukti mewariskan perang dan pecah belah. Temanku, memosting foto seorang ustadz di sebuah daerah di Solo yang juga pernah kuikuti kajiannya—kajian berapi-api yang hanya fokus memusuhi pihak-pihak lain. Saya juga membaca buku-buku tipis ustadz itu, isinya itu-itu saja yang tak lain tak bukan adalah seruan memerangi kafir, munafik, dan seterusnya. Lalu akibat indoktrinasi itu, temanku kini memosting ungkapan kesenangan atas kejadian teror bagi sesama manusia.
Saya masih mengingat betul saat-saat mengaji tentang tokoh-tokoh yang mengindoktrinasi ideologi jihad perang itu. Saya mengingat diri sendiri ketika dahulu pernah juga begitu bersemangat melontarkan kata kafir untuk golongan lain yang memiliki jalan dakwah berbeda. Saya selamat sebab berjumpa lebih banyak manusia dan buku-buku. Dan, saya tidak tiba-tiba terjerat pernikahan seperti temanku tadi. Adakah pernikahan yang lebih menyedihkan dari pernikahan yang mengajakmu masuk jaringan pelaku teror?
Saya akan terus bicara, demi apa pun, bahwa Tuhan itu rahman dan rahim—sifat yang tak pernah ada dalam kamus para pelaku teror.