Yang Perlu Dipahami kalau Lapak Kita di Shopee Dikejar Pajak

Apa iya kantor pajak bisa tahu data omset lapak kita di marketplace kayak Bukalapak, Tokopedia, atau Shopee?

MOJOK.COSaat ini pajak bisa menyentuh juga lapak-lapak pedagang online di marketplace kayak Shopee, Tokopedia, atau Bukalapak. Siap-siap ya?

Tempo hari, ramai kabar di media sosial, seorang pemilik toko online di platform marketplace Shopee dapat “surat cinta” dari kantor pajak agar mendaftar memiliki NPWP. Di surat itu tertulis bahwa kantor pajak punya data tokonya di Shopee berikut omsetnya, namun masih belum punya NPWP.

Setelah itu, ada netizen budiman yang menginfokan bahwa ada kerabatnya yang dapat tagihan pajak Rp35 juta dari kantor pajak karena ketahuan punya usaha dengan omset cukup besar di shopee.

Nah, sebagai praktisi pajak dan pengamat e-commerce saya merasa punya kewajiban untuk berkomentar perkara ini.

Baiklah. Di sini saya ingin menyoroti dua hal. Pertama, apakah benar dan apakah mungkin hal itu terjadi? Jangan-jangan hoaks? Apa iya kantor pajak bisa tahu data omset pelapak di Shopee?

Kedua, apa hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan oleh pelaku usaha yang punya toko di marketplace kayak Shopee begitu?

Kita bahas dulu yang pertama ya.

Kantor pajak mengirim surat yang mencantumkan data nama toko dan omset kepada pemilik toko online dan memintanya untuk mendaftarkan diri memiliki NPWP. Hmmm, memang mungkin ya?

Jawaban saya sebagai praktisi pajak selama 14 tahun adalah: iya, sangat mungkin.

Jadi begini saudara-saudari, sekarang ini kita berada pada tahun 2021, di mana yang namanya data itu sudah sedemikian banyaknya dan saling terhubung.

Kantor Pajak itu apa dan siapa? Ya itu instansi pemerintah, di bawah Kementerian Keuangan, yang Ibu Menteri-nya sudah sering dapat penghargaan level dunia.

Nah, Bu Menteri Keuangan dalam beberapa kesempatan juga mengungkapkan bahwa Indonesia telah melakukan kesepakatan dengan sebagian besar negara di dunia mengenai pertukaran informasi keuangan otomatis, yang bahasa kerennya adalah “Automatic Exchange of Information” (AEOI).

Jika informasi keuangan, termasuk kepemilikan aset di luar negeri bisa diketahui oleh kantor pajak, apalagi hanya data pemilik toko online di Shopee, Tokopedia, Bukalapak, atau marketplace lain yang beroperasi di Indonesia. Itu analoginya.

Baiklah, lalu bagaimana nasib kita para pedagang yang punya lapak di marketplace? Harus siap dikejar-kejar pajak dong ini artinya?

Nah, ini menarik. Dengan mantap saya mau bilang…

…wahai para pedagang online, buanglah jauh-jauh pikiran menghindari pajak selamanya. Mungkin sampai detik ini beberapa dari kita berhasil untuk tidak tersentuh pajak. Tapi kalau menurut saya sih, siap-siaplah menghadapi perubahan mulai sekarang—terutama kalau omsetmu luar biasa besar angkanya.

Yang selama ini belum buat pembukuan, mulailah buat pembukuan yang baik. Minimal buatlah pencatatan. Kalau omset kita masih kurang dari Rp4,8 miliar dalam setahun, cara menghitung pajaknya mudah banget: setengah persen dari omset. Apa? Dari omset? Iya, benar sekali, dari omset.

Kategori omset kurang dari Rp4,8 miliar ini sering disebut dengan UMKM. Pemerintah memberi kemudahan penghitungan pajaknya. Cukup membuat rekapitulasi omset atau peredaran bruto tiap bulan. Pajak tiap bulan adalah setengah persen dikalikan omset itu.

Tadi di depan disebutkan buat pembukuan? Iya benar banget.

Sangat saya sarankan bagi kita untuk membuat pembukuan. Sebagai pedagang dan pengusaha, tentunya kita ingin usaha kita semakin besar, kan? Dan tentunya pembukuan yang baik adalah salah satu syarat untuk mewujudkannya.

Baik, sekarang bisa dipahami, kita tidak bisa sembunyi-sembunyi lagi dari pajak. Lalu apa yang perlu dilakukan para pemilik toko online di marketplace kayak Shopee, Tokopedia, Bukalapak, dan lain sebagainya?

Lakukan hal ini jika kita tidak ingin suatu saat kena tagihan pajak yang mengagetkan. Ini khusus untuk pedagang yang omsetnya masih di bawah Rp4,8 miliar dalam setahun ya.

Buatlah rekapitulasi peredaran usaha tiap bulannya. Lalu sisihkan uang kita sebesar setengah persen untuk bayar PPh-nya. Dengan membayar bulanan, maka pajaknya akan tidak terasa berat-berat banget kok.

Misal omset kita sekitar Rp3 miliar setahun, kita harus bayar PPh Final Rp15 juta setahun. Kalau bayar sekaligus, pasti terasa berat dibandingkan jika kita bayar bulanan sebesar Rp1 juta-an tiap bulan.

Selain itu, ada kabar baik pula dari pemerintah soal pajak ini.

Dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mulai tahun pajak 2022, untuk pengusaha UMKM, bagian omset sebelum Rp500 juta tidak kena PPh. Baru omset setelah Rp500 juta yang kena PPh Final setengah persen.

Artinya, kalau boleh jujur, ambang batas ini sebenarnya masih meringankan beban pengusaha kecil.

Lalu, bagaimana jika omset kita di Shopee berada di atas Rp4,8 miliar setahun?

Wah, selamat, kita berstatus bukan lagi UMKM. Pajak yang harus dibayar adalah tarif tertentu (5%, 15%, 25% dan 30%) dikalikan penghasilan neto atau keuntungan bersih.

Untuk kriteria ini, kita juga harus dikukuhkan jadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang artinya harus memungut PPN. Kayaknya soal ini perlu dibahas di esai yang lain aja ya biar nggak njlimet dan kepanjangan.

Jadi, sekali lagi saya sampaikan untuk para pemilik toko online di Shopee, Tokopedia, Bukalapak, atau marketplace lainnya, siapkan pembukuan atau pencatatan yang baik, bayar pajak setengah persen setiap bulannya, niscaya kita dapat terhindar dari tagihan pajak yang mengagetkan layaknya undangan nikahan dari mantan.

BACA JUGA Memahami Jerat Pikat Marketplace dan ESAI lainnya.

Exit mobile version