Pemirsa Televisi Indonesia Dikasih Sampah, Eh, Minta Nambah

sinetron

MOJOK.COHukum “banyak haters, banyak rezeki” juga berlaku untuk sinetron di televisi Indonesia.

Judul sinetron Indosiar mengingatkan saya dengan judul film “#TemanTapiMenikah” yang diiklankan secara masif, sistematis, dan terstruktur oleh Lambe Turah. Keduanya punya satu kesamaan: spoiler sejak pemilihan judul. Seolah berbaik hati memberi tahu bahwa kita tidak perlu menonton untuk mengetahui akhir ceritanya.

Kendati demikian, saya tetap menonton film “#TemanTapiMenikah” untuk mengetahui bagaimana proses sepasang sahabat menuju pernikahan. Sebab, orang biasa hanya melihat hasil, orang bijak belajar dari keseluruhan proses. Ternyata memang wajar-wajar saja menikah dengan teman. Apalagi teman di SMA. Kecuali menikah dengan teman sewaktu STM yang isinya cowok semua, baru deh plot twist.

Salah satu judul sinetron Indosiar yang spoiler: “Pembantu Jadi Majikan, Majikan Jadi Pembantu”. Sudah bisa ditebak bahwa inti ceritanya adalah pertukaran peran antara pembantu dan majikan dengan hukum mutlak sinetron, kebaikan akan menang melawan kejahatan. Dalam teknis penulisan cerita, kalimat yang dijadikan judul tersebut seharusnya menjadi premis cerita. Namun, oleh Indosiar dijadikan judul juga. Lumayan, menghemat waktu memilih judul.

Selain spoiler, pemilihan judul sinema Indosiar juga bikin pusing kepala Barbie dan kepala dinas pendidikan. Misal, “Calon Istriku Istri Kakakku”, “Aku Menikahi Mantan Suami Kakakku”, dan “Anakku Menjadi Anak Mantan Istri Suamiku”. Mindblowing sekali. Baru baca judulnya saja sutradara sekelas Christoper Nolan bakalan minder.

Ciri khas lain dari judul sinetron Indonesia adalah pemilihan font-nya yang itu-itu saja. Kita bisa tahu bahwa suatu sinetron keluaran SinemArt hanya dari judulnya yang pakai jenis font Cataneo BT bawaan Windows. Mungkin ke depannya tukang desain poster sinetron bisa belajar dari font judul film dan novel seri Dilan yang orisinal. Sebab judulnya memang langsung ditulis tangan oleh Pidi Baiq sehingga sulit ditiru.

Saya belum berkesempatan menonton secara utuh sinetron Indosiar yang sedang trending karena dijadikan meme di Facebook. Mungkin orang-orang yang merayakan meme sinetron Indosiar di media sosial pun sama sekali belum pernah menonton sinetron bertema keluarga disfungsional dan keretakan rumah tangga tersebut. Bisa saja sebenarnya mereka malah tidak menyukainya, maka dijadikanlah bahan bercandaan dengan maksud bullying terhadap Indosiar.

Alih-alih tersinggung, depresi, dan tutup channel, Indosiar malah menyambut baik fenomena tersebut. Bahkan di Instagram, Indosiar memfasilitasi kreativitas para netizen dengan sebuah lomba bikin poster. Kok malah jadi bangga dan minta dikatain?

Mental banget. Hal seperti ini bukanlah kali pertama. Sebelumnya ada Young Lex yang dirundung dengan meme Young Lex kecil sedang makan sayur pakai tangan. Meme tersebut diberi judul “Makan Bang”. Eh, beberapa minggu kemudian Young Lex malah menggandeng Awkarin lalu bikin lagu dengan judul “Makan Bang” yang menuai jutaan view di YouTube. Begitu juga Kemal Palevi bersama sepatu Yeezy andalannya, “Yoooo Yeezy gue udah siap, broooo!”

Begitulah cara kerja para bad influencer mencari nafkah. Mereka beraksi memang dengan tujuan membuat kita membenci. Semakin dibenci, semakin kaya. Satu hujatan untuk mereka, satu dolar masuk ke rekening bank mereka. Banyak haters, banyak rezeki.

Bukan tidak mungkin, gara-gara dijadikan meme di internet, rating dan sharing sinema Indosiar semakin bagus sehingga mendatangkan banyak pemasukan iklan. Sebab, orang yang tadinya tidak tahu malah jadi terpantik ingin tahu dan akhirnya nonton. Ini namanya Streisand effect.

Teori ini sudah dibuktikan oleh Joko Anwar yang mengajak warganet berlomba bikin meme Ibu “Pengabdi Setan”. Begitu juga Pidi Baiq dengan merangkul para YouTubers yang bikin parodi trailer film “Dilan 1990”. Bisa dibilang, larisnya salah dua film terlaris Indonesia tersebut dibantu oleh kerja keras warganet dalam euforia meme dan parodi sebagai promosi gotong royong nan sukarela. Namun, untuk kasus meme sinetron Indosiar, kini sulit dibedakan mana meme dan parodi untuk apresiasi dan mana yang untuk kritik.

Dengan suburnya meme sinetron Indosiar, secara tidak langsung warganet turut andil membuat sinetron makin tumbuh subur di tanah air dan menjadi tontonan ibu Indonesia. Bisa dikatakan, meme sinetron Indosiar adalah promosi gratis di internet, hal yang menguntungkan bagi stasiun TV berlogo ikan lele robotika tersebut. Sementara stasiun TV lain seperti AnTV harus mengerahkan kawanan buzzer untuk bikin trending topic di Twitter menggunakan tagar judul sinetron gacoan. Itu pun kadang masih kalah dengan buzzer Cak Imin.

Di video #MojokBersama, novelis Eka Kurniawan yang pernah menjadi script editor untuk beberapa program sinetron memberi kesaksian tentang betapa absurdnya penonton televisi Indonesia. Menyuguhkan tontonan bagus malah tidak ramai, dikasih sampah, eh, minta nambah. Hal ini tak jarang membuat tim kreatif sebuah sinetron dituntut mengikuti gimmick sinetron lain yang lebih banyak ditonton. Demi rating dan sharing, kualitas dinomorduakan.

Bisa saja, setelah ini sinetron macam sinema Indosiar tidak hanya ada di Indosiar. Bukan tidak mungkin Metro TV dan tvOne yang terkenal dengan branding TV berita, ikut-ikutan menayangkan sinetron. Saking lakunya sinetron, Spacetoon yang biasa menayangkan kartun jadi tergiur untuk reborn dan menayangkan sinetron juga.

Tanda-tanda kiamat kecil ini sudah terlihat di kartun “SpongeBob SquarePants”. Dengan semangat jaman now, Global TV bikin judul episode-episode kartun mahakarya Stephen Hillenburg terasa seperti sinetron religi. Contohnya, “Jodoh Wasiat Mr. Krab”, “Mr. Krab Taubat”, dan “Squidward Pantang Ngemis”. Semoga nanti tidak ada episode yang menceritakan asal-usul Mr. Krab yang kepiting kikir bisa beranak Pearl si ikan paus manja lalu diberi judul ala sinetron Indosiar: “Aku Berbeda Spesies dengan Ayahku.”

Exit mobile version