Perbedaan terpenting antara sains dan filsafat terletak pada pengamatan. Itu dinyatakan oleh Stephen Hawking. Aristoteles misalnya sudah berpikir tentang bagaimana alam bekerja. Ia pernah merumuskan hukum benda jatuh. Berdasarkan pikirannya, benda akan jatuh menimpa bumi dengan kecepatan yang ditentukan oleh massa atau berat benda itu. Orang awam yang hidup pada zaman modern pun banyak yang berpikir demikian. Tapi menurut sains tidak demikian. Kecepatan benda saat jatuh tidak ditentukan oleh massanya.
Kesalahan Aristoteles adalah dia tidak melakukan pengamatan. Para ilmuwan generasi selanjutnya, ribuan tahun setelah masa hidup Aristoteles, melakukan pengamatan. Pengamatan sendiri baru punya makna kalau dilakukan pengukuran. Apa itu pengukuran? Mungkin Anda masih ingat pelajaran sekolah dulu, pengukuran adalah membandingkan besaran fisik.
Sejak zaman dulu orang sudah mengenal adanya berbagai besaran dari pengalaman sehari-hari. Ada benda yang panjang dan pendek, besar dan kecil, berat dan ringan, cepat dan lambat, panas dan dingin, dan masih banyak lagi. Tapi pengalaman itu bercampur antara fakta dan persepsi. Bagaimana memastikan sesuatu itu adalah fakta, diperlukan pengukuran.
Orang mulai mengukur dengan cara sederhana, yaitu memakai anggota tubuh sebagai alat ukur. Kita mengenal satuan panjang tradisional seperti depa, hasta, dan jengkal. Dengan standar ukuran ini setidaknya orang bisa punya acuan tentang besaran. Sayangnya ukuran tubuh orang tidak sama. Satu depan si A tidak sama dengan si B. Akibatnya standar ini tidak bisa dipakai secara luas.
Orang kemudian menetapkan standar yang lebih baku. Dibuatlah standar panjang, 1 meter, berupa sebatang platinum yang disimpan di Paris. Tapi standar ini pun kelak disadari tidak bisa dijadikan acuan, karena panjang sebatang logam bisa memuai dan mengerut karena perubahan temperatur. Lalu dibuatlah standar yang lebih stabil, yaitu 1 650 763.73 kali panjang gelombang emisi atom kripton pada temperatur kamar. Kelak ditetapkan pula standar yang lebih akurat dengan menggunakan kecepatan cahaya, yaitu 1 meter sama dengan jarak yang ditempuh cahaya selama 1/299.792.458 detik dalam ruang hampa.
Panjang adalah besaran dasar. Dengan mengetahui panjang kita bisa mengetahui luas dan volume. Selain panjang ada 6 lagi besaran dasar, yaitu massa, waktu, temperatur, jumlah zat, arus listrik, dan intensitas cahaya. Semua besaran standar itu ditetapkan satuannya melalui konvensi yang disebut Standar Internasional (SI).
Dari 7 besaran dasar itu kita bisa mendapatkan sangat banyak besaran lain, yang disebut besaran turunan. Misalnya, kecepatan, yang merupakan jarak tempuh dibagi dengan waktu yang diperlukan untuk menempuhnya. Perubahan kecepatan dalam setiap satuan waktu disebut percepatan. Masih ada banyak lagi contoh besaran turunan.
Adanya satuan standar adalah kebutuhan yang muncul dari perkembangan sains. Kalau hanya untuk keperluan sehari-hari tak penting benar adanya standar, juga tak begitu penting adanya akurasi pengukuran. Kalau kita hanya mau mengukur jarak antara 2 bangunan, misalnya, 1 meter standar yang ditetapkan dengan batang logam tadi sudah cukup. Selisih akibat pemuaian batang tersebut sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Namun, sains yang berkembang membuat orang harus mengukur besaran-besaran yang nilainya sangat kecil, misalnya panjang gelombang cahaya, yang satuannya bisa 1/1 miliar meter. Dalam hal ini selisih yang sangat kecil akan mempengaruhi hasil pengukuran. Dengan kata lain, perkembangan definisi satuan dasar tadi seiring dengan perkembangan teknologi pengukuran.
Zaman dulu untuk mengukur panjang orang merentangkan tangannya lebar-lebar, didapatlah satuan satu depa. Untuk panjang yang lebih pendek dipakai satuan dari ujung jari sampai siku, yang disebut satu hasta. Standar 1 meter menjadi lebih mendesak ketika orang mulai mengembangkan sains. Satuan yang lebih pendek dari 1 meter ditetapkan dengan membagi 1 meter itu dengan berbagai bilangan pembagi. 1/10 meter disebut desimeter, 1/100 meter disebut 1 sentimeter, 1/1.000 meter disebut 1 milimeter. Pembagian itu tampak nyata pada alat ukur panjang yang kita miliki, misalnya pada penggaris.
Untuk mengukur besaran yang sangat kecil nilainya diperlukan alat ukur yang lebih akurat. Untuk mengukur besaran yang lebih kecil dari 1 meter tak bisa lagi memakai penggaris. Orang kemudian membuat jangka sorong dan mikrometer sekrup, yang bisa mengukur sampai ke satuan mikrometer. Tapi bagaimana mengukur satuan yang lebih pendek?
Pengukuran panjang yang lebih kecil lagi dilakukan dengan sistem interferometer. Pengukuran ini menggunakan prinsip inteferensi cahaya. Cahaya adalah gelombang elektromagnetik. Bila 2 berkas cahaya dipadukan, maka kedua gelombangnya dipadukan. Hasilnya adalah, bila paduannya terdiri dari 2 puncak gelombang, akan didapat penjumlahan maksimal (terang). Dalam hal cahaya ini dideteksi sebagai titik cahaya paling terang. Bila yang dijumlahkan adalah puncak dan lembah, maka hasilnya adalah 0, artinya tidak ada cahaya yang dideteksi (gelap).
Pada interferometer seberkas cahaya laser dibagi dengan sebuah cermin menjadi 2 berkas cahaya yang merambat tegak lurus, keduanya diarahkan untuk menuju ke dua cermin dalam jarak tertentu. Kedua berkas cahaya itu dipantulkan oleh cermin, kemudian diarahkan untuk kembali “berkumpul” dan diterima oleh sebuah detektor. Kedua cahaya yang berkumpul itu berinterferensi.
Jarak yang ditempuh oleh cahaya itu adalah kelipatan panjang gelombangnya. Kalau jarak itu adalah kelipatan bulat, akan kita dapatkan penjumlahan maksimal tadi. Namun, bila salah satu jarak yang ditempuh adalah ½ dari kelipatan bulat, akan didapatkan penjumlahan minimal (gelap). Dari pendeteksian pola gelap-terang interferensi cahaya yang panjang gelombangnya sudah diketahui, dapat diukur selisih jarak tempuh cahaya sampai ke orde yang sangat kecil, setara dengan 1/10.000 kali diamater inti atom. Inti atom sendiri panjangnya adalah 0,000000000000001 meter. Bisa dibayangkan?
Untuk apa pengukuran yang demikian teliti diperlukan? Banyak keperluannya. Umumnya pengukuran super duper teliti ini diperlukan dalam riset sains. Salah satunya adalah pengukuran perubahan ruang-waktu akibat gelombang gravitasi. Berdasarkan teori relativitas Einstein, ruang-waktu akan berubah (mengkerut atau melar) bila ada perubahan gravitasi. Artinya, ruang yang kita tempati ini melar dan mengkerut. Tapi kita tak bisa merasakannya, karena perubahannya sangat kecil. Perubahan itu hanya bisa dideteksi dengan interferometer tadi.
Untuk mengukurnya dibuatlah LIGO, Laser Interferometer Gravitational-Wave Observatory. Ini adalah interferometer berukuran raksasa, ditempatkan di Hanford dan Livingston, Amerika. Alat ukur ini berhasil mengukur adanya gelombang gravitasi, alias terjadinya melar-mengkerut ruang-waktu pada tahun 2015, dan hasil pengukuran ini mengantarkan para peneliti utamanya meraih Hadiah Nobel Fisika tahun 2017.
Besaran fisika adalah kenyataan yang bisa kita ukur dalam keseharian. Tapi bila berurusan dengan sains, pengukuran besaran yang sama bisa jadi sangat rumit dan menghabiskan uang miliaran dolar.
BACA JUGA Mengenal Reaksi Kimia, Proses yang Menjaga Kehidupan Semesta dan esai sains Hasanudin Abdurakhman lainnya di kolom TEMAN SEKELAS.